Hati-hati dalam memilih teman duduk, sahabat dekat atau teman bergaul.
Sebagian orang ada yang mewanti-wanti (melarang) makan bersama dengan sebagian orang, walau itu saudara mereka. Kalau kita bertanya, “Kenapa?” Jawabnya, “Karena orang-orang tersebut adalah pemakan riba atau pemabuk.” Apa hukum untuk makan dengan orang rusak seperti itu?
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,
Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillah wa shallallahu wa sallama ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa ash-habihi wa manihtada bi hudaahu, amma ba’du:
Tidak diragukan lagi, sepatutnya bagi seorang mukmin untuk memperhatikan siapakah yang menjadi sahabat dekatnya dan teman duduknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah menjadikan sahabat dekat kecuali orang beriman. Janganlah ada yang memakan makananmu kecuali orang bertakwa.”[1]
Para ulama mengatakan, janganlah menjadikan teman kecuali dari kalangan orang baik dari orang bertakwa. Akan tetapi berkaitan dengan tamu atau ada orang yang datang tiba-tiba, maka tidak mengapa ia makan bersamamu selama engkau tidak ridha pada maksiatnya. Walau tamu atau orang yang datang tiba-tiba adalah orang yang disangka jadi pekerja di tempat riba, atau biasa duduk-duduk dengan para pemabuk, atau semacam itu. Akan tetapi, jangan jadi para pemabuk sebagai sahabat karib. Orang-orang yang rusak seperti itu harusnya dijauhi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Kalau berteman dengan pemilik minyak wangi; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.”[2]
Dari situ berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berteman dengan orang-orang yang baik ketika bermukim atau bersafar. Adapun teman yang memiliki sifat-sifat jelek hendaklah dijauhi. Akan tetapi, seseorang yang datang tiba-tiba dan bukan teman akrab, bisa jadi tamu atau engkau sendiri yang mendadak diundang dalam sajian makan, maka tidaklah masalah seperti itu (karena bukan teman dekat, pen.)
Demikian fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam. Moga apa yang beliau nasihatkan bermanfaat sebagai pertimbangan dalam mencari teman bergaul yang baik.
Kapan boleh bergaul dengan pemabuk?
Yang paling penting, ketika ada manfaat untuk mendakwahi mereka dan kita tidak terpengaruh dengan kerusakan mereka.
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi: http://www.binbaz.org.sa/mat/9471
—
[1] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِىٌّ
“Janganlah menjadikan sahabat dekat kecuali orang beriman. Janganlah ada yang memakan makananmu kecuali orang bertakwa.” (HR. Abu Daud, no. 4832; dan Tirmidzi, no. 2395. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).[2] Diriwayatkan dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ
الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ
وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا
تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ
أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang
yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai
besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli
(minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun
berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau
pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak
enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)—
Disusun di Larantuka, Flores Timur, NTT, ba’da Shubuh 15 Syawal 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar