Hadits no. 3
عن أبي عـبد الرحمن عبد الله بن
عـمر بـن الخطاب رضي الله عـنهما ، قـال سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسـلم يقـول : بـني الإسـلام على خـمـس : شـهـادة أن لا إلـه إلا الله وأن
محمد رسول الله ، وإقامة الصلاة ، وإيـتـاء الـزكـاة ، وحـج البيت ، وصـوم
رمضان
Dari Abu Abdirrahman,
Abdullah bin Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : aku
mendengar Rasulullah bersabda: “Islam didirikan diatas lima perkara
yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada
bulan ramadhan”.
Ini adalah hadits Muttafaqun ‘alaih.
Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 8, Kitab Iman, Bab Islam dibangun di
atas lima perkara. Muslim no. 16, Kitab Iman, Bab Penjelasan rukun-rukun
Islam.
Syarah Hadits :
Maksud hadits ini adalah pemaknaan dan
penggambaran Islam dengan bangunan dan tiang-tiangnya yang terdiri dari
kelima hal tersebut. Bangunan tidak akan kuat tanpa tiang-tiangnya dan
ajaran Islam adalah penyempurna bangunan dimana jika salah satu dari
ajaran Islam itu hilang, maka kekuatan bangunan berkurang namun tetap
bisa berdiri dan tidak ambruk, hanya saja tidak sempurna. Berbeda jika
tiang-tiangnya tersebut ambruk, maka Islam akan ambruk pula tanpa
diragukan lagi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa beriman kepada
Allah dan RasulNya masuk ke dalam cakupan Islam dengan persaksian dua
kalimat syahadat.
Mengenai shalat, disebutkan dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah
-radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sungguh, batas yang memisahkan seorang
laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
[HR Muslim no. 82].
Al-Imam Al-Marwazi meriwayatkan hadits
dari sahabat Buraidah Al-Aslami -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian diantara kami dengan mereka
(orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka ia kafir.”
Hadits ini diriwayatkan Al-Marwazi dalam kitabnya Ta’zhimu Qadrish
Shalah no. 793.
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab -radhiyallahu ‘anhu- berkata setelah beliau ditikam oleh Abu Lu’lu’ah :
نَعَمْ وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
“Benar. Tidak ada bagian dalam Islam bagi
siapa saja yang meninggalkan shalat.” Atsar Umar ini diriwayatkan oleh
Imam Malik 1/38-39.
‘Abdullah bin Syaqiq berkata, “Para
sahabat Rasulullah tidak melihat salah satu amal perbuatan yang jika
ditinggalkan maka merupakan kekafiran selain daripada shalat.” Ayyub
As-Sikhtiyani berkata, “Meninggalkan shalat adalah kafir tanpa ada
perdebatan di dalamnya.” Yang berpendapat seperti ini adalah sejumlah
ulama diantaranya ‘Abdullah bin Al-Mubarak, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih,
bahkan Ishaq mengatakan pendapat ini adalah ijma’ ulama. Al-Marwazi
berkata, “Ini merupakan pendapat jumhur ulama ahli hadits.”
Ahmad dan Ishaq berhujjah tentang
kekafiran orang yang meninggalkan shalat dengan kekafiran iblis karena
ia meninggalkan sujud kepada Nabi Adam Alaihissalam yang telah
diperintah Allah atasnya. Tentu saja meninggalkan sujud kepada Allah
adalah lebih besar lagi dosanya. Imam Ahmad menyebutkan hadits dari Abu
Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda :
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ يَا وَيْلَهُ أُمِرَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَعَصَيْتُ فَلِي النَّارُ
“Jika anak Adam membaca ayat sajdah
kemudian sujud, setan akan menjauh sambil menangis dan berkata : Sungguh
malang aku, manusia diperintahkan untuk bersujud maka iapun bersujud,
adapun aku diperintahkan untuk sujud tetapi aku membangkang sehingga aku
dimasukkan ke neraka.” [HR Ahmad 2/443, dishahihkan oleh Ibnu Hibban
no. 2759 dan Ibnu Khuzaimah no. 549].
Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud berkata,
“Barangsiapa yang tidak berzakat, maka shalatnya tidak diterima.” Maksud
dari perkataan beliau -radhiyallahu ‘anhu- ini adalah bukan berarti
shalatnya tidak sah dan wajib diulangi, akan tetapi shalatnya tidak
mendapat ridha’ dan pelakunya tidak dipuji, tidak dibanggakan Allah
Ta’ala di hadapan para malaikat dan penduduk langit.
Ada sebagian orang-orang yang mempunyai
pemahaman yang menyelisihi, berkata, “Jika salah satu atau empat ajaran
Islam selain dua kalimah syahadat hilang, maka itu tidak mengeluarkan
seseorang dari Islam.” Sebagian dari mereka berdalil bahwa Jibril
Alaihissalam bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam tentang
syari’at-syari’at Islam, bukan Islam itu sendiri. Pendapat seperti ini
ditentang para imam seperti Abu Zur’ah Ar-Razi, Muslim, Al-Uqaili dan
lain-lain.
Para imam mengumpamakan iman seperti
pohon yang mempunyai akar, cabang dan ranting. Nama pohon mencakup itu
semua dan jika salah satu dari cabang atau ranting ada yang hilang, nama
pohon tetap tidak akan hilang atau tidak berubah hanya saja pohon
tersebut dikatakan sebagai pohon yang kurang sempurna. Allah Ta’ala
membuat perumpamaan seperti ini dalam firmanNya :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
[QS Ibrahim : 24-25]
Maksud “kalimat” dalam firman Allah ini
adalah kalimat tauhid, akarnya adalah kalimat tauhid yang eksis di hati,
dan buahnya adalah amal-amal shalih yang tumbuh dan berkembang dari
tauhid.
Sahabat ‘Abdullah bin Umar meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda :
إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ
“Sesungguhnya diantara pohon, ada sebuah pohon yang tidak jatuh daunnya. Dan itu adalah perumpamaan bagi seorang muslim.”
Ibnu Umar berkata, “Aku berpikir dalam
hati bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Tetapi aku malu
mengungkapkannya.” Kemudian Ibnu Umar melanjutkan :
ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
“Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, pohon apakah itu?” Beliau bersabda, “Pohon kurma.” [HR
Bukhari no. 59, Kitab Ilmu]
Abul ‘Abbas Al-Qurthubi berkata, “Lima
hal diatas adalah asas agama Islam dan landasan tegaknya Islam. Lima hal
tersebut diatas disebut secara khusus tanpa menyebutkan Jihad (padahal
Jihad adalah membela agama dan mengalahkan penentang-penentang yang
kafir) Karena kelima hal tersebut merupakan kewajiban yang abadi,
sedangkan jihad merupakan salah satu fardhu kifayah, sehingga pada saat
tertentu bisa menjadi tidak wajib.”
Ibnu Rajab berkata, “Jihad berada di
tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun ia bukan salah satu tiang dan
rukun agama karena dua sebab. Pertama, Jihad adalah fardhu kifayah
menurut jumhur ulama, berbeda dengan kelima rukun di atas yang merupakan
fardhu ‘ain. Kedua, Jihad tidak berlangsung hingga akhir zaman, karena
jika ‘Isa ‘Alaihissalam telah turun dan ketika itu tidak ada lagi agama
selain Islam, maka dengan sendirinya perang berhenti dan tidak lagi
membutuhkan Jihad. Ini berbeda dengan kelima rukun Islam yang tetap
diwajibkan hingga datang keputusan dan pengadilan Allah (hari kiamat).”
Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Pada beberapa
riwayat disebutkan haji lebih dahulu dari puasa Ramadhan. Nampaknya hal
ini adalah keraguan dari perawi. Allahu a’lam. Syaikh Muhyidin Abu
Zakariya An-Nawawi dalam mensyarah hadits ini berkata, “Demikian dalam
riwayat ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekedar
tartib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa
Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain
disebutkan puasa disebutkan lebih dahulu daripada haji.” Oleh karena
itu, Ibnu Umar ketika mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji
daripada puasa, ia melarangnya lalu ia mendahulukan menyebut puasa
daripada haji. Ia berkata : “Begitulah yang aku dengar dari Rasulullah.”
Allahu Ta’ala a’lamu bishawab.
Sumber :
– Syarah Arba’in An-Nawawiyah li Ibni Daqiq Al-‘Id
– Jami’ul ‘Ulum wal Hikam li Ibni Rajab Al-Hanbali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar