Oleh: asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin –Rahimahullah–
Qiyas terbagi menjadi Qiyas Jali (جليّ) dan Qiyas Khofi (خفيٍّ).
1. Qiyas jali adalah : yang tetap ‘illahnya dengan nash atau ijma’ atau dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya.
Contoh yang ‘illah-nya tetap dengan nash : Mengqiyaskan larangan istijmar (bersuci dengan batu atau yang semisalnya, pent) dengan darah najis yang beku dengan larangan istijmar dengan kotoran hewan, maka ‘illah dari hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan dua batu dan sebuah kotoran hewan agar beliau beristinja’ dengannya, kemudian beliau mengambil dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut dan mengatakan : “Ini kotor (هذا ركس)”, dan (الركس) adalah najis (النجس).
Contoh yang ‘illah-nya tetap dengan ijma’ : Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam keadaan marah.[2]
Maka qiyas dilarangnya qodhi
yang menahan kencing dari memutuskan perkara, terhadap larangan qodhi
yang sedang marah dari memutuskan perkara merupakan qiyas jali karena ‘illah ashl-nya tetap dengan ijma’ yaitu adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati.
Contoh yang dipastikan ‘illah-nya dengan menafikan perbedaan antara ashl
dan cabangnya : Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak yatim
dengan membeli pakaian, terhadap pengharoman menghabiskannya dengan
membeli makanan karena kepastian tidak adanya perbedaan antara keduanya.
2. Qiyas khofi adalah : yang ‘illah-nya tetap dengan istimbath (penggalian hukum) dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabang.
Contohnya : mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam pengharaman riba dengan ‘illah sama-sama ditakar, maka penetapan ‘illah dengan takaran tidak tetap dengan nash, tidak pula dengan ijma’ dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. Bahkan memungkinkan untuk dibedakan antara keduanya, yaitu bahwa gandum dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan.
Qiyas asy-Syabh / Kemiripan (قياس الشبه)
Di antara Qiyas ada yang dinamakan dengan “Qiyas asy-Syabh” yaitu suatu cabang diragukan antara dua ashl yang berbeda hukumnya, dan pada cabang tersebut terdapat kemiripan dengan masing-masing dari kedua ashl tersebut, maka cabang tersebut digabungkan dengan salah satu dari kedua ashl tersebut yang lebih banyak kemiripannya.
Contohnya : apakah seorang
budak bisa memiliki dalam keadaan ia dimiliki dengan diqiyaskan kepada
orang merdeka? atau dia tidak bisa memiliki dengan diqiyaskan kepada
binatang ternak?
Jika kita memperhatikan dua ashl
ini, orang yang merdeka dan binatang ternak, kita dapati bahwa budak
diragukan antara keduanya. Dari sisi bahwa ia adalah seorang manusia
yang berakal, ia diberi ganjaran, diberi siksaan, menikah dan
menceraikan, yang ini mirip dengan orang merdeka. Dari sisi bahwa ia
diperjual belikan, digadaikan, diwaqafkan, dihadiahkan, dijadikan
sebagai warisan, tidak ditinggalkan begitu saja, dijaminkan dengan harga
dan bisa digunakan, yang hal ini mirip dengan binatang ternak. Dan kami
telah mendapatkan bahwa budak dari sisi penggunaan harta lebih mirip
dengan binatang ternak maka hukumnya digabungkan dengannya.
Jenis qiyas ini adalah lemah jika tidak ada antara cabang dan ashl-nya ‘illah yang sesuai, hanya saja ia memiliki kemiripan dengan ashl-nya dalam kebanyakan hukumnya dengan keadaan diselisihi oleh ashl yang lain.
Qiyas al-‘Aks/ Kebalikan (قياس العكس)
Di antara qiyas ada yang dinamakan dengan “Qiyas al-‘Aks”, yaitu : penetapan lawan hukum ashl untuk cabangnya, karena adanya lawan dari ‘illah hukum ashl pada cabang tersebut.
Dan mereka (para ulama ahli ushul, pent) memberi contoh dengan sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam :
“وفي بضع أحدكم صدقة“. قالوا: يا رسول الله! أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: “أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه وزر؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر“
“Dan pada persetubuhan salah
seorang di antara kalian bernilai shodaqoh.” Para sahabat berkata :
“Wahai Rosululloh, apakah salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya
lalu ia mendapat pahala karenanya?” Rosululloh berkata : “Bagaimana
menurut kalian jika ia menyalurkannya kepada yang harom, bukankah ia
akan mendapat dosa? Demikian pula jika ia menyalurkannya kepada yang
halal, maka ia akan mendapat pahala.”[3]
Nabi shollallohu alaihi wa sallam menetapkan untuk cabang yaitu persetubuhan yang halal sebagai pembatal hukum ashl yaitu persetubuhan yang haram, karena adanya pembatal ‘illah hukum ashl pada cabang tersebut, ditetapkan pahala untuk cabangnya karena ia adalah persetubuhan yang halal, sebagaimana pada ashl-nya ditetapkan dosa karena ia adalah persetubuhan yang haram.
***
[Diterjemahkan dari kitab al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, oleh asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin –Rohimahulloh-]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar