MAKALAH
TASYRI' PADA MASA
TABI’IN
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
TARIKH TASYRI’
DOSEN : Siti Nurhidayatul H, M.Pd.I
Oleh:
YUSUUF ARIFIN
PAI B / III
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
September 2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH Subhaanahu
Wata’aalaa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang di ajukan untuk memenuhi salah satu mata tugas kuliah“Tarikh
Tasyri’” di STAIM Tulungagung.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam yang telah membimbing kita dari jaman
jahiliah munuju ke zaman yang telah diridhoi oleh Allah Subhanahu Wata’ala
yaitu Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhoi oleh-Nya.
Dengan selesainya makalah ini dengan judul “Tasyri’ Pada Masa Tabi’in” Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat
:
1.
Bapak Nurul Amin M.Ag selaku ketua STAI Muhammadiyah
Tulungagung.
2. Bu Siti Nurhidayatul H, M.Pd.I selaku dosen pembimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
3. Serta teman-teman yang ikut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Untuk itu dengan kerendahan hati,kami mengharap kepada semua pihak
segala kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulilah atas selesainya
masalah yang kami buat ini, teriringi doa semoga bermanfaat bagi penyusun
khususnya pembaca pada umumnya.
Tulungagung, 9 September 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR
ISI .............................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah.............................................. 1
B.
Rumusan Masalah....................................................... 1
C.
Tujuan Masalah........................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Tabi’in......................................................... 2
B. Kondisi Masyarakat...................................................... 3
C. Sumber Tasyri’ Pada Masa Tabi’in................................ 6
D. Munculnya Hadits-hadits Palsu (Maudhu’).................. 11
E. Ijtihad Pada Masa Tabi’in............................................. 12
F.
Munculnya Mufti Masyhur Masa Tabi’in...................... 13
BAB III: PENUTUP
KESIMPULAN................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Islam adalah
agama yang benar yang diridhai Allah. Agama
yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Dan
ruang lingkup keberlakuan ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah untuk semua umat manusia, dimanapun mereka berada. Islam dapat
diterima oleh seluruh manusia di muka bumi ini atas kehendak-Nya. Sejak awal
mula sejarah islam hukum bersumber pada Syari’ah (wahyu Allah dan sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam). Dan dalam pembahasan hukum islam, terdapat
masa-masa dimana terdapat penetapan hukum islam. Melalui makalah ini penulis
akan membahas lebih lanjut mengenai Hukum Islam pada masa Tabi’in.
B.
RumusanMasalah
1.
Seperti
Apakah Kondisi Tarikh Tasyri’ dimasa Tabi’in?
2.
Bagaimana
Kondisi Masyarakat beserta Keadaan Pendidikannya dimasa Tabi’in itu?
3.
Apa
Penyebab Munculnya Hadits-haditas Palsu dimasa Tabi’in ?
4.
Siapa
Sajakah Mufti Mashur Pada Masa Tabi’in ?
C.
TujuanPenulisan
1.
Agar
Mengetahui Kondisi Tarikh Tasyri’ dimasa Tabi’in.
2.
Agar
Kita Mengetahui Keadaan Masyarakat Beserta Pendidikannya pada Masa Tabi’in
3.
Agar
Kita Mengetahui Apa Saja Penyebab Munculnya Hadits-hadits Palsu di Masa Tabi’in.
4.
Agar
Kita Tahu dan Mengenal Siapa Saja Mufti dimasa Tabi’in.
BAB
II
PEMBAHASAN
Tabi'in artinya pengikut, adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah Para sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Generasi Tabi’in mengambil dan penerimaan pelajaran dari sahabat
mengenai tafsir Al-Qur’an, hadis, fatwa-fatwa mereka dan lebih khususnya
pengetahuan penetapan hukum serta metode- metode penetapan-penetapan hukum.[[1]] Keberadaan Tabi’iin ini diisyaratkan dalam
Al-Qur’an surat (At-Taubah 100).
وَٱلسَّٰبِقُونَ
ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم
بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ
عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا
ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ
ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠
Artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 100).
Keberadaan Tabi’in juga dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat),
kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian
orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’uttabi’in). ”[Diriwayatkanoleh
Al-Bukhaariy no. 3650. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy
7/17, Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657.]. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan
(untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan dengan)
masalah-masalah kebaikan”.[[2]]
B. Kondisi
Masyarakat
Saat
itu pandangan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan sungguh antusias terbukti
dengan banyaknya pembuktian ilmu pengetahuan yang terdiri diantaranya tentang
hukum Islam, As-Sunnah, tafsir dan lain-lain. Karena banyaknya sahabat-sahabat
yang sudah wafat, maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah sebagai guru
dari orang-orang yang meminta fatwa serta belajar kepadanya, mereka mempunyai
hadits-hadist dan yang diriwayatkan dalam jumlah yang besar, sebagian
diantaranya : Musnad Abu Hurairah 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hambal,
Musnad Abdullah bin Umar 156 halaman, dalam Musnad Abu Bakar tertulis 41
halaman serta Musnad Ali dalam 85 halaman.
Zaman
tabi’in ini pemerintahanya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pemerintahan ini
dipimpin oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan radhiallahu’anhu yang sebelumnya pernah menjadi
Gubernur Damaskus. Fitnah besar yang dihadapi umat islam pada akhir
pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib radhiallahu’anhu ini adalah tahkim.
Pendukung
Ali yang tidak menyetujui tahkim tidak lagi mendukung Ali (sehingga mereka
keluar dari Jama’ah umat rasulullah Shallallau’alaihi Wasallam) yang kemudian dikenal
sebagai Khawarij. Kelompok ini memusuhi sahabat bahkan mengkafirkan orang yang
terlibat dan menyetujui hasil tahkim. Dengan terbunuhnya Ali
kemudian Muawiyah mengambil alih kepemimpinan umat islam dengan
digantinya sistem pemerintahan menjadi sistem kerajaan. Ketika itu umat islam,
terpecah menjadi 3 yaitu golongan khawarij, golongan syi’ah, dan jumhur. Fase
ini merupakan awal zaman Tabi’in.[[3]]
1. Khawarij adalah mereka
yang kecewa dengan proses tahkim (Perdamaian) pada masa Ali. Akibat kejahilan
mereka akan ilmu Sunnah Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam, mereka
mengkafirkan Ali pun juga Muawiyah Radhiallahu’anhuma serta siapa saja yang
terlibat dan setuju dengan tahkim. Dan mereka berpendapat wajib untuk melantik
seorang khalifah yang taat agama versi mereka.
2. Syi’ah adalah
orang- orang yang fasik dengan dalih mengutamakan Ali- Bin Abi Thalib
Radhiallahu’anhu. Mereka mengangap khalifah hanya milik Ali dan keturunannya
saja, pemikiran ini muncul dari seorang yang bernama Abdullah bin Saba’ yang berpura-pura masuk Islam pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Abdullah bin Saba
adalah seorang Yahudi dari Shan’a, Yaman, yang berpura-puramasuk Islam dan
berpura-pura menampakkan rasa cinta kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Dialah yang menjadi penyebab utama terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
3. Jumhur kaum
Muslimin adalah mayoritas muslim yang meiliki sifat adil dan selalu berhati-hati.
Saat itu pandangan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan sungguh antusias
terbukti dengan banyaknnya pembuktian ilmu pengetahuan yang terdiri diantaranya
tentang hukum Islam, As-Sunah, Tafsir dan lain-lain. Pada saat itu karena banyaknya
sahabat yang sudah meninggal, maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah
sebagai guru dari orang- orang yang meminta fatwa serta belajar kepadannya.
Adapun faktor- faktor perkembangan
tarikh tasyri’ pada masa ini adalah :
1.
Politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam
ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong
terbentuknya aliran hukum (termasuk aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan
Islam).
2.
Perluasan wilayah
Sebagaimana yang kita ketahui perluasan
wilayah Islam sudah berjalan pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian
berlanjut pada periode Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat
dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh
Islam, sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan
segala sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak
terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3.
Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam
mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu; Ulama yanag
kembali pada Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan riwayat dan
sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran
ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan ra’yu (akal ) dibandingkan
dengan Hadits, dengan demikian, inilah sebab adanya perkembangan pemikiran yang
dapat mendorong terbentuknya Firqah-firqah dalam Islam.
4. Fahamnya
Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber
hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam
penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi
serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu
peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat dijadikan
yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5.
Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan
muslim seperti Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan seterusnya
dengan keluasan ilmu mereka telah berperan besar dalam pemprosesan suatu hukum
yang berkembang dalam masyarakat saat itu.
6.
Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di
sekitar membuat banyak permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan
demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan
mengembalikan permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan
tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
C.
Sumber Tasyri Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber
perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan
pada periode ini ada empat macam yakni:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’anul Karim sebagai kitab pedoman
berisi berbagai pembahasan bermanfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam
segala kondisi. Misalnya, dalam metode pembelajaran dan cara menanamkan sebuah
nilai dalam hati seseorang. Metode yang dipakai adalah metode yang simpel dan
paling jelas. Diantara metodenya yaitu dengan membuat perumpamaan-perumpamaan.
Metode ini dipakai untuk menyampaikan
masalah-masalah yang sangat urgen dan krusial, seperti masalah tauhid dan
kondisi orang-orang yang mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , masalah syirik dan
kondisi kaum musyrik, dan berbagai amalan besar lainnya. Tujuannya tentu untuk
memahamkan dan menanamkan nilai-nilai luhur yang abstrak dengan cara
menggambarkannya dengan sesuatu yang kongkrit sehingga seakan-akan terlihat
mata.[[4]] Jumhur Ulama telah sepakat bahwasanya Al-Qur’an merupakan sumber syara’
yang hakiki. Jadi apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa pada periode
ini merujuk pada kitabullah, karena kitabullah merupakan rujukan utama bagi
setiap muslim untuk menentukan hukum atau menetapkan hukum.[[5]]
2. As-Sunnah
Dalam penggunan
as-sunnah senagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an lebih disepakati oleh
jumhur Ulama. As-Sunnah pulalah yang menjadi sumber hukum setelah Al-Qur’an bagi
para sahabat besar[[6]] karena tidak ada lagi perbedaan mengenai kehujjahan as-sunnah. Oleh
karena itu pada periode ini sahabat dan tabi’in yang menggunakan as-sunnah
sebagai sumber tasyri’ yang kedua. Jadi apabila yang mereka maksud tidak
terdapat dalam Al-Qur’an/kitabullah, maka mereka akan beralih untuk memperhatikan
sunnah Rasullullah Shallallahu‘alaihi Wasallam.
3. Al-Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ didefinisikan
oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun, secara ringkasnya dapatlah
dikatakan sebagai berikut: ”Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa
setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat
dipertanggung jawabkan (paling mendekati kebenaran secara mutlak) adalah yang
terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah
tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya
banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa
semua ulama telah bersepakat.
2. Syarat Ijma’
Berdasarkan definisi
di atas dapatlah disebutkan syarat-syarat sebuah ijma’ itu bisa disahkan dan
berlaku:
1. Terjadinya
kesepakatan.
2. Kesepakatan seluruh
ulama islam.
3. Waktu kesepakatan
setelah zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam[[7]], meskipun
hanya sebentar saja kesepakatan terjadi.
4. Yang disepakati
adalah perkara agama.
Bila seluruh perkara di atas terpenuhi maka
ia menjadi ijma’ yang tak boleh diselisihi setelahnya, dan menjadi landasan
hukum dalam Islam. Siapa yang menyelisihinya maka ia menyimpang, meskipun
berasal dari mereka yang dulunya ikut bersepakat di dalamnya.[[8]]
4.
Al-Qiyas
1.
Pengertian Qiyas
Qiyâs atau analogi ialah suatu praktik
penyamaan hukum antara sesuatu yang disebutkan hukumnya secara gamblang dalam
agama (yang selanjutnya disebut al-maqis ‘alaih atau masalah utama) dengan
suatu yang tidak dijelaskan hukumnya dalam agama (yang selanjutnya disebut
al-maqis atau masalah cabang). Penyamaan ini dilakukan karena ada kesamaan
dalam penyebab hukum atau yang masyhur disebut dengan ‘illah.
2.
Rukun-rukun Qiyas
Pada setiap qiyâs yang benar, pasti
terdapat empat hal atau rukun. Masing-masing rukun ini memiliki kriteria dan
persyaratan tersendiri. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan menjamin
qiyâs tidak melampaui batas kekuatan hukumnya.
Rukun Pertama : Hukum Utama.
Yaitu hukum masalah utama yang ketetapannya
termaktub dalam dalil al-Qur’ân, as-Sunnah atau ijmâ’. Adapun hukum yang
berketatapan berdasarkan qiyâs atau yang dalil lainnya, maka tidak dibenarkan
untuk dijadikan sebagai hukum utama dalam praktik qiyâs. Ini adalah syarat
paling pokok pada hukum utama, walau sejatinya para Ulama’ merinci lebih jauh
dari apa yang dipaparkan di sini.
Rukun Kedua : ‘Illah (Alasan Penetapan
Hukum Pada Masalah Utama)
Qiyâs atau analogi ialah suatu praktik
penyamaan antara hukum masalah utama dengan masalah cabang. Penyamaan ini
berlandaskan adanya kesamaan dalam alasan hukum atau yang masyhur disebut
dengan ‘illah. Bila demikian, berarti pada setiap qiyâs pasti terdapat ‘illah
yang mempersatukan antara kedua masalah.
Ulama’ ahli ushul fiqih telah bersepakat
bahwa ‘illah yang berperan sebagai pemersatu ini haruslah memenuhi beberapa
kriteria berikut :
1. Dia adalah sesuatu yang bersifat maknawi
yang benar-benar berperan utama dalam keberadaan hukum pada masalah utama dan
cabang. Sehingga, setiap kali ia ada, hukumnya juga ada. Dan sebaliknya, setiap
kali dia tiada, maka hukumnya juga hilang atau tiada. Contoh, menurut madzhab
Maliki, alasan penetapan hukum-hukum riba perniagaan (riba fadhl) pada kurma
dan gandum ialah karena keduanya sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.
Berdasarkan ini mereka berpendapat bahwa setiap makanan pokok yang dapat
disimpan berlaku padanya hukum-hukum riba perniagaan.
2. Illah harus nampak nyata, sehingga
dengan mudah diidentifikasi atau dikenali. Syarat ini bertujuan agar penyamaan
antara hukum masalah cabang dengan masalah utama dapat dilakukan dengan mudah.
3. Pemersatu tersebut adalah sesuatu yang
tidak bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’ân dan hadits. Karena qiyâs hanya
berkekuatan hukum dalam kondisi darurat, yaitu ketika tidak ditemukan dalil
al-Qur’ân, as-Sunnah atau Ijmâ’.
Rukun Ketiga : Masalah Cabang.
Karena tujuan qiyâs ialah mengetahui hukum
masalah cabang, maka suatu hal yang alami bila masalah cabang ialah :
1. Masalah yang belum memiliki ketetapan hukum dalam dalil al-Qur’ân,
as-Sunnah atau Ijmâ’.
2. Masalah cabang adalah masalah baru, terjadi setelah penetapan hukum
pada masalah utama.
3. Pada masalah cabang terdapat makna pemersatu ‘illah yang ada pada
masalah utama.
Rukun Keempat : Hukum Masalah Cabang
Hukum masalah cabang ialah hasil akhir dari
praktik qiyâs. Karenanya, bila Anda telah berhasil menemukan hukum pada masalah
cabang, maka Anda telah sukses menjalankan qiyâs. Hanya saja, Anda perlu tahu,
apakah hasil qiyâs Anda tepat atau salah ? Tepat atau tidaknya proses qiyâs
Anda, dapat dikenali dengan mengenali kriteria hukum masalah cabang. Ulama’
ahli ushul fiqih telah menjelaskan bahwa hukum hasil qiyâs Anda harus sama
dengan hukum pada masalah utama. Bila hukum hasil qiyâs anda berbeda dengan
hukum pada masalah utama, maka ini menjadi bukti bahwa qiyâs Anda salah, atau
yang sering disebut oleh para ulama’ dengan sebutan qiyâs ma’al farqi. Yaitu
memaksakan qiyâs masalah cabang dengan masalah utama, padahal antara keduanya
terdapat perbedaan mendasar.[[9]]
Maka disini penyusun makalah menyimpulkan secara umum bahwa tabi’in mengikuti
langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan
hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam
Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah. Apabila
tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka berusaha untuk rujuk kepada
pendapat para sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh , mereka
berijtihad.
D.
Munculnya
Hadits-hadits Palsu (Maudhu’)
1. Pengertian
Hadits Palsu (Maudhu’)
Yang
dimaksudkan dengan hadits maudhu’ adalah hadits yang dikarang-karang
oleh orang yang berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Hadits maudhu’
–berdasarkan kesepakatan para ulama- tidak boleh disebut-sebut dan
disebarluaskan di tengah-tengah manusia. Hadits maudhu’ tidak boleh digunakan
baik dalam masalah at targhib (untuk memotivasi) atau at tarhib
(untuk menakut-nakuti) dan tidak boleh digunakan untuk hal-hal lainnya. Hadits
maudhu’ boleh disebutkan jika memang ingin dijelaskan status haditsnya yang
maudhu’.”[[10]]
2. Latar
Belakang Munculnya Hadits-hadits Palsu
a. Munculnya Kaum Zindiq
Zindik termasuk kaum golongan yang
membenci Islam, baik sebagai Agama atau sebagai Pemerintahan. Mereka tidak nungkin
dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, maka
cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadits, dengan
tujuan menghancurkan agama dari dalam.
b.
Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri,
Bahasa, dan Pimpinan
Mereka membuat hadis palsu karena di
dorong oleh sikap ego dan fanatic buta serta ingin menonjolkan seseorang,
bangsa, factor kelompok atau politik
kekuasaan, ringkasnya adalah lebih mengutamakan hawa nafsu daripada ilmu itu
sendiri.
Hadis Maudhu’ menurut
kami sebagai penyusun makalah sebenarnnya lebih tepat
kami katakan bukan hadits, tapi hanya
perkataan yang tidak jelas, pada zaman dulu yang intinya untuk
menghancurkan umat Islam.
E.
Ijtihad Pada Masa Tabi’in
1. Pengertian Ijtihad
Pengertian Ijtihad menurut Istilah Hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras
fikiran) untuk menemukan hokum agama (syara) melalui satu dalil syara’
dan dengan cara- cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa carta-cara
tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kamauan
sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak di sebut ijtihad.[[11]]
2. Metode Ijtihad
Dalam masa Ini metode Ijtihadnya adalah ijtihad yang
bemadzhab-madzhab, memiliki pandangan yang berbeda-beda, dan kami akan
memberikan salah satu contoh yaitu:
Misalkan Metode Ijtihad Imam Syafi’i :
1. Alqur’an
2. Hadis
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istidlal .
Kami di sini akan menjelaskan pada poin yang ke lima saja
di karenakan poin-poin sebelumnnya sudah di pembahasan sebelumnnya, pada poin
ke lima yaitu Istidlal yan mana maksud dari istidlal adalah mencari dalil yang
tidak ada nash Al-Qur’an dan Al-sunnah, tidak ada ijma dan tidak ada pada
Qiyas. Definisi di atas menunjukan bahwa seseorang mujtahid dalam memustuskan
suatu keputusan hukum hendaklah mendahululkan Al-Qur’an, As- Sunnah, Ijma,
Qiyas, dan apabila tidak menemukan makan hendaklah mencari dalil lain
(Istidlal).
Kemudian secara umum Imam Syafi’i adalah orang pertama
yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan ilmu Ushul Fiqih,
melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath
(pengambilan hukum) dari Al-Qur’an dan Hadits, menerangkan mukashis nash yang
mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan mentarjih nash-nash yang secara
zahirnya saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam
Syafi’i Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah,
metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam
Malik.[[12]]
F. Munculnya Mufti Masyhur Masa Tabi’in
Mufti menurut kamus bahasa Indonesia adalah pemberi fatwa
untuk memutuskan masalah yg berhubungan dengan hukum Islam, sedangkan Masyhur
adalah orang yang dikenal orang banyak atau kenamaan.
Periode ini memiliki ciri khas, banyaknya ulama yang
memberi fatwa selain banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh para ahli fikih.
Ruang perbedaan fikih pun semakin meluas sebagai bukti bahwa aktivitas fikih
pada zaman ini meningkat dibanding sebelumnya seperti zaman sahabat. Meningkatnya aktivitas fikih pada zaman ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Menyebarnya Para Sahabat Ke Seluruh Pelosok Wilayah, Umar
bin Khattab melarang para pembesar sahabat terutama mereka yang terkenal
sebagai ahli ra’yi ( merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang
dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad
ketimbang hadits). Untuk meninggalkan kota Madinah, kecuali dalam keadaan
darurat seperti memimpin pasukan dan memimpin negeri-negeri. Hal tersebut
dikarenakan mereka memang menganut sistem syuro, dan komitmen Umar ini sampai
pada jika ada masalah yang muncul, ia mengemukakannya kepada ahli ra’yi dengan
cara mengirimkan surat dan hal ini sudah tentu memberikan pengaruh positif bagi
lahirnya ijma’ terhadap masalah yang muncul pada zamannya.
2. Perbedaan adat istiadat, hubungan sosial, keadaan dan
taraf hidup, jenis pekerjaan baik pertanian dan perdagangan, ilmu, dan wawasan
telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perbedaan masalah fatwa pada satu
negeri dengan negeri yang lain, dan sulit untuk membangun komunikasi karena
jarak tempuh yang jauh serta sarana transportasi yang minim. Kondisi dan
dinamika tasyri’ pada zaman tabi’in ini sedikit banyak berbeda dengan
kondisi pada masa sahabat, dalam hal kebutuhan untuk memperbanyak periwayatan
hadis semakin menguat pada zaman tabi’in ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Luasnya wilayah kekuasaan negara Islam setelah terjadi banyak
penaklukan sehingga menimbulkan banyak masalah yang perlu diberikan fatwa.
Disamping itu, para fuqaha’ menghadapi kondisi sosial yang beragam dengan
adanya orang Persia dan Romawi serta Kristen Ortodoks.
2. Jarak antara satu negeri dengan negeri yang lain sangat
jauh dan sulit berkomunikasi sesama mereka. Oleh karena itu, setiap ulama hadis
terpaksa meriwayatkan apa yang dihafalnya untuk berfatwa, dan terkadang mereka
pergi ke Madinah untuk mengumpulkan hadis dan menghafalnya.
Adapun Beberapa mufti masyhur di masa Tabi’in diantaranya
adalah :
1. Di
Madinah yaitu di antaranya Said bin
al-Musayyab (94 H/713 m) dan lain-lain.
2. Di
Makkah yaitu : Ikrimah Maula
Ibnu Abbas (107
H/ 726 M)
H/ 726 M)
3. Di
Kufah yaitu : Alqamah bn Qais
al-Hakha’iy (62 H/681 m)
4. Di
Mesir yaitu : Yazid bin abu Habib Maula
a-Azad (128 H/ 746 M)
5.
Di Basrah yaitu: al-Hasan al-Basri (111 H/730 M)
6. Di Syam/ Siria yaitu: Sed
al-Rahman bin bunmin al-Asyari (78 H).[[13]]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Zaman tabi’in ini pemerintahanya dipimpin oleh Bani Umayyah.
Pemerintahan ini dipimpin oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan radhiallahu’anhu yang
sebelumnya pernah menjadi Gubernur Damaskus. Fitnah besar yang dihadapi umat
islam pada akhir pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib radhiallahu’anhu ini
adalah tahkim. Sebagaimana
pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga tidak
jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat macam
yakni: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Meski demikian pada zaman ini pula
hadits-hadits palsu mulai bermunculan.
2.
Kondisi
masyarakat dimasa ini adalah sangat perhatiannya pandangan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan sungguh antusias ini terbukti
dengan banyaknya pembuktian ilmu pengetahuan yang terdiri diantaranya tentang
hukum Islam, As-Sunnah, tafsir dan lain-lain.
3.
Penyebab
munculnya hadits-hadits palsu dimasa ini adalah :
a. Munculnya Kaum Zindiq
Zindik termasuk kaum golongan yang membenci Islam,
baik sebagai Agama atau sebagai Pemerintahan. Mereka tidak nungkin dapat melampiaskan
kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, maka cara yang paling
tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadits, dengan tujuan
menghancurkan agama dari dalam.
b. Fanatik Terhadap Bangsa, Suku,
Negeri, Bahasa, dan Pimpinan
Mereka membuat hadis palsu karena di dorong oleh sikap
ego dan fanatic buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, factor kelompok atau politik kekuasaan, ringkasnya
adalah lebih mengutamakan hawa nafsu daripada ilmu itu sendiri.
4. Adapun Beberapa mufti masyhur di masa Tabi’in diantaranya
adalah :
1. Di
Madinah yaitu di antaranya Said bin
al-Musayyab (94 H/713 m) dan lain-lain.
2. Di
Makkah yaitu : Ikrimah Maula
Ibnu Abbas (107
H/ 726 M)
H/ 726 M)
3. Di
Kufah yaitu : Alqamah bn Qais
al-Hakha’iy (62 H/681 m)
4. Di
Mesir yaitu : Yazid bin abu Habib Maula
a-Azad (128 H/ 746 M)
5.
Di Basrah yaitu: al-Hasan al-Basri (111 H/730 M)
6. Di Syam/ Siria yaitu: Sed al-Rahman bin
bunmin al-Asyari (78 H)
DAFTAR
PUSTAKA
·
Khallaf,
Abdul wahab, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo),
2002.
·
______,
____________, __________________________________________, (RajaGrafido Persd), Jakarta: 2001.
·
Qoyyim,
Ibnul, I’lamul Muwaqqi’in, (Darul Hadits, Kairo), Th. 1422 H / 2002M.
·
Jaih
Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), 2003.
·
Media
Islam Salafiyyah Ahlussunnah wal Jama'ah, Arti
Perumpamaan Dalam Al-Qur’an, (Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh
Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di) https://almanhaj.or.id/3665-arti-perumpamaan-dalam-al-quran.html
·
Izzi,
Muhammad, Mengenal Ijma’ Sebagai Dasar
Hukum Agama, https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-agama.html ,9 February 2014.
·
Badri,
Muhammad Arifin, Selayang Pandang Tentang
Qiyâs, Diambil dari kitab Irsyâdul Fuhûl karya Imam as-Syaukâni, 2/149-166. https://almanhaj.or.id/3601-selayang-pandang-tentang-qiyas.html
·
Al ‘Utsaimin, Muhammad bin Sholih, Faedah
Ilmu dari Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah, cetakan pertama, 1424 H.
·
Hanafi, Ahmad,
Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta:
PT. Bulan Bintang), 1995.
·
Zuhri,
Muhamad, Hukum Islam dalam Lintas Sejarah, (Jakarta: Rajawali Pres), 1995.
[1]
. Abdul wahab Khallaf, Sejarah
Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo), 2002,
h.74.
[2] . Imam
Ibnul Qoyyim, I’lamulMuwaqqi’in, 2/398,
(DarulHadits, Kairo), Th. 1422 H / 2002M.
[3] . Jaih Mubarok, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya), 2003, h.53-54.
[4] . Media Islam Salafiyyah Ahlussunnah wal
Jama'ah, Arti Perumpamaan Dalam Al-Qur’an,
(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir
as-Sa`di, Kaidah ke-22) https://almanhaj.or.id/3665-arti-perumpamaan-dalam-al-quran.html
[5]
. Jaih Mubarok, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda kArya), 2003, h. 57.
[6]
. Sahabat besar merupakan sahabat yang
bergaul dengan Nabi secara langsung, banyak belajar dan mendengar hadits-hadits
dari beliau, bisa diartikan juga dengan para sahabat yang telah dewasa atau
cukup umurnya, telah baligh atau mukallaf. Sahabat kecil adalah para sahabat
yang jarang bergaul dengan Nabi disebabkan jauhnya jarak tempat tinggal dari
kediaman Nabi. Sahabat Kecil juga bisa diartikan umat muslim yang hidup pada
masa nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam sedang ia masih berusia belum
baligh atau mukalaf, ringkasnya adalah orang yang sempat melihat Nabi dan pada
saat itu ia masih kecil.
[7]
. Karena Ijma’ pada masa hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
dianggap, lantaran semua hukum diputuskan secara langsung oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melalui perantara wahyu.
[8] .
Muhammad Izzi, Mengenal Ijma’ Sebagai
Dasar Hukum Agama, https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-agama.html ,9
February 2014.
[9]
. Muhammad Arifin Badri, Selayang Pandang
Tentang Qiyâs, Diambil dari kitab Irsyâdul Fuhûl karya Imam as-Syaukâni,
2/149-166. https://almanhaj.or.id/3601-selayang-pandang-tentang-qiyas.html
[10]
. Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin ,Faedah Ilmu dari Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah, , hal.
401-402, cetakan pertama, 1424 H.
[11] . Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
(Jakarta: PT. Bulan Bintang), 1995. h.162.
[12]. Muhamad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintas Sejarah,
(Jakarta: Rajawali Pres), 1995. h. 113.
[13] . Abdul Wahab Khalaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Ialam, (RajaGrafido Persd), Jakarta: 2001, h. 78-80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar