Biarlah
mereka bercerita tentang Achiles, sang pemberani dalam mitologi Yunani.
Atau dongeng manusia setengah dewa, Hercules. Kita –umat Islam- pun
memiliki pahlawan pemberani pula. Ceritakanlah kepada kepada anak-anak
kaum muslimin tentang Abdurrahman ad-Dakhil, Alib Arselan as-Saljuki, Nuruddin Zanki, Shalahuddin al-Ayyubi, Muhammad al-Fatih,
atau Sulaiman al-Qanuni -rahimahumullah-. Agar mereka tahu, siapakah yang lebih layak,
untuk dijadikan idola ,dan pahlawan yang sesungguhnya.
Keenam: Saifuddin Qutuz
Saifuddin Qutuz adalah orang kepercayaan Sultan
al-Mu’iz Izuddin Aibek dan anaknya, Sultan al-Manshur Ali. Salah satu
prestasi terbesarnya adalah mengalahkan pasukan Mongol yang tak
terkahlahkan itu.
Ketika Mongol sampai di wilayah Syam, mereka
mengutus duta kepada Qutuz, agar menyerah dan tunduk kepada Mongol.
Tunduk kepada orang Aisa Tengah yang nomaden yang telah menjelma menjadi
kekuatan dunia. Kekuatan besar yang telah mengalahkan negeri sebesar
Tiongkok. Kekuatan besar yang tak ada satu pun negeri-negeri Timur mampu
membuat mereka mundur.
Beberapa
riwayat sejarah menyebutkan, Qutuz membalas sikap Mongol yang
menganggap remeh Daulah Mamluk ini dengan memenggal para utusan itu.
kemudian memajang kepala mereka di depan Gerbang Zuwaylah, salah satu
gerbang di Kota Kuno Kairo, Mesir. Hal ini menegaskan sikap Daulah
Mamluk, mereka menyambut genderang perang yang ditabuh Mongol terhadap
negara-negara Islam. Peristiwa ini mengawali perang besar yang kita
kenal dengan Perang Ainjalut. Perang paling bersejarah dalam perjalanan
Kota Kairo. Perang yang –atas izin Allah- menyelematkan peradaban Islam
dari keganasan bangsa Mongol.
Mengalahkan Mongol hanya dengan bermodal
keberanian, sama saja menyerahkan leher-leher kaum muslimin untuk
disembelih. Tentu butuh strategi dan perhitungan yang jitu. Mongol telah
mengalahkan Cina, bangsa yang kuat dan memiliki peradaban yang mapan.
Mengalahkan Abbasiyah yang telah berkuasa di tanah Arab berabad-abad.
Oleh karena itu, pencapaian Qutuz dengan mengalahkan Mongol adalah
sesuatu yang luar biasa. Selain itu, moral kaum muslimin pun kembali
meninggi.
Yusuf bin Tasyafin, sang singa Murabithin.
Kecerdasannya tampak saat Penguasa Murabithin di Maroko, Amir Abu Bakar,
menunjuknya sebagai penguasa wilayah Sijilmasa. Kemudian Abu Bakar
menyerahkan kekuasaan Daulah Murabithin kepadanya secara utuh.
Dimulailah masa keemasan Murabithin hingga 45 tahun berikutnya.
Yusuf
mulai membangun kota Marrakesh. Memperluas kekuasaan Murabithin hingga
meliputi seluruh wilayah Maroko dan Aljazair. Kemudian menuju Andalusia,
menyelamatkan kaum muslimin setelah jatuhnya Kota Toledo ke tangan
orang-orang Nasrani. Ia terus masuk ke Andalusia hingga berhasil
mengalahkan Raja Alfonso dari Kerajaan Kastilia pada tahun 479 H/1086 M.
Kedelapan: Muhammad al-Fatih
Muhammad al-Fatih adalah seorang pemimpin
Daulah Utsmani yang sangat dikenal. Ia memegang kekuasaan Utsmani pada
tahun 855 H/1451 M dan berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun
857 H/1453 M. Ia memerintah kerajaan ini selama 30 tahun.
Selain digelari dengan al-Fatih, ia juga
disebut dengan Kaisar Romawi, karena mewarisi kerajaan Romawi Bizantium.
Ia juga dikenal dengan Tuan Dua Benua dan Dua Lautan, karena menguasai
Anatolia dan Balkan serta merajai Laut Aegea dan Laut Hitam.
Masa
pemerintah Muhammad al-Fatih dikenal dengan masa reformasi Daulah
Utsmani. Ia membuat tata aturan yang berlaku merata di wilayah
kekuasaannya. Keistimewaan pemerintahannya ditandai dengan penjagaan
luar biasa terhadap masyarakat pedangang dan perkembangan diplomasi
dengan wilayah-wilayah tetangga.
Selain dikenal sebagai pembuka jalan masuknya
Islam ke Eropa, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang yang
toleran. Semua lapisan masyarakat Istanbul mengetahui hal itu. Ia sering
berdiskusi dengan cendekiawan Itali dan Yunani di Kota Balata.
Menunjukkan betapa terbukanya dia. Dalam pemerintahannya, gereja Kristen
ortodoks di Turki tetap berjalan normal seperti sebelumnya, hingga
ditutup di masa pemerintahan Turki modern di abad ke-20.
Hanya 8 tahun saja Sultan Salim I memerintah
Daulah Utsmani, namun pencapaiannya begitu luar biasa. Mesir, Suriah,
dan Hijaz menjadi bagian dari Utsmani. Inilah kali pertama Daulah
Utsmani menjadi penguasa wilayah bumi terbesar.
Pada masa pemerintah Sultan Salim I, muncul
ancaman di wilayah timur Utsmani dari Kerajaan Syiah Shafawi di Iran.
Orang-orang Persia itu mulai mengancam Anatolia. Sultan Salim I
“membeli” “dagangan” mereka. terjadilah pertempuran melawan Syiah
Shafawi di perbatasan Timur Utsmani, di Sungai Eufrat, pada tahun 920
H/1514 M. Dari peperangan tersebut, wilayah Turkmenistan dan Kurdistan
menjadi bagian dari Utsmani.
Pada tahun 922 dan 923 H/1516 dan 1517, wilayah
Mesir dan Syam menjadi wilayah Utsmani. Kemudian syarif Mekah
menyerahkan kekuasaannya atas Mekah dan Madinah kepada Sultan Salim I di
Kairo.
Kesepuluh: Sultan Sulaiman al-Qanuni
Setelah Sultan Salim I wafat, kekuasaan Utsmani
dipegang oleh anaknya, Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M).
Sultan Sulaiman mengikuti kebijakan pendahulunya dalam kemiliteran.
Namun di masa pemeritahannya, hukum, kebudayaan, dan tata kota lebih
tersusun rapi. Oleh karena itu, masa pemerintahannya terkenal dengan
puncak kejayaan peradaban Utsmani.
Pada masa Sultan Sulaiman wilayah Beograd –ibu
kota Serbia sekarang-, Rhodes, Hungaria, dan Wina –ibu kota Austria-
menjadi wilayah Turki Utsmani. Sultan Sulaiman melakukan aktivitas
militer besar-besaran sebanyak tiga kali menghadapi Daulah Shafawi yang
berpaham Syiah. Pertama pada tahun 941 H/1534 M ketika orang-orang
Shafawi masuk ke Kota Erzurum di bagian timur Turki sekarang. Kedua,
pada tahun 955 H/1548 M terjadi kontak senjata atas wilayah Danau Van.
Ketiga, tahun 961 H/ 1554 M.
Di masa ini juga muncul seorang pemimpin
angkatan laut Utsmani yang terkenal, Khairuddin Barbarosa. Barbarosa
adalah seorang panglima angkata laut terbaik dalam sejarah Islam.
Jasanya sangat besar dalam menjaga Laut Mediterania, Pantai Yunani,
Venice (kota di Italia), dan Spanyol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar