Mu'tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal
Di Poskan Oleh : Yusuuf ArifinSejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah,
yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar- benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil- dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah subhaanahuwata'aala akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah subhaanahuwata'aala tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil- Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)
Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahan:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i: bahwa Allah subhaanahuwata'aala mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah subhaanahuwata'aala berfirman:
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٍ :: إِنَّه هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ :: وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ :: ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ 0 فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى:: الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى:: وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى:: وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى:: فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5)
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah subhaanahuwata'aala . Dalilnya adalah firman Allah subhaanahuwata'aala :
وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani rahimahullahuta'ala berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah subhaanahuwata'aala :
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)
Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah subhaanahuwata'aala berfirman:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah subhaanahuwata'aala yang merupakan bagian dari taqdir Allah subhaanahuwata'aala. Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah subhaanahuwata'aala untuk memenuhi janji- Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahan:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu kepada Allah subhaanahuwata'aala, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al- Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)
(Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).)
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah subhaanahuwata'aala:
وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al- Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya:
لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيْمًا
“Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَلاَ يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَلِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلاَّ هُوَ وَمَا هِيَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْبَشَرِ
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang- orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir: 31)
الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)...” (Al-Baqarah: 260)
Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallohu'anhu)
2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَ إِنْ طَآءِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya...” (Al-Hujurat: 9)
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah subhaanahuwata'aala berfirman:
يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa]
Sesatkah Mu’tazilah?
Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:
-Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
-Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
-Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil- Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An- Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)
Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al- Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah.
(Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Lc
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM.
Posted by: Novi Effendi
sumber: (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171)
publish ulang http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html
Beberapa Aliran Sesat
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Lihat pula Syarh Lum’atul I’tiqad Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 161)Setelah membawakan perkataan Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antaranya:
· Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
· Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
· Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).”(Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161)
Kemudian Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah :
Pertama
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53, pent)
Kedua
Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallahul musta’an.
Ketiga
Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36, pent)
Keempat
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Kelima
Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
Keenam
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
Ketujuh
Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
Kedelapan
Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu : hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163)
Syaikh Abdur Razzaq al-Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok al-Jaz’arah, begitu juga (gerakan) al-Ikhwan al-Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat al-Is’ad fii Syarhi Lum’atul I’tiqad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku ‘Jama’ah-Jama’ah Islam’ karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
By Ari Wahyudi, Ssi. 3 February 2010
https://muslim.or.id/1963-beberapa-aliran-sesat.html
Fatwa Ulama: Apakah Masih Ada Mu’tazilah Di Zaman Sekarang?
Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al BarrakSoal:
Apakah masih ada mu’tazilah di zaman kita ini?
Jawab:
Iya, ada. Namun bukan dengan nama “mu’tazilah”. Mereka tidak dipanggil dengan nama “mu’tazilah”. Namun mereka membawa pemahaman mu’tazilah, dan mereka sama seperti mu’tazilah dan mengagungkan mu’tazilah.
Namun terkadang orang-orang ini memiliki semua pemahaman mu’tazilah yang disebut al ushul al khamsah (5 landasan), dan terkadang hanya sebagian ushul-nya saja. Karena mu’tazilah memiliki 5 landasan. Barangsiapa yang menerapkannya dan meyakininya maka ia seorang mu’taziliy 100%. Yaitu:
1. At tauhid. Apa yang mereka maksud dengan at tauhid? Yaitu maksudnya menafikan sifat-sifat Allah.
2. Al ‘adl. Yang dimaksud adalah menafikan takdir.
3. Al amr bin ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar. Maksudnya adalah memberontak kepada penguasa Muslim.
4. Al manzilah baynal manzilatain. Ini terkait hukum terhadap pelaku dosa besar, yaitu mereka di dunia ada di antara dua sisi, tidak mukmin dan tidak kafir.
5. Infazhul wa’id. Ini mengandung keyakinan kekalnya pelaku dosa besar di neraka.
Inilah al ushul al khamsah (5 landasan) dari mu’tazilah. Terkadang di antara orang-orang ada yang meyakini dan menerapkan semuanya, dan terkadang ada pula yang hanya sebagiannya saja. Demikian.
Sumber (berbahasa arab) : http://ar.islamway.net/fatwa/54557
By Yulian Purnama 22 January 2014
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
https://muslim.or.id/19746-fatwa-ulama-apakah-masih-ada-mutazilah-di-zaman-sekarang.html
Ragam Pemikiran Mu'tazilah
Kaum moderat adalah sebuah madzhab baru di abad ini. Mereka bertujuan menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Khawarij dan Mu’tazilah. Kelompok yang satu ini dipelopori oleh sekelompok penulis muslim yang memusatkan kemampuannya untuk menyelisihi para ulama dan imam salaf. Mereka menganggap bahwa diri mereka mempunyai hak untuk berijtihan dalam menafsirkan dan mena’wil. Mereka mengatakan : “Jika orang-orang terdahulu adalah ulama, maka kami pun ulama juga”.Pemikiran-pemikiran semacam ini, semenjak permulaan abad ini, muncul secara tidak terang-terangan. Sebab, mereka khawatir mendapat pertentangan yang teramat berat. Namun, untuk masa sekarang ini, setelah mendapat dukungan dana dan kekuasaan, mereka berani melontarkan beragam pemikiran busuknya. Kelompok ini merupakan segolongan orang yang memiliki berbagai pemikiran yang tidak ada kaitan serta ikatan antara satu dengan lainnya. Mereka terdiri dari para da’i, pemikir, intelektual, budayawan, dan wartawan.
Timbulnya pemikiran kaum moderat ini bermula pada pertengahan abad ke-19 di India. Pelopornya Sir Ahmad Khan, seorang pegawai pada pemerintahan Inggris. Dia seorang pengagum berat terhadap tradisi, budaya, dan akhlaq bangsa Inggris. Dakwahnya di dasarkan pada 3 faktor berikut :
1. Menafsirkan Al-Qur’an selaras ilmu modern dan filsafat.
2. Menjauhkan sunnah nabawiyyah dan menolak semua sunnah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
3. Menghancurkan dan melecehkan ilmu ushul-fiqh dan membuka pintu ijtihad dengan hanya menggunakan akal semata.
Dengan demikian, dia telah meletakkan batu pertama dalam menafsirkan Al-Qur’an secara modern. Penafsiran yang dimaksud, yaitu disesuaikan dengan hukum alam (qawanin ath-thabi’ah) berdasarkan pemahaman masyarakat pada jamannya. Misal, dia menafsiri kisah tentang Nabi Adam ‘alaihis-salaam dengan metode teori Darwin. Selain itu, dia meyakini bahwa ada mukjizat yang tidak dapat diraba (hissi) dan menggambarkan bahwa malaikat itu merupakan kekuatan alami, sedangkan kenabian adalah bakat yang tumbuh dengan sendirinya bila disertai kesungguhan dari dirinya.
Selanjutnya dia menafsirkan pula hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membagi :
1. Khusus hanya untuk urusan agama.
2. Khusus hanya untuk urusan dunia.
Pernyataan kedua ini bukan merupakan tugas para Rasul. Dengan demikian dia tidak mau mengakui hukum rajam, membolehkan riba, membatasi nikah tidak lebih dari satu, dan tidak mau mengakui ijma’ sebagai sumber syari’at. Dia juga berpendapat bahwa fiqh merupakan karya manusia yang terbatas pada jamannya dan mengumandangkan agar pintu ijtihad dibuka lebar-lebar tanpa membatasi peranan akal. [Lihat, Mafhum Tajdiid Ad-Diin, Busthami Sa’id, Daar Ad-Da’wah, Kuwait, hal. 123-131; Daar B.A., Religion Thought of SA. Khan, Lahore, 1957, hal. 160-273].
Modernisasi dan ‘Aqidah
Bahaya yang secara langsung mengancam Islam, yakni datang dari mereka yang bersembunyi di balik dakwah modernisasi. Dakwah yang dilancarkan oleh mereka tertipu oleh kepalsuan paham itu sendiri yang menyesatkan kaum muslimin dari jalan yang lurus.
Orang-orang yang kagum dengan pemikiran “modern” berkiblat dan mencintai kebudayaan Barat. Mereka memalingkan nash-nash agar mencocoki keadaan masyarakat Barat yang mereka puja tersebut. Di satu sisi, pemikiran Barat itu sendiri terkontaminasi oleh berbagai teori pemikiran, diantaranya teori Darwin. Selanjutnya, Durkhaim memunculkan teori sosiologisnya, Sigmund Freud dengan libido seksual-nya dalam bidang psikologi, dan Karl Marx dengan paham materialismenya.
Paham demikian tersebar dengan begitu saja di kalangan kaum muslimin tanpa ada perlawanan berarti. Sesungguhnya penyebaran ide semacam itu dengan kedok modernisasi merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi masa depan umat. Untuk itu, wajib untuk senantiasa waspada terhadap ‘modernisasi’ sebelum bertambah parah keadaannya. Dan pula gelombang materialisme Barat pun senantiasa menerjang hingga bisa menghapuskan keimanan dan keislaman seseorang. Dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini, sungguh sangat disayangkan terhadap sebagian umat Islam yang mengambil ilmu serta budaya Barat dengan tanpa mempertimbangkan baik buruknya, sementara di sisi lain dia meninggalkan warisan Islam nan luhur.
Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa malaikat adalah kekuatan alami. Pendapat demikian dilontarkan semata-mata agar bisa diterima secara akal. Mereka juga ada yang menghalalkan riba dan khamr hanya dengan alasan darurat. Dengan demikian, tanpa disadari mereka sebenarnya telah hanyut ke dalam budaya Barat yang menghalalkan segala cara. Pada akhirnya, tak ada lagi Islam di hati mereka kecuali hanya tinggal nama.
Berikut, salah satu contoh pemikiran berbahaya dari aliranyang berkedok ‘modernis’ yang tak lain menyadap pemahaman kaum Mu’tazilah. Seperti, dalam menafsirkan ayat :
وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
“Dan Kami berfirman : "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan" [QS. Al-Baqarah : 35-36].
Syaikh Muhammad ‘Abduh menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud surga di situ adalah sebuah kebun yang berada di sebuah bukit [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh]. Penafsiran semacam ini adalah penafsiran model Mu’tazilah dan Qadariyyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qurthubi [Lihat Tafsir Ibni Katsir I, hal 116]. Begitu pula dengan Muhammad Iqbal, dia terpengaruh pemikiran semacam ini dengan menafsirkan surga Nabi Adam yang ada di dalam Al-Qur’an dalah suatu tempat kehidupan sederhana yang terputus dari lingkungan sekitar, namun terpenuhi segala fasilitasnya. Dari penafsiran ini dikatakannya, bahwa kisah turunnya Adam ke bumi, dalam Al-Qur’an, tidak ada hubungannya dengan munculnya manusia pertama di muka bumi [Tajdiid Al-Fikr Ad-Diin fil-Islaam, Muhammad Iqbal].
Begitu pula dalam menafsirkan surat Al-Fiil, Muhammad ‘Abduh masih memakai pola yang sama. Katanya : “….Di hari kedua, tentara Abrahah terjangkiti penyakit cacar. ‘Ikrimah mengatakan, bahwa penyakit ini pertama kali muncul di negeri ‘Arab. Ya’qub bin ‘Uthbah menyatakan tentang kejadian ini, bahwa pada tahun itu cacar menyerang ke seluruh tubuh mereka hingga hancur tubuh itu. Kemudian Abrahah dan sebagian tentaranya menyingkir dari tempat tersebut dan banyak diantaranya yang mati” [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid III, hal 473].
Latar belakang penafsiran semacam ini dalam rangka agar diterima oleh pola pikir masyarakat Barat. Padahal, Allah ta’ala telah secara jelas menyebutkan pengertian ayat tersebut yang tentu saja tidak memerlukan kepada ta’wil. Firman-Nya :
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
“Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar” [QS. Al-Fiil : 4].
Bila dilihat dalam kutab tafsirnya, niscaya akan banyak ditemukan pemikiran Muhammad ‘Abduh yang semacam itu. Hal itu tak mengherankan, sebab pemikirannya banyak dipengaruhi oleh orientalis, yakni saat dirinya menetap di Perancis. Hubungan tersebut tetap terjalin meski dirinya telah berpindah ke Mesir, baik melalui surat-menyurat atau saling kunjung-mengunjungi. Tatkala dirinya menjabat sebagai mufti di Mesir, dia pernah pula dikunjungi oleh orientalis. Dia juga menjalin hubungan yang cukup erat dengan seorang hakim berkebangsaan Inggris di Mesir, yaitu Lord Kramer. Hal itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia lagi. [Lihat Waqi’unal-Mu’ashir, Muhammad Quthb, hal. 310-315].
Sebagaimana telah diketahui, bahwa pada masa itu masyarakat Barat merupakan masyarakat yang masih dalam suasana keterlepasan dari pengaruh kediktatoran gereja. Pada masa itu, di masyarakat Barat, akal tengah diagungkan. Oleh karenanya, Muhammad ‘Abduh berusaha membuktikan bahwa Islam selaras dengan akal. Atau dengan kata lain Islam itu rasional. Adapun jika terdapat pertentangan akal dengan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah), Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Kaum muslimin telah bersepakat – dan hanya sedikit yang menyelisihi – apabila akal bertentangan dengan naql, maka akallah yang didahulukan” [Al-A’mal Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid 3, hal. 282]. Dengan kaidah dan pemikiran seperti ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menolak seluruh mukjizat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali Al-Qur’an Al-Kariim.
Sedang tokoh lainnya saat ini adalah Dr. Muhammad ‘Imarah yang mengatakan dalam bukunya Tayyaaraat Al-Fikr Al-Islamiy, halaman 87-88, bahwa secara kelompok dan golongan, Mu’tazilah telah sirna di muka bumi. Akan tetapi, secara pemikiran, Mu’tazilah telah begitu berpengaruh terhadap kelompok atau golongan lainnya. Hingga, pemikirannya sangat melekat dan berkembang di benak orang-orang Arab dan kaum muslimin. Dia juga mengetengahkan, bahwa akal di kalangan mereka mempunyai kedudukan yangs sangat tinggi. Kemudian dia mengatakan : “Demikianlah Mu’tazilah, mereka adalah para bintangnya ahli-ahli pikir, agama, dan revolusi ! Sesungguhnya mereka telah menjadikan filsafat, pikiran, dan kemajuan sebagai landasan ilmu pengetahuan dan sebagai pengganti warisan kuno…”.
Kita akan menjumpai pula seorang penulis, seperti Syaikh Muhammad Al-Ghazali, yang telah menjadikan manhaj ‘aqlaniy (mengutamakan akal daripada nash) dalam buku karangannya. Nampak dalam banyak tulisannya, ia memberikan kebebasan pada akal secara berlebih. Tidak cukup banginya, jika akan hanyalah sebagai tempat untuk ber-istinbath saja. Akan tetapi, ia menjadikan akal sebagai alat untuk mempengaruhi dan membantah (hadits shahih – Red.). Hal ini menyerupai manhaj Mu’tazilah. [Al-Ghazali fii Majlisi Al-Inshaaf, hal. 83, oleh Syaikh ‘Aidl Al-Qarniy[1]].
Manhaj ‘aqlaniy ini benar-benar tersebar di berbagai bukunya, terutama dalam bukunya yang mendhalimi ilmu dan ahlinya, yaitu yang berjudul As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadiits. Telah nampak secara jelas bahwa ia telah melakukan kedhaliman terhadap sunnah dan ahlinya. Hal ini dapat diketahui dari buku-buku bantahannya, seperti Hiwarun Hadi Ma’a Al-Ghazaliy oleh Syaikh Salman Al-Audah.[2]
Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya ini Nampak dengan jelas bahwa ia telah meletakkan manhaj baru dalam pemikiran keislaman, yakni menjadikan akal sebagai madzhab baru. Pemikiran Al-Ghazali ini telah merusak dan menghancurkan kaidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam menyeimbangkan akal dan naql [Azmah Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29]. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala member petunjuk kepadanya. Adapun kesimpulan dari pemikirannya : “Jika ada sebuah hadits yang menyelisihi (bertentangan) dengan pemikiran manusia, maka ia berhak menolak dan melempar sejauh-jauhnya, bagaimanapun sanadnya dan siapapun yang menshahihkannya serta menguatkannya, walaupun para ulama dan para imam kaum muslimin sekalipun” [Azmah Al-Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29].
Al-Ghazali mengatakan : “Hendaklah diketahui, apabila akal menghakimi sesuatu itu batil, maka hal itu mustahil untuk menjadi agama…. Agama yang benar adalah kemanusiaan yang sempurna. Kemanusiaan yang sempurna adalah akal yang mengendalikan kebenaran, ilmu yang cemerlang, yang benci kepada khurafat, yang menjauhi khayalan…. Dan kita selalu mengokohkan pendapat, bahwasannya setiap hukum yang ditolak akal, setiap perbuatan yang tidak diterima oleh seorang yang sehat akan ditentang oleh fitrah yang lurus, mustahil untuk menjadi agama ! [Majalah Adl-Dlaha’, Qatar, edisi 101/Rajab 1404 H].
Inilah kalimat-kalimat yang sangat membahayakan. Bukan hanya muncul dari manhaj ‘aqlaniy, akan tetapi lebih jauh dari itu. Oleh karena itu, kita sering jumpai Al-Ghazali menolak (dengan penuh keberanian) hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tsabit, hanya karena tidak sesuai dengan akalnya !
Di antara hadits-hadits shahih yang ditolak ialah : menangisnya seseorang kepada si mayit, hadits-hadits yang berkenaan kisah malaikat maut dan Musa, hadits tentang shalat wanita di masjid, dan hadits terputusnya shalat. [Lihat Kasyfu Mauqif Al-Ghazali minas-Sunnah wa Ahluha, Syaikh Rabi’ bin Hadi].
Seluruh hadits yang ditolaknya merupakan hadits shahih dan sebagian besar tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Masih banyak lagi penolakannya terhadap hadits-hadits shahih seperti ini.
Kita berpindah kepada seorang yang bernama Muhammad Ahmad Khalfullah. Ia mengatakan : “Sesungguhnya kehidupan manusia di atas bumi tidak memerlukan lagi peraturan yang datangnya dari langit (wahyu) sebab manusia sudah sampai pada tingkat kedewasaan berpikir. Selain itu, manusia telah dapat mengatur dirinya sendiri” [Ghazwun min Ad-Dakhil, Jamal Sulthan, hal 51].
Dia berpendapat bahwa wahyu dan kenabian itu mengekang dan membekukan akal manusia. Oleh karena itu dengan berakhirnya peraturan kenabian adalah sebagai sarana untuk memberikan kebebasan akal manusia dari belenggu peraturan yang datangnya dari langit. [Lihat bukunya yang berjudul Al-Usus Al-Qur’aniyyah li At-Taqaddum, hal. 4].
Selain nama tokoh-tokoh di muka, ada pula seorang penulis yang bernama Dr. Husain Ahmad Amin. Dia anak dari Ahmad Amin, pengarang Fajr Al-Islam dan Dluha Al-Islam dan lain-lain. Ayahnya mengirimnya ke Barat untuk menimba ilmu. Jadiia dibesarkan dalam pangkuan Barat. Tatkala kembali ke negara asalnya, dia membawa pemikiran Barat dan berkeinginan untuk menghancurkan agama. Dia banyak menulis banyak artikel beracun, diantaranya artikel-artikel yang ditulis di Majalah Al-‘Arabi yang terbit di Kuwait. Dia mengatakan dalam salah satu artikelnya, bahwa hukuman bagi seorang pencuri di jaman ini berbeda dengan hukuman di lingkungan Baduwi. Selain itu, dia katakan juga, bahwa perintah wajib hijab hanya turun di Madinah, dan saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kota Kairo abad ke-20; sedangkan hukuman potong tangan bagi pencuri sebagaimana ditetapkan Al-Qur’an adalah syari’at badawiyyah, seperti halnya meyakini qadla dan qadar ! [Dinukil dari Asatir Al-Mu’ashirin, Ahmad ‘Abdurrahman. Hal. 152].
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Dia memakai pula istilah fiqh al-Badui dalam bukunya As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits. Tujuannya : mengejek ulama sunnah yang memegang teguh manhaj Islam yang benar. Slogan-slogan seperti ruh keislaman, toleransi, tidak fanatik, merupakan slogan yang selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang ‘aqlani. Slogan-slogan di atas memang bisa dibenarkan, akan tetapi disalahgunakan oleh mereka !.
Dr. Hasan At-Turabi, yang namanya sedang melambung lantaran pengaruhnya dalam pemerintahan Sudan yang menerapkan syari’at Allah. Dalam hal ini (keinginan untuk menegakkan hukum Allah di tanah Sudan) merupakan kabar gembira bagi kaum muslimin. Akan tetapi, pemikiran At-Turabi melalui ceramah dan karya-karyanya sangat menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dia mengatakan – semoga Allah memberi petunjuk padanya – dalam bukunya Tajdid Al-Fikr Al-Islamiy hal. 26 : “Satu-satunya marja’ (rujukan) asasi yang harus dikembalikan kedudukannya sebagai landasan yang penting adalah akal…!”.
Dengan pemikiran ‘aqlaniy seperti ini, secara tidak langsung dia mengatakan bahwa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnha sebagai satu-satunya pedoman tidaklah cukup untuk memenuhi kehidupan manusia. Dalam buku yang sama, hal. 25, dikatakan : “Di antara yang menghambat kemajuan kaum muslimin saat ini lantaran adanya orang yang mengatakan : ‘Cukup bagi kami Al-Qur’an dan As-Sunnah’. Inilah khayalan. Untuk itu para ulama dan fuqahaa harus bangkit untuk menghasilkan fiqh baru untuk keadaan yang baru”.
Apa yang dimaksud At-Turabi dengan fiqh baru ? Apakah keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunah serta tidak ada ikatan dengan keduanya ? Atau fiqh baru tersebut bersumber dari keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) ? Jika yang pertama yang diinginkan, maka harus ditolak secara mentah-mentah ! Sebab, hal itu merupakan pintu menuju kemurtadan. Kita memhon kepada Allah keselamatan. Jika yang kedua yang dimaksud, yakni bersumber padakitab Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu akan membatalkan ucapannya yang terdahulu. [Lihat Al-‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun, hal. 68-69, Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary].
Saat ceramah di Universitas Khartoum, Sudan, dengan tema Tahkim Asy-Syari’ah, ia mengatakan : “Saya ingin menyampaikan bahwa dalam lingkup negara yang telah bersatu dibolehkan bagi seorang muslim dan juga seorang Masehi (Nashrani) untuk merubah agamanya” [Lihat buku Ash-Sharim Al-Maslul fii Radd ‘alaa At-Turabi Syaatimu Ar-Rasul, hal. 12, Ahmad bin Malik]. Na’udzu billahi min dzaalik.
At-Turabi juga telah mengingkari dengan uslub-nya yang ‘aqlaniy mengenai hukum rajam. Dia menetapkan bagi seorang yang mnum khamr antara 20-40 kali cambukan. Atau orang tersebut dipenjara tidak lebih dari satu bulan dan didenda dengan denda yang tidak ada artinya. [Idem].
Al-‘Allamah Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdil-Hamid Al-Halabi Al-Atsary dalam Al-‘Aqlaniyyun Afrakhul-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun hal. 71, mengatakan : “…..dan untuk menguatkan pernyataan terdahulu, guna menyingkap rahasia serta menambah keterangan seperti apa yang dikatakan Muhammad Surur Zainal-‘Abidin dalam bukunya Dirasaat fii Sirah Nabawiyyah hal. 308, yakni berkenaan pengalaman dirinya bersama At-Turabi (yang mengatakan dalam buku tersebut), bahwa Dr. Hasan At-Turabi telah mengingkari turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis-salaam di akhir jaman nanti. Saya katakan kepadanya, ketika saya berada di satu majelis lebih dari sebelas tahun yang lalu : ‘Bagaimana bisa engkau mengingkari hadits mutawatir ?’. At-Turabi menjawab : ‘Saya tidak meragukan hadits ini dari sisi sanadnya, tetapi saya berpendapat, hadits ini bertentangan dengan akal, sehingga akal harus didahulukan dari nash bila terjadi pertentangan !”.
Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary mengatakan dalam bukunya di muka (hal. 72-74) berkenaan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi : “Dengan menyesal saya katakan, bahwa pemikiran ‘aqlaniy terkadang Nampak di sebagian karya Yusuf Al-Qatadlawi meski disampaikan dengan uslub (cara) terselubung dan kata-kata yang halus, seperti halnya Muhammad Al-Ghazali. Walaupun, hadits-hadits yang disebutkan Al-Qaradlawi, kadang ditolak dan diingkari Muhammad Al-Ghazali. Dalam hal ini keduanya mempunyai perbedaan dalam dua sisi :
1. Yusuf Al-Qaradlawi lebih berilmu dan lebih mengerti tentang kaidah-kaidah fiqhiyyah daripada Al-Ghazali, dan dia lebih dekat kepada mahaj ilmiah yang benar.
2. Hadits-hadits yang secara terang-terangan ditolak oleh Al-Ghazali, maka Al-Qaradlawi hanya bersikap tawaquf (mendiamkannya), kemudian ia menyebutkan haditsnya.
Sikap Al-Qaradlawi semacam ini menghasilkan sikap yang sama dengan Al-Ghazali, cuma dalam hal ini, Muhammad Al-Ghazali caranya kasar dalam menolak hadits.
Uslub ‘aqlaniy Dr. Yusuf Al-Qaradlawi bisa dilihat dalam bukunya Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah ?. Salah satu contoh pemikiran ‘aqlani-nya adalah sikap tawaquf-nya berkenaan dengan hadits yang tercantum dalam kitab Shahih Muslim dari Anas, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada seorang lelaki : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka” [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal 97].
Kadang, pendapatnya condong kepada ta’wil yang menyimpang dari nash itu sendiri, seperti yang dilakukannya ketika menyikapi hadits riwayat muttafaqun ‘alaihi, yaitu :
الْمَوْتُ يُؤْتَى عَلَى هَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ
“Kematian itu didatangkan dalam bentuk seekor domba yang berwarna kehitaman…”. [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal. 160].
Dia pun masih menyatakan keheranannya kepada orang-orang yang selalu membawa-bawa hadits tentang lalat atau tentang Nabi Musa ‘alaihis-salaam yang telah menempeleng Malaikat Maut. Dan masih banyak lagi hal yang seperti ini di dalam bukunya.
Demikianlah beberapa contoh pemikiran Mu’tazilah yang telah dikemukakan beberapa pemikir dari Timur Tengah. Adapun di Indonesia, Nurcholis Madjid, bisa disebut sebagai salah seorang tokohnya. Berikut ini di antara beberapa pemikirannya :
1. Alumnus Chicago ini mengklaim bahwa Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukan nama suatu agama, tapi maksudnya berserah diri kepada Tuhan.
2. Sikap sangat keberatannya terhadap kalimat haniifan musliman (tentang Nabi Ibrahim) untuk diartikan Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam adalah seorang muslim, kendati ayat itu dengan tegas menyebut musliman. [Dinukil dari dokumentasi kliping Paramadina Cak Nur in Fokus pasca ceramah budaya di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992. Sumber : Tempo, Editor, Amanah, Panjimas, Matra, Media Dakwah, Pelita, Harian Terbit, Salam, Fokus].
Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran yang dinilai, menurut kacamata Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sangat menyimpang sehingga tidak heran jika ia mendapat kecaman keras serta tuduhan berbagai macam dariseluruh lapisan masyarakat.
Dengan demikian hendaknya kita selalu waspada agar jangan sampai terjerumus ke dalam pemikiran-pemikiran sesat seperti ini. Jangan terkecoh hanya dengan kemasan “intelektualisme”. Jadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai timbangan dalam menerima dan menolak (setiap pemikiran – Red.).
Mata rantai generasi ‘aqlaniy ini terus berlangsung sampai saat ini. Sedang nama-nama mereka banyak sekali yang belum terungkap. Walau demikian, mereka bersifat congkak, tajam lisannya, dan kasar perkataannya. Apabila mereka membaca atau menulis, seakan-akan tidak ada kebenaran sama sekali kecuali datang dari mereka. [Kitab ‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun].
Sesungguhnya Rabb-ku Mewahyukan Kebenaran
Orang-orang moderat tidak berpegang teguh pada ushul yang merupakan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah di dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqh. Mereka menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan penafsiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa dalam menafsirkan Al-Qur’an harus selaras dengan beliau ? Karena beliau lah satu-satunya orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an; dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an. Barangsiapa yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia tergolong orang-orang salaf (salafy). Barangsiapa yang berpegang kepada jalan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang menjaga keutuhan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti dia sunniy salafiy. Adapun kaum yang mengaku dirinya moderat, tidaklah mereka berpegang teguh kepada Al-Qur’an, kecuali dengan pemahaman yang bersifat umum. Satu-satunya pedoman mereka adalah akal untuk menyesuaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan keadaan jaman. Mereka tidak meletakkan As-Sunnah sebagai suatu landasan dalam membuat undang-undang, hukum, dan ketetapan dengan landasan bahwa hal ini produk Muhammad selaku manusia biasa yang tidak ma’shum. Oleh karena itu, tidak patut diteladani, kecuali dalam perkara yang sumbernya dari wahyu. Sungguh, tidak ada individu atau kelompok yang menolak hadits (hadits ahad, khususnya) sejak dahulu kala, kecuali Khawarij dan Mu’tazilah.
Dahulu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus para shahabat secara ahad (individu), dan perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dalam masalah puasa Ramadlan pada suatu kaum dengan riwayat ahad. Kaum muslimin pada saat itu pun menerima berita tanpa disertai keraguan dan pengingkaran terhadap kabar tersebut. Mereka menjadikan perintah tersebut sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Adapun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hadits ahad memberikan pengetahuan yang meyakinkan dan tidak ada yang menyelisihinya, kecuali Mu’tazilah dan Khawarij pada kurun waktu seratus tahun setelah hijrah.
Seperti kita ketahui bahwa Mu’tazilah adalah suatu kelompok yang mendahulukan akal daripada nash. Hal ini tidaklah luput dari peran seta yang menghiasi pemikiran mereka dengan kebudayaan Yunani yang bercampur dengan kebudayaan Nashrani. Mereka mengatakan, berdasarkan ucapan Aristoteles bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta ini, kemudian dibiarkan begitu saja dan tanpa campur tangan dari-Nya.
Dari pengaruh itu mereka mengutamakan akal daripada nash dan mena’wilkan nash-nash hingga rusak. Gerakan mereka dilakukan secara diam-diam. Hal itu dilakukan hingga mereka mendapat kekuasaan di jaman Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Ma’mun Harun Al-Rasyid ini pun merupakan penganut Mu’tazilah. Dia turut andil bagi tersebarnya fitnah tentang pemahaman bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Hingga, dari fitnah tersebut, berakibat timbulnya berbagai intimadasi terhadap para penganut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang mengalami siksaan dan meringkuk dalam penjara selama kurang lebih tujuh belas tahun.
Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam Teladan Kita
Menjadikan sunnah sebagai hujjah dalam urusan dunia adalah dalil mutawatir dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” [QS. Al-Hasyr : 7].
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 65].
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” [QS. An-Nisaa’ : 80].
‘Umar radliyallaahu ‘anhu mengatakan : “Akan datang pada kalian suatu kaum yang mendebatkan syubhat yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka bantahlah mereka dengan sunnah, karena orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah, mereka lah yang paling mengerti tentang Kitab Allah”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Mereka yang mengukur Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, niscaya akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang sia-sia. Yakni, dengan cara melakukan pengingkaran terhadap kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya melalui pemalsuan dan penyelewengan. Sesungguhnya pembicaraan mereka adalah omong kosong belaka, dan perbuatan mereka adalah perbuatan orang-orang zindiq” [Bayan Talbis Jahmiyyah, 1/105, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihatlah Al-‘Ashriyyun Mu’tazilah Al-Yaum, Yusuf Kamal, hal. 111-115].
[‘Abdurrahman At-Tamimi & Hanan Bahanan – Majalah As-Sunnah Edisi 15/Th. Ke-2/1416 H-1996 M, hal. 29-38 – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ 14 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Rabi’ul-Awal 1430 H].
Search 21 Maret 2016. Pukul, 10:04 AM
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa'
Label: 'Aqidah
Lihat: http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2009/03/ragam-pemikiran-mutazilah.html
Perjalanan Hidup Imam Ahmad bin Hanbal
Imam madzhab yang empat memiliki keistimewaan-keistimewaan yang saling melengkapi antara satu dan yang lainnya. Imam Abu Hanifah adalah pelopor dalam ilmu fikih dan membangun dasar-dasar dalam mempelajari fikih. Imam Malik adalah seorang guru besar hadits yang pertama kali menyusun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu buku. Imam Syafii merupakan ulama cerdas yang meletakkan rumus ilmu ushul fikih, sebuah rumusan yang membangun fikih itu sendiri.
Artikel ini akan mengenalkan kepada pembaca tokoh keempat dari imam-imam madzhab, dialah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus pakar hadits di zamannya. Perjuangan besarnya yang selalu dikenang sepanjang masa adalah perjuangan membela akidah yang benar. Sampai-sampai ada yang menyatakan, Imam Ahmad menyelamatkan umat Muhammad untuk kedua kalinya. Pertama, Abu Bakar menyelematkan akidah umat ketika Rasulullah wafat dan yang kedua Imam Ahmad lantang menyerukan akidah yang benar saat keyakinan sesat khalqu Alquran mulai dilazimkan.
Nasab dan Masa Kecilnya
Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Imam Ibnu al-Atsir mengatakan, “Tidak ada di kalangan Arab rumah yang lebih terhormat, yang ramah terhadap tetangganya, dan berakhlak yang mulia, daripada keluarga Syaiban.” Banyak orang besar yang terlahir dari kabilah Syaiban ini, di antara mereka ada yang menjadi panglima perang, ulama, dan sastrawan. Beliau adalah seorang Arab Adnaniyah, nasabnya bertemu denga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.
Imam Ahmad berhasil menghafalkan Alquran secara sempurna saat berumur 10 tahun. Setelah itu ia baru memulai mempelajari hadits. Sama halnya seperti Imam Syafii, Imam Ahmad pun berasal dari keluarga yang kurang mampu dan ayahnya wafat saat Ahmad masih belia. Di usia remajanya, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga. Hal itu ia lakukan sambil membagi waktunya mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadits di Baghdad.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Guru pertama Ahmad bin Hanbal muda adalah murid senior dari Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf al-Qadhi. Ia belajar dasar-dasar ilmu fikih, kaidah-kaidah ijtihad, dan metodologi kias dari Abu Yusuf. Setelah memahami prinsip-prinsip Madzhab Hanafi, Imam Ahmad mempelajari hadits dari seorang ahli hadits Baghdad, Haitsam bin Bishr.
Tidak cukup menimba ilmu dari ulama-ulama Baghdad, Imam Ahmad juga menempuh safar dalam mempelajari ilmu. Ia juga pergi mengunjungi kota-kota ilmu lainnya seperti Mekah, Madinah, Suriah, dan Yaman. Dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan Imam Syafii di Mekah, lalu ia manfaatkan kesempatan berharga tersebut untuk menimba ilmu dari beliau selama empat tahun. Imam Syafii mengajarkan pemuda Baghdad ini tidak hanya sekedar mengahfal hadits dan ilmu fikih, akan tetapi memahami hal-hal yang lebih mendalam dari hadits dan fikih tersebut.
