Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum ijtihad dalam Islam? Dan apa syarat-syarat mujtahid (orang yang berijtihad)?
Jawaban:
Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang mampu melakukannya karena Allah telah berfirman,
“Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [An-Nahl : 43, Al-Anbiya’ : 7]
Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan para penuntut ilmu (thalib ‘ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia menggunakan hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain yang mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang mansukh (dihapus) karena tidak mengetahui hadits-hadits nasikhnya (yang menghapusnya), atau menggunakan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak mengetahui kesepakatan para ulama. Fenomena semacam ini tentu sangat berbahaya, maka seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil syari’at dan dasar-dasarnya. Jika ia mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun harus mengetahui ijma’ para ulama sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa disadarinya. Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa berijtihad. Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja, yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah saja, ia mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut.
[Fatwa Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]
HUKUM MEMBERI FATWA DAN SYARAT MUFTI (PEMBERI FATWA)
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Memberi fatwa sudah memasyarakat, sampai-sampai yang kecil pun memberi fatwa. Kami mohon penjelasan tentang syarat-syarat fatwa dan pemberi fatwa.
Jawaban
Para salaf seringkali menolak memberi fatwa karena agungnya perkara ini dan besarnya tanggung jawab serta takut berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, karena pemberi fatwa itu adalah yang menyampaikan kabar dari Allah dan menjelaskan syari’at-syari’at-Nya. Jika berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, maka telah ter-jerumus ke dalam sesuatu yang mengarah kepada syirik. Simak-lah firman Allah Subhanahu wa Ta’la.
“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui” [Al-A’raf : 33]
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan tentang berbicara atas nama Allah yang dipadu dengan syirik. Dalam ayat lain disebutkan.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya ituakandimintapertanggunganjawabnya..” [Al-Isra : 36]
Maka hendaknya seseorang tidak tergesa-gesa mengeluarkan fatwa, tapi pelan-pelan, menghayati dan mengkaji. Jika waktunya sempit, hendaklah masalahnya dialihkan kepada orang lain yang lebih tahu agar anda selamat dari berbicara atas nama Allah tanpa ilmu.
Karena Allah telah mengetahui niat anda yang ikhlas dan keinginan untuk kemaslahatan, maka anda akan sampai ke martabat yang anda inginkan dari fatwa anda. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menunjukinya dan mengangkat derajatnya.
Orang jahil (awam/tidak tahu) yang memberi fatwa tanpa ilmu, berarti menyesatkan. Orang jahil yang mengatakan, “Saya tidak tahu” berarti tahu kadar dirinya serta bersikap jujur. Adapun orang jahil yang mensejajarkan dirinya dengan para ulama, bahkan lebih mengagungkan dirinya daripada mereka, maka ia akan sesat dan menyesatkan, bahkan akan salah dalam suatu masalah yang sebenarnya diketahui oleh penuntut ilmu yang pemula sekali pun, maka hal ini bahayanya sangat besar.
[Majmu’atu Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, juz 3, hal. 354-355]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
Sumber : almanhaj.or.id
https://almanhaj.or.id/1084-hukum-ijtihad-dalam-islam-dan-syarat-syarat-mujtahid-hukum-memberi-fatwa-dan-syarat-mufti.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar