MAKALAH
IMAM AL-GHAZALI
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
FILSAFAT ISLAM
DOSEN : Suripto, M.Pd
Oleh:
TRIANA NOVATUL HIDAYAH
ZAENAL ARIFIN
YUSUUF ARIFIN
PAI B / III
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
November 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Imam Al Ghazali, sebuah
nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin termasuk kaum muslimin
Indonesia. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh
dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam.Ironisnya sejarah dan
perjalanan hidupnya masih terasa asing.Kebanyakan kaum muslimin belum
mengerti.Berikut penyusun makalah berusaha untuk menyampaikan sebagian sisi
kehidupannya.Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil
hikmah dari sejarah hidup beliau rahimahullah al-Imam al-Ghazali.
B.
RumusanMasalah
1.
Dimana
dan bagaimanakah nasab Imam Al-Ghazali ?
2.
Bagaimanakah
Imam Al-Ghazali dahulu menuntut ilmu ?
3.
Apa
sajakah karya-karya Imam Al-Ghazali ?
4.
Seperti
apakah aqidah dan mazhab beliau ?
C.
TujuanPenulisan
1.
Agar
kita mengetahui tempat lahir serta nasab Imam Al-Ghazali.
2.
Agar
kita mengetahui jejak Imam Al-Ghazali dalam menuntut ilmu.
3.
Agar
kita mengetahui karya-karya Imam Al-Ghazali.
4.
Agar
kita mengetahui aqidah dan manhaj Imam Al-Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nama, nasab dan kelahiran Al-Ghazali
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz-Dzahabi,
Siyar A’lam Nubala’, 19:323 dan As-Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:191). Para
ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al-Ghazali. Sebagian
mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al-Fayumi dalam Al-Mishbah
Al-Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al-Ghazali,
yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir
Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anak dari Situ Al-Mana bintu Abu
Hamid Al-Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan
nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran
nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid
(Al-Ghazzali).Demikian pendapat Ibnul Atsir.Dan dinyatakan Imam Nawawi,
“Tasydid dalam Al-Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani
mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya
kepada penduduk Thusi tentang daerah Al-Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.”
Ada yang berpendapat Al-Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak
perempuan Ka’ab Al-Akhbar, ini pendapat Al-Khafaji.
Yang
dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir
dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan
kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah
dalam catatan kakinya, 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan
memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam
Nubala’, 19:326 dan As-Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:193 dan 194).
B. Kehidupan dan Perjalanannya dalam
Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang
pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota
Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada
temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal
tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang
telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya,
dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka
temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan
yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh
kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya
seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian
berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga
memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”Lalu keduanya
melaksanakan anjuran tersebut.Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu
enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat
Asy-Syafi’iyah, 6:193-194).
Beliau
pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih.Tidak memakan kecuali
hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit.Beliau berkeliling
mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah
semampunya.Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan
berdoa memohon diberi anak yang faqih.Apabila hadir di majelis ceramah nasihat,
beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli
dalam ceramah nasihat.
Kiranya
Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang
yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi
ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:194)
Imam
Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh
Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan
untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At
Ta’liqat.Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/195).
Beliau
mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan
penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab
Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan
filsafat.Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah
orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau,
yaitu Al Juwaini (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 19:323 dan As-Subki,
Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:191)
Setelah
Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul
Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat
ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan
tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal.Mencapai kedudukan yang
sangat tinggi.
1.
Pengaruh Filsafat dalam Diri
Al-Ghazali
Pengaruh
filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya.Beliau menyusun buku yang berisi
celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan
filsafat.Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang
disangkanya benar.Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu
atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan
filsafat.Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu
Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam
perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab
Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’
Fatawa, 6:54)
Hal ini
jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin.Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik.Akan tetapi
di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita
bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.”(Majmu’ Fatawa, 6:54).
Demikianlah
Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul,
tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu
kebenaran.Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan
meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun
beliau memiliki bantahan terhadapnya.Membuat beliau semakin jauh dari ajaran
Islam yang hakiki.
Adz
Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat,
yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam
beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan
agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar
dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat
mengarahkan akal.Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush
Shafa.Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan.Kalaulah
Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah
binasa.” (Siyar A’lam Nubala, 19:328)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat.Menampakkannya
dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i).Oleh karena itu
para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar
Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian
ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa, 4:164)
2. Polemik Kejiwaan Imam Al-Ghazali
Kedudukan
dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia.Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya
senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali
kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa.Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H
beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai
penggantinya.