Walaupun sangat menghormati dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama Madzhab Hanafi dan Imam Syafii, namun Imam Ahmad memiliki arah pemikiran fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang tidak fanatik dan membuka diri.
Menjadi Seorang Ulama
Setelah belajar dengan Imam Syafii, Imam Ahmad mampu secara mandiri merumuskan pendapat sendiri dalam fikih. Imam Ahmad menjadi seorang ahli hadits sekaligus ahli fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berebagai penjuru negeri Islam. Terutama setelah Imam Syafii wafat di tahun 820, Imam Ahmad seolah-olah menjadi satu-satunya sumber rujukan utama bagi para penuntut ilmu yang senior maupun junior.
Dengan ketenarannya, Imam Ahmad tetap hidup sederhana dan menolak untuk masuk dalam kehidupan yang mewah. Beliau tetap rendah hati, menghindari hadiah-hadia terutama dari para tokoh politik. Beliau khawatir dengan menerima hadiah-hadiah tersebut menghalanginya untuk bebas dalam berpendapat dan berdakwah.
Abu Dawud mengatakan, “Majelis Imam Ahmad adalah majelis akhirat. Tidak pernah sedikit pun disebutkan perkara dunia di dalamnya. Dan aku sama sekali tidak pernah melihat Ahmad bin Hanbal menyebut perkara dunia.”
Masa-masa Penuh Cobaan
Pada tahun 813-833, dunia Islam dipimpin oleh Khalifah al-Makmun, seorang khalifah yang terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Filsafat Mu’tazilah memperjuangkan peran rasionalisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk teologi. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh hanya mengandalkan Alquran dan sunnah untuk memahami Allah, mereka diharuskan mengandalkan cara filosofis yang pertama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno. Di antara pokok keyakinan Mu’tazilah ini adalah bahwa meyakini bahwa Alquran adalah sebuah buku dibuat, artinya Alquran itu adalah makhluk bukan kalamullah.
Al-Makmun percaya pada garis utama pemikiran Mu’tazilah ini, dan ia berusaha memaksakan keyakinan baru dan berbahaya tersebut kepada semua orang di kerajaannya –termasuk para ulama. Banyak ulama berpura-pura untuk menerima ide-ide Mu’tazilah demi menghindari penganiayaan, berbeda halnya dengan Imam Ahmad, beliau dengan tegas menolak untuk berkompromi dengan keyakinan sesat tersebut.
Al-Makmun melembagakan sebuah inkuisisi (lembaga penyiksaan) dikenal sebagai Mihna. Setiap ulama yang menolak untuk menerima ide-ide Muktazilah dianiaya dan dihukum dengan keras. Imam Ahmad, sebagai ulama paling terkenal di Baghdad, dibawa ke hadapan al-Makmun dan diperintahkan untuk meninggalkan keyakinan Islam fundamentalnya mengenai teologi. Ketika ia menolak, ia disiksa dan dipenjarakan. Penyiksaan yang dilakukan pihak pemerintah saat itu sangatlah parah. Orang-orang yang menyaksikan penyiksaan berkomentar bahwa bahkan gajah pun tidak akab bisa bertahan jika disiksa sebagaimana Imam Ahmad disiksa. Diriwayatkan karena keras siksaannya, beberapa kali mengalami pingsan.
Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap memegang teguh keyakinannya, memperjuangkan akidah yang benar, yang demikian benar-benar menginspirasi umat Islam lainnya di seluruh wilayah Daulah Abbasiah. Apa yang dilakukan Imam Ahmad menunjukkan bahwa umat Islam tidak akan mengorbankan akidah mereka demi menyenangkan otoritas politik yang berkuasa. Pada akhirnya, Imam Ahmad hidup lebih lama dari al-Makmun dan Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri Mihna pada tahun 847 M. Imam Ahmad dibebaskan, beliau pun kembali diperkenankan mengajar dan berceramah di Kota Baghdad. Saat itulah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang terkenal itu ditulis.
Wafatnya Imam Ahmad
Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 855 M. Banan bin Ahmad al-Qashbani yang menghadiri pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah laki-laki yang mengantarkan jenazah Imam Ahmad berjumlah 800.000 orang dan 60.000 orang wanita .”
Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas pada permasalahn fikih yang ia hasilkan, atau hanya sejumlah hadits yang telah ia susun, namun beliau juga memiliki peran penting dalam melestarikan kesucian keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik yang sangat intens. Kiranya inilah yang membedakan Imam Ahmad dari ketiga imam lainnya.
Selain itu, meskipun secara historis Madzhab Hanbali adalah madzhab termuda dalam empat madzhab yang ada, banyak ulama besar sepanjang sejarah Islam yang sangat terpengaruh oleh Imam Ahmad dan pemikirannya, seperti: Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Katsir, dan Muhammad bin Abd al-Wahhab.
Semoga Allah Ta’ala menerima amalan Imam Ahmad bin Hanbal dan menempatkannya di surge yang penuh kenikmatan.
Sumber:
– Islamstory.com
– Lostislamichistory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
admin · April 19, 2014
https://kisahmuslim.com/4362-perjalanan-hidup-imam-ahmad-bin-hanbal.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar