MAKALAH
PENGERTIAN
HAKIM, MAHKUM BIH DAN MAHKUM ALAIH
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
USHUL FIQH
DOSEN : Nuraini Saiku, M.Pd.I
Oleh:
YUSUUF ARIFIN
PAI B / III
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
November2016
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bih, mahkum
fih dan mahkum alaih. Adapun istilah mahkum fih penyusun makalah tidak
membahasnya di makalah ini karena penyusun lebih menekankan pada tugas dosen yakni
pengertian al-hakim, mahkum bih dan mahkum alaih saja. Dalam perkembanganya
istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda menurut para
ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu hakim, mahkum
bih, dan mahkum alaih. Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar
ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam penetapan
hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.
Konsep dasar tentang; al-hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih penuh perbedaan
pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam hukum islam.
Sebagai mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua umat islam
dalam kehidupan sehari-hari.
B.
RumusanMasalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Al-Hakim dalam Ushul Fiqh ?
2.
Apa
yang dimaksud dengan Mahkum Bih ?
3.
Apa
yang dimaksud dengan Mahkum ‘Alaih ?
C.
TujuanPenulisan
1.
Agar
bisa memahami makna Al-Hakim dalam ilmu Ushul Fiqh.
2.
Agar
bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum Bih beserta
penjabarannya.
3.
Agar
bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum ‘Alaih beserta
penjabarannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hakim (Al-Hakim)
Kata “hakim” yang berasal
dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan
salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang
memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, dan yang
mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan
untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan.Untuk pengertian yang terakhir
ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi.Dari
segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian
hakim yang memutus perkara di pengadilan.[[1]]
Adapun menurut terminologi ushul
fiqh maka makna dan cakupanya jauh lebih luas, kata hakim menunjuk kepada pihak
yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.Dalam hal ini,
semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan hukum syariat
bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah).
Sebagaimana Firman Allah ta’ala, pada surah al-An’am ayat ke-57, “Katakanlah:
"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari
Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya
disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum
itu hanyalah hak Allah.Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
Semua ulama sepakat menyatakan,
hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang berhak mencipta dan mentapkan perintah dan
larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi
perintah dan larangan-Nya.Dalam konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama
ushul fiqh dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan
hukum) dan Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi nyata).Yang
dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan
hukum.Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah Subhanahu
Wata’ala, tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan
tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan
asy-Syaari’ (pembuat syariat), harus pula ditambahkan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, bukankarena
beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena
beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum
syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks
inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu
matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang
tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).[[2]]
Dari definisi hukum dan penjelasan
satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil pengertian bahwa hakim adalah;
1. Pembuat hukum, yang menetapkan
hukum,yang memunculkan hukum dan yang membuat sumber hukum.
2. Hakim adalah yang menemukan
hukum,yang menjelaskan hukum,yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap
hukum.[[3]]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa Al-Hakim adalah Allah Subhanahu Wata’ala.Dialah
pembuat hukum dan menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan
diikuti oleh semua mukallaf. Dan dari pemahaman seperti ini pulalah, para ahli
ushul bersepakat untuk membuat sebuah teori bahwa “Tidak ada hukum
kecuali yang bersumber dari Allah, sedangkan dasar munculnya teori tersebut adalah firman
Allah ta’ala pada ayat-ayat-Nya yang mulia, yaitu;
a)
Al-An’am:57
“Menetapkan
hukum itu hanyalah Allah.Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
b)
Al- Maidah;49,44 dan 45
-
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah.
-
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.
-
Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.
B.
Pengertian Mahkum Bih
Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan
didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy.Sebagian
ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek
hukum. Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf,
yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang
dapat diberi ketentuan, wajib, sunnah, makruh,atau haram,atau mubah adalah
perbuatan mukallaf.
1. Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum
Bih).
Agar
suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi
yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria
persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat
hukum taklifi ialah sebagai berikut;
a) Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang
memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu
perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung
maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf
atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau
meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf
tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan
yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan shalat dan
membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian
tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya. Semata-mata
berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib
melaksanakan shalat.Karena itulah rasulullah SAWkemudian memberi contoh dan
penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas
perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi,
yakni wajib melaksanakan shalat.
c)Suatu
perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia
bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah SWT adalah untuk dipatuhi
dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah dan
tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu
mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah;286.[[4]]
2. Macam-Macam MahkumBih
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum
bih menjadi dua segi : yaitu dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan
Syara’[[5]]
yang terdiri atas :
a)
Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya
makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait hukum
syara’.
b)
Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud
dan qishas.
c)
Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
d)
Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum
syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.[[6]]
C.
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud
dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab
(tuntutan) Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani
hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih
(subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu
bertindak melaksanakan
hukum, baikyang
berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan
hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah
Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan
apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan
kewajibannya belum terpenuhi.[[7]]
1.
Dasar Taklif
Seorang manusia
belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia mampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Untuk itu,
para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal
dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal
dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Dengan
demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak
kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka
mereka di anggap tidak bisa memahami
taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan
tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif
karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan
sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
رُفِعَ
الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan
pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R.
Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari
aisyah dan ali bin abi thalib).[[8]]
2.
Syarat-syarat Taklif
Para ulama’
ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai
taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a) Orang itu telah mampu
memahami khithab syar’i (tuntunan syara’) yang terkandung
dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain;
karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan-disuruh atau
dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab
syar’i. dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk
memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
b) Seseorang harus cakap
bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya,
apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak melaksanakan hukum, maka
selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa di pertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan
tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak di bebani hukum karena
kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian juga orang pailit dan orang yang
berada di bawah pengampuan (hajr), dalam masalah harta, di anggap tidak cakap
bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di
anggap hilang.[[9]]
3.
Ahliyah
a) Pengertian Ahliyah
Dari segi
etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya,
seseorang di katakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia
mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
Secara
terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
صِفَةٌ يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى
الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat
yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah
adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah
mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum,
seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain. Oleh
sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima
tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan
bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui
tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak
sekaligus.
b) Pembagian
Ahliyah
Para ulama’
membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah
al-ada’.
1) Ahliyah ada’ adalah sifat
kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempurna untuk
mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di
anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia
melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk
menerima hak-hak dan kewajiban.
2) Ahliyah
al-wujud
Adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak
dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.
Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki
ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah
tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap
untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan ,
ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal
dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian
yaitu:
3) Ahliyah
al-wujud an-naqishah
Yaitu ketika
seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap
memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia
terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat,
walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima
menjadi miliknya.
4) Ahliyah
al-wujud al-kamilah
Yaitu kecakapan
menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan
baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status
ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan
syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat
rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik.[[10]]
4. Pengertian
Awaridl Ahliyah
Yang dimaksud
awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud
manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan
berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk
diperhitumgkan oleh syara’).
Awaridl ahliyah tersebut dapat pula dibagi kepada dua
bagian:
1) Awaridl al-samawiyah,
maksudnya halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan
manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan
dengan kematian) dan lupa.
2) Awaridl
al-mukhtasabah, maksudna halangan yang disebabkan perbuatan manusia,
seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.[[11]]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Dalam
bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi
etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian
hakim yang memutus perkara di pengadilan. Kata hakim menunjuk kepada pihak yang
menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini, semua
ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi
seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah). Selain
digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’ (pembuat syariat), harus pula
ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan karena beliau memiliki wewenang otonom
membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliaulah yang diberi tugas, antara
lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu
Allah Subhanahu Wata’ala. Kesimpulannya adalah Allah ta’ala sebagai pembuat
syari’at dan Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai penjelas bagi kita
untuk mengetahui syariat itu sendiri.
2.
Adalah
perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik
berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy. Sebagian ulama ushul fiqh menggunakan
istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum.
3.
Para
ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah
seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah ta’ala, yang
disebut dengan mukallaf.Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani
hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Dahlan, Abd.Rahman ,Ushul Fiqh
(Jakarta:AMZAH,2010).
·
Ma’shum
Zainy al-Hasyimiy, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah Jombang,2008.
·
Faizah , Dzurrotun Ainin, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum
Alaihi , http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-dan-mahkum.html
,Selasa, 29 April 2014.
·
Syafe’i ,Rachmad,IlmuUsulFiqih,
cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010).
·
Umam,
Khairul, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000).
·
Haroen,Nasroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999).
·
Karim,
A.Syafi’I, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997).
[1]
. Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh
(Jakarta:AMZAH,2010), hal. 87-88.
[2].
Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Ilmu
Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah Jombang,2008), hal. 166-167. Dengan
sedikit tambahan dan pengurangan dari penyusun makalah ini.
[3]
. Dzurrotun Ainin Faizah, Hakim, Mahkum
Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi , http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-dan-mahkum.html
,Selasa, 29 April 2014.
[5]
. Rachmad Syafe’i,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia
2010)hal,331.
[6]
. Ibid hal,332
Tidak ada komentar:
Posting Komentar