KEBERKAHAN BUMI SYAM
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam
dari al Masjidil Haram ke al Masjidil Aqshaa`yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda
kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. “[al Israa`/17:1]
KEUTAMAAN SURAT AL ISRAA`
Surat yang mulia ini adalah makkiyah[1].
Al Imam al Qurthubi rahimahullah berkata,”Surat ini adalah makkiyah,
kecuali tiga ayat…,” kemudian beliau menyebutkan ke tiga ayat tersebut,
yaitu ayat 60, 76, dan 80. Lihat Tafsir al Qurthubi (10/180).
Adapun al Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, beliau berkata,”Surat ini
adalah makkiyah menurut pendapat sebagian besar ulama. Namun sebagian
mereka ada yang berkata, di dalam surat ini terdapat ayat-ayat
madaniyah. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata, surat ini makkiyah kecuali delapan ayat…,” kemudian
beliau menyebutkan beberapa ayat tersebut, di antaranya ayat 60, 73, 74,
75, 76, 80, dan 107. Lihat Zaadul Masir (5/3). Lihat pula al Isti’ab fi
Bayanil Asbab (2/436).
Berkaitan dengan keutamaan surat ini, terdapat hadits shahih yang
menerangkannya. Yaitu hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لاَ يَنَامُ عَلَى فِرَاشِهِ حَتَّى يَقْرَأَ (بَنِي إِسْرَائِيْلَ) وَ الزُّمَر
.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur di atas ranjangnya sampai beliau membaca surat Bani Israil dan az Zumar”.[2]
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata tentang
keutamaan surat Bani Israil, al Kahfi, Maryam, Thaha, dan al Anbiyaa`:
إِنَّهُنَّ مِنَ العِتَاقِ الأُوَلِ، وَهُنَّ مِنْ تِلاَدِيْ
“Sesungguhnya surat-surat itu termasuk yang pertama kali diturunkan
di Mekkah, dan surat-surat itu termasuk yang sudah lama dan yang pertama
kali aku pelajari”.[3]
PENJELASAN AYAT
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam.
Kata Subhana, mengawali ayat pertama dari surat al Israa`, yang
maknanya menurut ulama, tujuannya sebagai tanzih (pensucian Allah dari
segala kekurangan).[4]
Ayat ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Jarir ath Thabari
berfungsi : “Sebagai tanzihan (pensucian) bagi Dzat yang memperjalankan
hambaNya di malam hari, dan untuk membersihkan dari ucapan-ucapan kaum
musyrikin, bahwa Allah mempunyai sekutu dalam hal penciptaan, memiliki
isteri dan anak. Penyebutan ini (pensucian) sebagai bentuk peninggian
Allah dan pengagungan bagiNya dari penyematan yang mereka lakukan bagi
Allah, serta yang mereka nisbatkan kepadaNya, yang muncul dari kebodohan
dan kekeliruan dari perkataan mereka”.[5]
Sementara itu, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Allah sedang
memuliakan dan mengagungkan diriNya sendiri, karena kekuasaanNya untuk
berbuat hal-hal yang tidak mampu dikerjakan oleh siapapun selainNya.
Tidak ada Ilah dan tiada Rabb selainNya”.[6]
Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di berkata,”Allah memuliakan dan
mengagungkan DzatNya yang suci. Sebab, Allah mempunyai
perbuatan-perbuatan yang agung dan karunia-karunia yang besar, di
antaranya memperjalankan hambaNya dan RasulNya (Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam ) dari Masjidil Haram, yang merupakan masjid paling
mulia secara mutlak, menuju Masjidil Aqsha, yang termasuk masjid-masjid
yang utama, tempat para nabi”.[7]
Sedangkan Ibnul Jauzi rahimahullah, memaknai arti kata tasbih (subhana) dalam ayat ini, mengandung dua makna.
Pertama : Bangsa Arab, jika berhadapan dengan perkara yang
mencengangkan, mereka mengucapkan tasbih saat itu juga. Seolah-olah, (di
sini) Allah ingin menjadikan para hamba mengagumi kenikmatan yang
dicurahkan Allah kepada RasulNya (berupa Isra` Mi’raj).
Kedua : Bentuk ini dipakai untuk membantah mereka (kaum Arab). Sebab,
ketika Nabi menceritakan kisah Israa`nya, mereka mendustakannya.
Sehingga makna ayat ini menjadi Maha Suci Allah, yang tak mungkin
mengangkat seorang rasul yang berdusta.
Berdasarkan zhahir ayat ini, perjalanan tersebut terjadi pada awal
malam, dengan jasad dan ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[8]
Imam ath Thabari mengatakan : “Tidaklah benar jika seseorang
berpendapat beliau menempuh perjalanan Israa` dengan ruhnya saja, tanpa
disertai jasad. Sebab, jika demikian (hanya dengan ruh saja), maka
(peristiwa itu) tidak menjadi petunjuk tentang kenabian beliau, dan
tidak ada hujjah bagi risalah beliau. Sesungguhnya Allah mengabarkan
dalam kitabnya, bahwa Dia memperjalankan hambaNya pada malam hari, bukan
memperjalankan ruh hambaNya. Tidak boleh (bagi kita) melampaui batas
yang telah difirmankan Allah, (mengalihkannya) kepada keterangan
lain…dst.”[9]
Ibnu Abil ‘Izzi mengatakan : “Di antara bukti penguat bahwa peristiwa
Israa` (dan Mi’raj) dengan jasad Nabi Muhammad, bahwa kata al ‘abdu
(pada ayat), merupakan rangkaian jasad dan ruh, sebagaimana kata al
insan (manusia) terdiri dari jasad dan ruh. Ini yang dipahami secara
mutlak, dan merupakan pendapat yang shahih. Jadi, peristiwa Israa`
terjadi dengan jasad dan ruh. Dan secara logika, tidak mustahil. Jika
boleh disebut mustahil naiknya seorang manusia ke atas langit,
konsekwensinya, turunnya malaikat juga demikian, boleh dianggap
mustahil. Akibatnya pemahaman seperti ini dapat menyeret kepada
kekufuran kepada nabi, yang merupakan bentuk kekufuran”.[10]
مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
(dari al Masjidil Haram).
Masjidil Haram [11], yang terletak di Mekkah. Sebuah masjid yang
sudah dikenal oleh orang-orang bila mereka mendengarnya, dan merupakan
masjid paling utama, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,
Nabi bersabda:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ أَوْ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini seribu kali lebih utama dari shalat di tempat
lainnya, kecuali Masjidil Haram”. [HR al
Bukhari, 1/398 no. 1133;
Muslim, 2/1012 no. 1394; dan lain-lain]
إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
(ke al Masjidil Aqshaa`), yaitu Baitul Maqdis.[12]
Disebut sebagai al Aqshaa` (yang paling jauh), lantaran jauhnya jarak
dengan Masjidil Haram. Merupakan masjid terjauh di bumi ini bagi
penduduk Mekkah, yang diagungkan dengan mengunjunginya.[13]
Kalau ada yang melontarkan pertanyaan, apakah hikmah perjalanan malam (Israa`) ke Baitul Maqdis terlebih dahulu?[14]
Maka jawabannya, -wallahu a’lam– ini sebagai bukti untuk membenarkan
pengakuan Nabi tentang mi’raj. Yakni ketika kaum Quraisy menanyakan
ciri-ciri Baitul Maqdis kepada beliau. Ditambah lagi, untuk
memberitahukan kepada mereka tentang orang-orang yang beliau lewati
dalam perjalanan. Apabila keberangkatan mi’raj beliau (langsung) dari
Mekkah, maka penjelasan itu tidak bisa beliau lakukan. Sebab, mereka
tidak mungkin mengetahui hal-hal yang ada di langit, kalau beliau
memberitahukannya kepada mereka. Sementara mereka pernah menyaksikan
Baitul Maqdis, sehingga beliau pun mampu
memberitahukan bentuknya.
الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
(yang telah Kami berkahi sekelilingnya), artinya, yang telah Kami
tetapkan berkah di sekelilingnya bagi penduduknya, dalam hal mata
pencahariannya, makanan pokoknya, hasil pertanian dan tanaman-tanamannya [15]. Juga dengan banyaknya tanaman, sungai dan kesuburan yang tiada
putus.[16]
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
(agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami).
Imam al Qurthubi memberikan penjelasan, bahwa ini merupakan
tanda-tanda (kekuasaan) yang Allah perlihatkan, berupa kejadian-kejadian
menakjubkan, yang Rasulullah beritakan kepada orang-orang, mengenai
perjalanan Isra`nya dari Mekah menuju Masjidil Aqshaa` dalam satu malam.
Yang semestinya biasa ditempuh dalam satu bulan perjalanan. Termasuk
juga proses Mi’raj yang beliau alami disertai kemampuan menjelaskan
keadaan para nabi satu-persatu, seperti terdapat dalam riwayat Shahih
Muslim dan kitab lainnya”. [17]
Adapun menurut penjelasan Imam ath Thabari: “(Kejadian-kejadian ini
merupakan) pelajaran, dalil dan hujjah-hujjah Kami. Yaitu seperti
tercantum dalam riwayat-riwayat yang beliau saksikan di tengah
perjalanan menuju Baitul Maqdis, dan (juga) setelah pulang dari
sana”.[18]
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat).
Penutup pada ayat ini, menetapkan dua nama Allah, yang berkorelasi
dengan fakta-fakta di tengah masyarakat Quraisy dalam menyikapi kisah
Israa’ dan Mi’raj, yang terbelah menjadi dua, yaitu yang membenarkan,
dan yang mendustakan.
Imam ath Thabari berkata,”Sesungguhnya Dzat yang memperjalankan
hambaNya pada malam hari, Dia Maha Mendengar ucapan kaum musyrikin.
(Dia) Maha Mengetahui segala tindak-tanduk yang mereka kerjakan. Tidak
ada sedikit pun yang tersembunyi. Juga tidak ada sesuatu pun yang luput
dariNya. Allah meliputi segalanya dengan ilmuNya”. Ibnu Katsir
menambahkan, makna untuk penggalan terakhir ayat ini dengan : “Sehingga
nantinya, akan mendapatkan balasan sesuai dengan amalannya di dunia dan
akhirat”.[20]
KEBERKAHAN-KEBERKAHAN SYAM, PALESTINA DAN SEKITARNYA[21]
Al barakah, berarti utuhnya kebaikan dalam sesuatu obyek, disertai
mengalami pertambahan. Keberkahan, hanya diketahui muncul dari Dzat yang
memiliki dan mampu menampakkannya. Dia-lah Allah, Dzat yang menurunkan
barakah dan menetapkannya.[22]
Allah telah menetapkan keberkahan bagi wilayah Syam. Dalil tentang
penyebutan wilayah Syam sebagai bumi yang berkah banyak disebutkan dalam
al Qur`an maupun as Sunnah. Wilayah ini, sebagaimana pemetaan pada masa
lampau, meliputi Libanon, Syiria, Yordania dan Palestina.
Dahulu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjadikan
keberkahan Syam yang disebutkan oleh dalil-dalil, sebagai sarana untuk
mendorong kaum Muslimin agar tetap menghuni Damaskus, tidak lari ke
Mesir. Yaitu dengan melawan bangsa Tatar yang berusaha masuk untuk
menaklukan Damaskus.
KEBERKAHAN SYAM DALAM AL QUR`AN
Selain ayat pertama surat al Israa` di atas, tidak kurang lima ayat yang menetapkan keberkahan bagi Syam. Di antaranya:
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami
telah memberkahinya untuk sekalian manusia”. [al Anbiyaa`/21:71]
Ibnu Katsir berkata,”Allah memberitahukan tentang Ibrahim yang
diselamatkan dari api buatan kaumnya, dan membebaskannya dari mereka
dengan berhijrah ke Negeri Syam – tanah suci”.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ
الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۚ وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ
“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang
tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah
memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu”. [al
Anbiyaa`/21:81].
وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا
قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ ۖ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ
وَأَيَّامًا آمِنِينَ
“Dan kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami
limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami
tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah
kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman”.
[Sabaa`/34:18].
Pada penjelasan ayat telah disinggung secara sepintas tentang
keberkahan tersebut. Dan lebih lanjut, di antara keberkahan Syam juga
disebutkan dalam as Sunnah.
1. Syam Merupakan Tempat Para Nabi.
Syam menjadi tempat tinggal banyak nabi. Dari Nabi Ibrahim, yang hijrah
ke Syam, Nabi Luth, Nabi Ya’qub, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lainnya. Dan
akhirnya, Allah menjadikannya sebagai milik umat Muhammad setelah bangsa
Yahudi menempuh jalan kesesatan.
2. Perintah Nabi Untuk Bermukim Di Syam.
Imam al Mundziri di dalam at Targhib wat Tarhib menuliskan, bab anjuran untuk bermukim di Syam, dan tentang keutamaan Syam.[23]
Dari Watsilah bin al Asqaa`, berkata: Aku mendengar Rasulullah
berkata kepada Hudzaifah bin al Yaman dan Mu’adz bin Jabal yang sedang
meminta pendapat beliau tentang tempat tinggal. Maka, beliau
mengisyaratkan ke arah Syam. Mereka berdua kembali bertanya kepada
beliau. (Dan) beliau mengisyaratkan ke arah Syam. Beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالشَّامِ فَإنَّهَا صَفْوَةُ بِلَادِ اللهِ يَسْكُنُهَا خِيرَتُهُ مِنْ خَلْقِهِ..
“Beradalah kalian di Syam. Sesungguhnya ia merupakan negeri pilihan Allah, dihuni oleh makhluk pilihanNya” [24]
Para ulama juga telah terbiasa merekomendasi untuk bermukim di Syam,
sesuai petunjuk Rasulullah. Ketika ‘Atha al Khurasani berniat pindah
tempat tinggal, ia meminta pendapat para ulama yang ada di Mekkah,
Madinah, Kufah dan Bashrah serta Khurasan.
‘Atha al Khurasani berkata kepada para ulama tersebut : “Menurut pendapatmu, kemana saya mesti pindah dengan keluarga?”
Masing-masing menjawab: “Berangkatlah ke Syam”.
3. Malaikat Membentangkan Sayap Bagi Penduduk Syam.
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
طُوبَى لِلشَّامِ فَقُلْنَا لِأَيٍّ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
لِأَنَّ مَلَائِكَةَ الرَّحْمَنِ بَاسِطَةٌ أَجْنِحَتَهَا عَلَيْهَا
“Keberuntungan bagi penduduk Syam,” maka kami bertanya : “Karena apa,
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Karena para malaikat membentangkan
sayap-sayapnya kepada mereka (penduduk Syam)”.[25]
4. Tempat Keberadaan Thaifah Manshurah.
لَا يَزَالُ أَهْلُ الْغَرْبِ ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“Penduduk Gharb (yang berada di arah Barat) akan senantiasa
menegakkan kebenaran sampai Kiamat datang”. [HR Muslim 13/68, Nawawi].
Imam Ahmad berkata,”Ahli Gharb adalah penduduk Syam.” Dan jawaban ini
disepakati oleh Ibnu Taimiyah dalam Manaqibisy-Syam wa Ahlihi, halaman
76-77.
5. ‘Asqalan, Merupakan Tempat Penjagaan Penting.
Ath Thabrani meriwayatkan dalam al Mu’jamul Kabir, dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَوَّلُ هَذَا الْاَمْرِ نُبُوَّةٌ وَ رَحْمَةٌ ثُمَّ يَكُوْنُ
خِلَافَةٌ ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكاً وَرَحْمَةٌ ثُمَّ يَتَكَادَمُونَ
عَلَيْهِ َتكَادُمُ الْحُمُرِ. فَعَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ, وَإِنَّ
أَفْضَلَ جِهَادِكُمْ الرِّبَاطُ, وَإِنَّ أَفْضَلَ رِِبَاطكُمْ
عَسْقَلَانُ
“Permulaan dari perkara ini (Islam) adalah kenabian dan rahmat.
Berikutnya tegaknya khilafah dan rahmat. Selanjutnya muncul kerajaan dan
rahmat. Kemudian, orang-orang memperebutkannya, seperti kuda-kuda yang
berebut. Maka, kewajiban kalian untuk berjihad. Sesungguhnya sebaik-baik
jihad adalah ribath. Sebaik-baik tempat ribath adalah Asqalan”. [Ash
Shahihah, 3270].
‘Asqalan telah dikenal sejak dahulu. Menempati tempat strategis di
bibir pantai, ramai dengan perdagangan. Palestina tidak pernah
ditaklukkan, kecuali diawali dengan penaklukkan ‘Asqalan.
6. Cahaya Iman Memancar Dari Syam Saat Fitnah Berkecamuk.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Rasulullah bersabda :
إِنِّيْ رَأَيْتُ كَأَنَّ عَمُوْدَ الْكِتَابِ انْتُزِعَ مِنْ تَحْتِ
وِسَادَتِيْ, فَأَتْبَعْتُهُ بَصَرِيْ. فَإِذَاهُوَ نُورٌ سَاطِعٌ عُمِدَ
إلَى الشَّامِ ألَا وَإنَّ الْإيْمَانَ إذَا وَقَعَتْ الْفِتَنُ بِالشَّامِ
“Sesungguhnya saya melihat seakan-akan tonggak al Kitab telah
tercabut dari bawah bantalku. Maka, aku mengikutinya dengan pandanganku.
Tiba-tiba terdapat cahaya terang-benderang yang mengarah menuju Syam.
Ketahuilah, sesungguhnya iman, apabila telah terjadi beragam fitnah,
berada di Syam”. [Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 3092].
Al ‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata,”Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengabarkan, bahwa tiang Islam, yaitu iman, pada saat
terjadinya fitnah-fitnah, berada di Syam. Artinya, apabila fitnah-fitnah
yang muncul telah mengancam agama Islam, maka penduduk Syam berlepas
diri darinya. Mereka tetap istiqamah di atas iman. Jika muncul (fitnah
yang) tidak mengancam agama, maka penduduk Syam mengamalkan konsekwensi
iman. Apakah ada sanjungan yang lebih sempurna dari itu?”
Demikianlah, keberkahan tanah Palestina dan sekitarnya. Oleh karena
itu Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali menjelaskan, bahwa kewajiban (kepada
penduduk) Syam yang telah Allah berikan karunia dengan
keutamaan-keutamaan ini, untuk melenyapkan noda-noda, kotoran-kotoran
dan kekeruhannya. Sebagai upaya persiapan menyambut cahaya Islam (yang
termuat dalam hadits-hadits) yang akan menguasai tanahnya. Meskipun
orang-orang jahat membencinya.[26]
Salman al Farisi Radhiyallahu ‘anhu berkata :
إِنَّ الْأَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ
“Sesungguhnya tanah suci tidak mensucikan siapapun. Yang mensucikan manusia adalah amalannya”. [Riwayat Imam Malik, 2/796].
Washalallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi wa ash-habihi ajma’in.
Maraji :
1. Zadul Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Ibnul Jauzi, Maktabatul Islami, Cetakan III, Th. 1404H-1984M.
2. Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al
Qurthubi. Tahqiq Abdur Razzaq al Mahdi, Maktabah Rusyd, Cet. II, Th.
1420H-1999M.
3. Majalah Manarusy-Syam, Edisi 1, Jumadal Ula 1425H dan Terbitan Markaz
al Imam al Albani Lid-Dirasatil Manhajiyyah wal Abhats al ‘Ilmiyyah.
4. Majalah al Ashalah, Edisi 30 Th. V, 15 Syawal 1421H, Markaz al Imam
al Albani Lid Dirasatil Manhajiyyah wal Abhats al ‘Ilmiyyah.
5. Silsilatul Ahaditsish-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah Ma’arif, Cet. Th. 1415H-1995M.
6. Jami’ul Bayan ‘an Ta`wil Ayil-Qur`an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
ath Thabari, Darul Ihyaut Turatsil ‘Arabi. Cet. I, Th. 1421H-2001M.
7. Shahihut-Targhib wat-Tarhib, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah Ma’arif Cet. I Th. 1421H-2000M
8. Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan Abdur Rahman bin
Nashir as Sa’id. Tahqiq Abdur Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq Muassasah
Risalah Cet. I, Th. 1423H-2202M
9. Al Irsyad ila Tash-hihil I’tiqad, Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan Maktabah al Ilm Jedah. Cet. I, Th. 1414H.
10. Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, Abul Fida Ibnu Katsir ad Dimasyqi, Darul Kutubil ‘Ilmiyah Cet. II, Th. 1422H-2001M.
11. Syarhul ‘Aiqdatith-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, takhrij Muhammad
Nashiruddin al Albani, Maktabul Islami, Cet. VIII, Th. 1404H-1984M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus (7-8)/Tahun
X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
https://almanhaj.or.id/2433-keberkahan-bumi-syam.html
(Disusun ulang oleh Yusuuf Arifin dengan sedikit tambahan)
Download video Khutbah Syaikh Arifi yang mengguncang dunia tersebut
~disini~
Footnote
[1]. Lihat Tafsir ath Thabari (15/5), Tafsir al Qurthubi (10/180),
Zaadul Masir (5/3), Tafsir al Qur’anul ‘Azhim (5/5), ad Durr al Mantsur
(5/181), dan Taisir al Karimir Rahman (1/1153).
[2]. HR at Tirmidzi (5/181 no. 2920), Ibnu Khuzaimah di dalam shahihnya
(2/191 no. 1163), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al
Albani t di Shahih at Tirmidzi dan Shahihul Jami’ (4874).
[3]. HR al Bukhari (4/1741, 1765, dan 1910, no. 4431, 4462, dan 4708)
dan lain-lain. Lihat pula keterangan makna lafazh (العِتَاقِ الأُوَلِ)
dan (تِلاَدِيْ) dalam an Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/193)
dan (2/158).
[4]. Jami’ul Bayan, 15/5; al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 10/180.
[5]. Jami’ul Bayan , 15/5.
[6]. Tafsirul Qaur`anil ‘Azhim, 3/1
[7]. Taisirul Karimir Rahman, halaman 453.
[8]. Taisirul Karimir Rahman, halaman 453.
[9]. Jami’ul Bayan , 15/21.
[10]. Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, halaman 226.
[11]. Terdapat perselisihan di kalangan ulama. Sebagian ulama memandang
yang dimaksud adalah Masjidil Haram itu sendiri. Pendapat kedua,
pendapat sebagian besar ulama tafsir, beliau berangkat dari rumah Ummu
Hani`Isra. Atas dasar pendapat ini, yang dimaksud dengan al Masjidil
Haram adalah kota al Haram (kota suci Mekah). Zadul Masir (9 : 4-5).
Silahkah lihat keterangan Syaikh as Sa’di dalam tafsirnya hlm. 453.
[12]. Silahkan lihat Jami’ul Bayan, 15/9; Zadul Masir, 5/5; Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, 3/3.
[13]. Jami’ul Bayan, 15/9; al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 9/187.
[14]. Syarhul ‘Aqidatith-Thahawiyah, halaman 226.
[15]. Jami’ul Bayan, 15/22.
[16]. Silahkan lihat Taisirul Karimir Rahman, 453.
[17]. Al Jami’u li Ahkamil Qur`an, 10/188.
[18]. Jami’ul Bayan, 15/22. Imam Ibnu Katsir secara panjang lebar
membawakan riwayat-riwayat tersebut dalam kitab tafsirnya. Pembahasan
tentang Isra` Mi’raj pernah kami kupas pada Majalah as Sunnah, Edisi
06/Th VI/1423H- 2002M.
[19]. Jami’ul Bayan, 15/22.
[20]. Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, 3/3.
[21]. Diadaptasi dari Majalah Manarusy-Syam, Edisi 1, Jumadal Ula 1425H dan al Ashalah, Edisi 30 Th. V, 15 Syawal 1421 H.
[22]. Al Irsyad ila Tash-hihil I’tiqad, halaman 256.
[23]. Shahihut-Targhib wat-Tarhib, karya al Albani, halaman 3/192 –196.
[24]. Hadits shahih li ghairihi. Lihat Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 3089.
[25]. HR at Tirmidzi. Lihat Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no 3095; ash-Shahihah, no. 503.
[26]. Ath-Thaifah al Manshurah wal Biladil Muqaddasah, Majalah al Ashalah, Edisi 30, Th. V, halaman