Pada tahun
489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi
Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat
masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin
Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah).
Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al-Arba’in, Al-Qisthas dan
kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli
ibadah.Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu
Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10
tahun.Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’
Al-Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin
Ubaidilah Al-Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala,
6:34).
Disampaikan
juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk)
mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud,
berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke
Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.Kemudian
kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika
Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan
diminta tinggal di Naisabur.Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan
mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat.Setelah beberapa tahun, pulang
ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.Beliau mendirikan
satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi.Beliau
habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Alquran, berkumpul dengan ahli ibadah,
mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya
sampai meninggal dunia.
3.
Masa akhir kehidupannya
Akhir
kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul
dengan ahlinya.Imam Adz-Dzahabi berkata, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun
menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain
(Shahih Bukhari dan Muslim).Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat
menguasai semuanya dalam waktu singkat.Beliau belum sempat meriwayatkan hadits
dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj
Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats-Tsabat
‘indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya), “Pada subuh hari Senin,
saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, ‘Bawa ke mari kain kafan
saya.’ Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua
matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat
Maut.’Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat.Beliau meninggal
sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala, 6:34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal
14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat
Asy Syafi’iyah, 6:201)
C.
Karya-karya Imam
Al-Ghazali
Beliau seorang yang produktif
menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang
terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin
dan akidah: 1. Arba’in fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau
Jawahirul Qur’an. 2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’
Ulumuddin pada jilid pertama. 3. Al Iqtishad fil I’tiqad. 4. Tahafut
Al-Falasifah, yang berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para
filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah. 5. Faishal At-Tafriqah
Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih,
filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara
ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
1.
Al-Mustashfa min ‘Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal
dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq
dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan
perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan
pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli
kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fikih)
lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah
membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita
mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka
kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena
melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar ….” (Dua
perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah
dari Al-Mustashfa, hlm. 17 dan 18). Lebih jauh pernyataan beliau dalam
Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga
bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka
siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.”
(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al-Mustashfa, hlm. 19). Kemudian hal
ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap
orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak
para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak
mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik
dari para ahli manthiq.
2. Mahakun Nadzar.
3. Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini
berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
4. Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini
dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
5. Misykatul Anwar. Dicetak
berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
6. Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna.Telah
dicetak.
7. Mizanul Amal. Kitab ini telah
diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama,
kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya
Al-Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah
dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah
karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al-Qadhi Kamaluddin
Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan
atas nama Al-Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.”
(Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, 19:329). Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya.Di antaranya
yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala
Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini.Akan tetapi para pakar
yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan
perkataannya.”(Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).Kitab ini
diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
10. Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
11. Qanun At-Ta’wil.
12.
Fadhaih Al-Bathiniyah dan Al-Qisthas Al-Mustaqim.Kedua kitab ini merupakan
bantahan beliau terhadap sekte batiniyah.Keduanya telah terbit.
13. Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang
kali dengan tahqiq Muhammad Al-Mu’tashim Billah Al-Baghdadi.
14.
Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad
Bahit.
15. Ar-Risalah Alladuniyah.
16. Ihya’
Ulumuddin.Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian
kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak
tentang kitab ini, di antaranya: – Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid
telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak
kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat
dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa.Mereka adalah kaum yang memandang
kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.”(Dinukil Adz-Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala, 19:334). – Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau
pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah
melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang
agung dari kalangan ulama.Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman.Beliau telah
menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya.Dia dapat
memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi.
Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang
berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau
rusak dengan pemikiran filsafat dan Al-Hallaj (pemikiran wihdatul wujud).Mulai
mencela ahli fikih dan ahli kalam.Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari
agama ini.Ketika menulis Al-Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan
rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian
tentangnya.Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan
hadis-hadis palsu.”Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan
pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits
yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan
serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz-Dzahabi
dalam Siyar A’lam Nubala, 19:339-340) – Imam Subki dalam Thabaqat
Asy-Syafi’iyah (Lihat 6:287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat
dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui
sanadnya.Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam
kitabnya, Al-Mughni An-Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al-Ihya Minal Akhbar.Kitab ini
dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin.Beliau sandarkan setiap hadits kepada
sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya.Didapatkan banyak dari
hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada
asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Maka berhati-hatilah
para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal
yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
17.
Al-Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi
biografinya.
18. Al-Wasith.
19. Al-Basith.
20. Al-Wajiz.
21.
Al-Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang
beliau tulis. Imam As-Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah, 6:224-227.
D.
Aqidah dan Madzhab Imam Al-Ghazali
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang
bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al-Wasith, Al-Basith, dan Al-Wajiz.
Bahkan kitab beliau Al-Wajiz termasuk buku induk dalam Mazhab Syafi’i. Mendapat
perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan
mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam,
A’jubatuz Zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Ath-Thusi Asy-Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah
terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela
Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang
menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut.
Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul
Al-Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan
dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah
sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab
Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup
mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan
kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya
Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau?
Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah
sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat
dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen.
Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau
berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd
mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab
saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah,
sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab
Bughyatul Murtad, hlm. 110). Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau
seperti Misykatul Anwar, Al-Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds,
Raudhatuthalibin, Al-Maqshad Al-Asna, Jawahirul Qur’an dan Al-Madmun Bihi Ala
Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf
orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan
tasawuf Al-Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al
Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap
orang memiliki tiga akidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan
yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu
yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali
teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al-Ghazali menyembunyikan sisi
khusus dan rahasia dalam akidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian
singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian
membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung
kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya.
(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah, 2:628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih
Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran
Al-Ghazali, bahwa tasawuf Al-Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab
Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam
agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan
Neo-Platoisme. Lihat Al-Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al-Adyan Wal Madzahibi Wal
Ahzab Al-Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al-Juhani, 2:928-929).
Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu
Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul
Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap
Al-Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan
sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah
habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al-Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab
ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha
menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha
tersebut pada Al-Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir
filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan
pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat
Mukadimah kitab Bughyatul Murtad, hlm. 111)
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir
hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah meninggalkan
filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al-Ghazali, pen.)
karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka,
sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau
menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa
perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya
perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih
Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian.[]
Kami sebagai penyusun makalah akan
mengingatkan kembali bahwa akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali
mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya (bertaubat). Berkata Imam Adz
Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu
singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan
kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah
meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad
(saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat,
lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya
serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.” Kemudian
beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit
menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada
Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.[]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Beliau
bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al
Ghazali (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 19:323 dan As-Subki, Thabaqat
Asy-Syafi’iyah, 6:191). Sedangkan para ulama nasab berselisih dalam penyandaran
nama Imam Al-Ghazali.
2. Imam
Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh
Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan
untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At
Ta’liqat.Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/195). Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam
Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai
dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan,
ushul, manthiq, hikmah dan filsafat.Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu
tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat
kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’,
19:323 dan As-Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyah, 6:191). Setelah Imam Haramain
meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik.
3.
Di antara karyanya yang terkenal
ialah: Pertama, dalam masalah ushuluddin dan akidah: 1. Arba’in fi Ushuliddin.
Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an. 2. Qawa’idul Aqa’id,
yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama. 3. Al Iqtishad
fil I’tiqad. 4. Tahafut Al-Falasifah, yang berisi bantahan beliau terhadap
pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab
Asy’ariyah. 5. Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah. Kedua, dalam ilmu
ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat
banyak.
4.
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i.
Nampak dari karyanya Al-Wasith, Al-Basith, dan Al-Wajiz. Sedangkan dalam sisi
akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab
Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof
serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar
dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang
terkenal dengan judul Al-Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah
dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh
ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang
baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan
cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga
dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat
penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah. Ketika berbicara dengan
Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf,
dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap
dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan,
“Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan
tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan
filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad, hlm. 110).
DAFTAR PUSTAKA
·
Ahmad bin Ustman Adzahabi, Syamsuddin Muhammad
bin, Siyar A’lam Nubala, 23 Jilid, ditahqiq oleh Syuaib Al-Arnaut, (Penerbit: Muassasah
Ar-risalah, 1417 H / 1996).
·
Tajuddin As-Subqi (727 H – 771 H / 1327
M – 1370 M) “Thabaqat asy-Syafi’iyah
al-Kubra” 10 Jilid.