Ringkasan Ilmu Hadits Bagi Pemula
Judul
Asli : Syarh Tadzkirah fî ‘Ulumil Hadits Li Ibni Mulaqqin
Penyusun
: Syaikh DR. Muhammad bin Hadi al-Madkhâlî hafizhahullahu
Penerjemah : Ustadz Bisri Tujang, Lc.
Editor
: Tim Portal Islam
Publikasi
: www.portal-islam.net
Cetakan
: Pertama, 2012
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih
Lagi Maha Penyayang Aku memuji Allah atas segala nikmat-Nya dan bersyukur
kepada-Nya atas segala karunia-Nya. Kuhaturkan pula shalawat dan salam teruntuk
manusia yang termulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan keluarganya.
Dan selanjutnya:
Ini adalah risalah Tadzkirah yang
berorientasi tentang disiplin ilmu hadits. Dengannya seorang pemula dalam
menuntut ilmu diharapkan dapat mengenal disiplin ilmu ini lebih dalam dan dapat
dimudahkan menguasainya. Aku menyarikannya dari kitab Al-Muqni’, salah satu
dari karya tulisku. Hanya kepada Allah aku mengharap semoga aku dapat
memberikan manfaat dari kitab ini, dan sesungguhnya semua berada pada
kekuasaan-Nya dan hanya Dialah Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Macam-macam Hadits
Hadits itu terbagi menjadi tiga
macam : Shahih, Hasan dan Dhaif.
A. Hadits Shahih adalah
hadits yang bersih dari celaan pada sanad (silsilah perawi)-nya dan matan
(kandungan hadits)-nya. Di antara hadits shahih ada yang telah disepakati
keabsahannya (muttafaq ‘alaihi), yaitu hadits yang dikumpulkan oleh dua orang
Imam (Bukhari dan Muslim, pent.) di dalam kitab Shahih mereka.
B. Hadits Hasan adalah
hadits yang derajatnya di bawah hadits shahih dalam hal tingkat kekuatan
hafalan dan kecermatan (para perawinya). Generasi sebelumnya menyebutnya dengan
nama al-Khabar al-Qawî (hadits yang kuat).
C. Hadits Dhaif adalah
hadits yang tidak termasuk salah satu dari kedua macam hadits di atas.
Pengelompokan Ilmu Hadits
Adapun pengelompokan ilmu hadits ada
lebih dari 80 :
- Al-Musnad: hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini juga disebut dengan hadits al-Maushûl (hadits yang bersambung sanad-nya).
- Al-Muttashil : hadits yang bersambung sanadnya, baik secara marfû’ (terangkat sampai kepada Nabi) atau pun secara mauqûf (terhenti sampai pada sahabat saja). Hadits ini juga dinamakan hadits Maushûl.
- Al-Marfû’ : hadits yang secara khusus disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, baik secara bersambung atau tidak bersambung sanadnya.
- Al-Mauqûf : hadits yang berupa perkataan, perbuatan atau selainnya yang diriwayatkan dari para sahabat, baik secara bersambung maupun terputus (sanadnya), dan penggunaan hadits model ini pada selain sahabat dilakukan secara muqoyyad, seperti perkataan ulama hadits : Sanadnya di-mauquf-kan sampai pada Atha’ -misalnya-, atau pada selainnya.
- Al-Maqthû’ : hadits berupa perkataan atau perbuatan yang berhenti sanadnya sampai pada Tabiin saja.
- Al-Munqathi’ : hadits yang sanadnya tidak bersambung dengan perawi manapun.
- Al-Mursal : perkataan seorang tabiin walau ia bukan termasuk seorang Tabiin yang senior bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda
- Diantara cabang dari hadits Mursal adalah Mursal khafi (mursal yang tersembunyi).
- Al-Mu’dhol : hadits yang telah hilang dari sanadnya dua orang perawi atau lebih. Hadits ini juga disebut sebagai hadits Munqathi’. Setiap hadits Mu’dhol pasti Munqathi’, namun tidak sebaliknya.
- Al-Mu’allaq : hadits yang dibuang di awal sanadnya seorang perawi atau lebih.
- Al-Mu’an’an : hadits yang redaksinya menggunakan lafazh ‘an (dari), misalnya: “Fulan dari Fulan”. Hadits semisal ini dikategorikan bersambung jika tidak ada Tadlîs dan dimungkinkan terjadinya pertemuan (antara murid dan guru).
- At-Tadlîs : hadits yang tidak disukai karena perbuatan perawi yang menyamarkan adanya pertemuan (antara murid dan guru) dan (seakan-akan) hidup sezaman, seperti ucapan : “Si Fulan berkata”. Namun untuk Tadlîs Syuyuukh (menyamarkan gurunya) maka masih lebih ringan (dari model Tadlîs yang lain).
- As-Syâdz : hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi riwayat para perawi lain yang lebih tsiqoh.
- Al-Munkar : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi, yang tidak memiliki kecermatan dan tidak terkenal sebagai perawi yang kuat hafalannya.
- Al-Fard : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara bersendirian (yang redaksinya berbeda) dari semua perawi, atau riwayat suatu daerah secara khusus, seperti ucapan para ulama :
“Penduduk kota Mekah meriwayatkannya secara sendirian”
atau redaksi yang sejenis.
- Al-Gharîb : hadits yang (misalnya) diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendirian, dari imam Az-Zuhri atau semisal beliau, dari kalangan para perawi yang mengumpulkan hadits.
- Jika ada dua atau tiga orang perawi menyendiri dalam periwayatan (sebuah hadits), maka hadits seperti ini di namakan hadits Al-Azîz.
- Jika sebuah hadits diriwayatkan oleh sejumlah perawi, maka hadits seperti ini dinamakan hadits Masyhûr.
- Al-Mutawatir : hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang perawi, yang dengannya benar-benar membuahkan ilmu pengetahuan.
- Al-Mustafîdh : hadits yang pada setiap tingkatan sanadnya terdapat lebih dari 3 orang perawi.
- Al-Mu’allal : hadits yang secara zhahir pada sanadnya terdapat cacat, yang dapat mempengaruhi keabsahan hadits tersebut.
- Al-Mudhtharib : hadits yang diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda namun memiliki tingkatan (sanad) yang sama.
- Al-Mudraj : hadits yang mendapatkan tambahan/sisipan (ucapan perawi bukan ucapan Nabi, ed.) pada matan-nya atau yang semisalnya.
- Al-Maudhû’ : hadits (yang redaksinya) hasil ciptaan/buatan sendiri. Hadits ini juga terkadang disebut hadits : (a) al-Mardûd (yang tertolak), (b) al-Matrûk (yang ditinggalkan), (c) al-Bâthil (yang batil), dan (d) al-Mufsâd (yang rusak).
- Al-Maqlûb : hadits yang diafiliasikan kepada selain perawinya.
- Al-‘Âlî : adalah keutamaan (yang dimiliki seorang perawi) yang sangat disukai. Keutamaan ini diperoleh dari kedekatan (seorang perawi) dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kedekatan kepada salah seorang imam ahli hadits, serta terdepan pada waktu wafat dan mendengarkan hadits.
- An-Nâzil : hadits yang berlawanan dengan hadits Al-‘Âlî.
- Al-Mukhtalif : dua hadits yang secara makna tampak kontradiktif/bertentangan, maka (solusinya) harus di-jam’u (digabungkan) atau dipilih diantara keduanya yang paling rajih (kuat).
- Al-Mushahhaf : hadits yang telah berubah redaksi atau maknanya. Perubahan ini terkadang terjadi pada matan-nya dan terkadang pada sanad-nya. Dan telah terdapat karya-karya tulis yang berbicara masalah bentuk hadits ini.
- Al-Musalsal : hadits yang para perawinya secara beruntun meriwayatkan (dari para perawi) berdasarkan salah satu sifat atau keadaan tertentu. Hadits seperti ini sedikit yang digolongkan shahih.
- Al-I’tibâr : hadits yang -misalnya diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah- dan tidak memiliki penyerta, hanya dari Ayûb, dari Ibnu Siriin, dan dari Abu Hurairah.
- Al-Mutâba’ah : hadits yang -misalnya- diriwayatkan oleh perawi lain selain Hammad dari Ayyuub. Maka hadits ini dinamakan Al-Mutâba’ah Al-Tâmmah (hadits penyerta yang sempurna).
- As-Syâhid : hadits yang redaksinya diriwayatkan oleh perawi lain tapi bermakna yang sama.
- Ziyâdat Ats-Tsiqât (yaitu) hadits yang dipakai menurut pendapat mayoritas ulama (ahli hadits).
- Al-Mazîd fî Muttashil Al-Asânîd yaitu hadits yang dalam sanadnya ditambahkan seorang perawi atau lebih karena sebuah kekeliruan.
- Sifat seorang perawi hadits adalah harus adil dan cermat (dhabith). Ia juga harus memiliki pengetahuan tentang ilmu Jarh wa Ta’dîl (mencacat perawi hadits dan merekomendasikannya), dapat menjelaskan usia awal periwayatannya-yaitu tatkala ia telah tamyîz (mampu membedakan perkara baik buruk), biasanya pada usia 5 tahun (seseorang telah menjadi mumayyiz); serta ia juga harus mengetahui cara pengambilan dan periwayatan hadits.
- Menulis hadits hukumnya boleh berdasarkan konsensus ulama hadits. Namun tetap harus berpegangan dengan kecermatan.
- Pembagian metode periwayatan hadits ada 8 macam :
a. Mendengarkan langsung lafazh sang guru.
b.
Membacakan (riwayat) di hadapan sang guru.
c.
Al-Ijâzah (yaitu guru memberikan lisensi/izin kepada muridnya untuk
meriwayatkan darinya, pent. ), menurut jenis-jenisnya.
d.
Al-Munâwalah (yaitu guru menyerahkan manuskripnya kepada muridnya, pent. ).
e.
Al-Mukâtabah (yaitu guru menuliskan atau mewakilkan orang lain yang menulis
hadits untuk muridnya, pent. ).
f.
Al-I’lâm (guru mengumumkan kepada muridnya bahwa ia memiliki manuskrip hadits,
pent. ).
g.
Al-Washiyah (yaitu: guru mewasiatkan sebuah manuskrip yang dimiliki olehnya,
ketika hendak meninggal atau hendak safar, pent. ).
h.
Al-Wijâdah(yaitu seorang yang menemukan manuskrip seorang perawi yang tidak
sezaman dengannya, pent. ).
- Periwayatan secara makna dan meringkas hadits juga termasuk periwayatan dan penyampaian yang dibolehkan. Adab seorang muhaddits dan penuntut ilmu hadits.
- Mengetahui kata-kata asing dan terminologi bahasa hadits, tafsiran makna-maknanya, dan dapat menggali hukum-hukum darinya.
- Menisbatkan haditsnya kepada para sahabat, tabiin dan para murid mereka.
Dari
sini dibutuhkan mengetahui hukum yang lima, yaitu:
a. Wajib, b. Sunnah, c. Haram, d. Makruh dan Mubah.
(semua hukum ini) berkaitan erat dengan:
a. Wajib, b. Sunnah, c. Haram, d. Makruh dan Mubah.
(semua hukum ini) berkaitan erat dengan:
a.(hukum)
al-Khâsh yaitu yang menunjukkan makna spesifik/tunggal.
b.(hukum)
al-‘Âm yaitu yang menunjukkan dua hal dari sisi yang sama.
c.(hukum)
al-Mutlaq yang menunjukkan makna tunggal tanpa ada penentuan atau syarat
padanya.
d.(hukum) Al-Muqayyad yang menunjukkan makna tunggal dengan adanya syarat/penentuan lain.
e.(hukum) Al-Mufashshal yaitu sebuah konteks yang telah diketahui maksudnya dan tidak membutuhkan penjelasan yang lain.
d.(hukum) Al-Muqayyad yang menunjukkan makna tunggal dengan adanya syarat/penentuan lain.
e.(hukum) Al-Mufashshal yaitu sebuah konteks yang telah diketahui maksudnya dan tidak membutuhkan penjelasan yang lain.
f.(hukum)
Al-Mufassar yaitu sebuah konteks yang awalnya tidak diketahui maksudnya,
kemudian membutuhkan penjelasan yang lain.
- Memilih yang terkuat (tarjîh) di antara para perawi, ada dengan melihat sisi jumlah mereka dan persamaannya dalam tingkat kecermatan dalam menghafal. Selain dari aspek jumlah juga ditinjau dari sisi perbedaan mereka dalam hal ini. Dan seterusnya.
- Mengetahui mana hadits penghapus (nâsikh) dan mana hadits yang dihapus hukumnya (mansûkh).
- Mengetahui (biografi) para sahabat.
- Juga (mengetahui) murid-murid mereka.
- Mengetahui riwayat para senior dari para junior, seperti riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari sahabat Tamîm Ad-Dârî, dan (Abu Bakar) Ash-Shiddîq, dan dari selain mereka.
- Metode di atas juga biasa disebut dengan riwayat Al-Fâdhil (yang paling utama) mengambil riwayat dari Al-Mafdhûl (yang diutamakan), atau riwayat seorang guru dari muridnya. Seperti riwayat imam Az-Zuhrî, Yahya bin Sa’îd, Rabî’ah dan yang selainya dari Imam Mâlik.
- Riwayat seorang perawi dari rekannya yang sepadan, seperti riwayat Imam At-Tsauri dan Abu Hanîfah dari Imam Mâlik pada sebuah hadits: “Seorang janda lebih berhak menentukan calon suaminya daripada walinya”.
- Mengetahui periwayatan para ayah dari para anak, seperti riwayat sahabat Al-Abbâs dari anaknya yang bernama Al-Fadhl, atau sebaliknya. Demikian juga riwayat seorang ibu dari anaknya.
- Mengetahui hadits Al-Mudabbaj yaitu: periwayatan para perawi yang selevel satu dengan lainnya. Apabila hanya salah seorang yang meriwayatkan dari temannya, sementara teman ini tidak meriwayatkan darinya, maka ini bukanlah dikatakan hadits al-Mudabbaj.
- Mengenal periwayatan para perawi yang bersaudara, seperti Umar dan Zaid; keduanya putera (Umar) Al-Khatthâb.
- Mengetahui perawi yang meriwayatkan darinya dua orang perawi yang zaman wafatnya berjauhan, seperti As-Sarrâj dan al-Khaffâf dimana Imam Bukhâri meriwayatkan darinya padahal jarak zaman wafat mereka berdua selama 137 tahun atau lebih.
- Mengenal perawi dari kalangan sahabat dan generasi setelah mereka, yang hanya satu orang perawi yang meriwayatkan darinya, seperti Muhammad bin Shafwan, di mana tidak ada perawi yang meriwayatkan darinya kecuali As-Sya’bî.
- Mengetahui setiap perawi yang terkenal dengan beberapa nama atau tersohor dengan ciri-ciri yang beragam; semisal Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi Al-Mufassir.
- Mengenal nama-nama, kunyah dan julukan para perawi.
- Mengenal jumlah periwayatan mereka, dan perawi yang terkenal dengan namanya daripada nama samarannya, atau sebaiknya.
- (mengenal) perawi yang namanya sama dengan nama bapaknya.
- (mengenal) nama perawi yang serupa dalam penulisannya tapi berbeda pengucapannya.
- Mengenal nama perawi yang tulisan dan lafazhnya serupa padahal mereka adalah pribadi yang berbeda.
- (mengenal) perawi yang terkombinasi dari dua perkara di atas.
- (mengenal) nama para perawi yang serupa, tapi nama bapak mereka berbeda.
- (mengenal) perawi yang diafiliasikan kepada selain babaknya, semisal Bilal bin Hamamah.
- (mengenal) penisbatan pada sesuatu yang dapat membuat presepsi seseorang menjadi berbeda, semisal Abu Mas’ûd Al-Badrî yang tinggal di daerah Badar, tapi ia tidak ikut serta dalam peperangan Badar.
- (mengenal) perawi yang disamarkan namanya.
- (mengenal) sejarah dan waktu wafatnya para perawi.
- Mengenal para perawi yang tsiqoh (cermat dan terpercaya)dan para perawi yang lemah hafalan; serta perawi yang status kecermatannya masih diperselisihkan oleh ulama, sehingga dengan demikian harus dikuatkan dengan timbangan yang adil.
- (Mengenal) perawi yang tsiqoh tapi di akhir usianya kecermatannya menjadi berubah melemah. Sehingga barangsiapa yang diketahui meriwayatkan darinya sebelum itu maka periwayatannya diterima, jika diketahui meriwayatkan setelah itu maka tidak diterima.
- (mengenal) perawi yang (biasa meriwayatkan dari manuskripnya, kemudian diketahui) semua manuskripnya telah terbakar atau hilang, maka tatkala ia meriwayatkan dari hafalannya selalu salah.
- (mengenal) perawi yang pernah menyampaikan sebuah hadits dan lupa, kemudian ia meriwayatkannya dari perawi yang pernah ia sampaikan kepadanya.
- Mengenal tingkat-tingkat para perawi dan para ulama.
- (mengenal) para tuan dan budak-budak mereka.
- (mengenal) kabilah-kabilah, negara, profesi dan perhiasan khas para perawi.
Demikianlah
risalah ini ditulis dengan ketergesaan bagi para pemula. Risalah ini merupakan
pengantar tulisan yang telah kami isyaratkan di awal penjelasan, sesungguhnya
di dalamnya menghimpun banyak faidah dalam bidang ilmu pengetahuan ini, baik
berupa cabang-cabangnya, urgensi dan keutamaannya. Segala puji hanya
milik Allah atas segala kemudahan dan karunia-Nya.
Penulis
risalah ini rahumahullâhu berkata:
“Aku selesai
menulis risalah ‘Tadzkirah’ ini dalam durasi 2 jam, tepatnya di hari Jum’at
pagi, pada tanggal 27 Jumadil Awal, tahun 763H. Semoga
Alloh memperbagusnya dan menjadikannya sebagai kebaikan. Amîn.”
Agu 14
2014
23 Maret 2016, 11:28 AM.