Bismillah,,
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Pada Pembahasan kali ini kita akan membahas tentang Hadits Arba'in yang pertama.
Hadits no. 1
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ” متفق عليه
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, hadits no. 1, Kitab Iman dan di beberapa tempat dalam Shahihnya. Juga diriwayatkan oleh Muslim no. 1907, Kitab Imarah.
Syarah Hadits :
Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian”, yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Pada hadits ini, kalimat “Segala amal tergantung niatnya”, yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “segala amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Kedua, kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Al-Khathabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyiddin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal sehingga dari point kedua ini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang meng-qadha shalat tanpa niat maka tidak sah shalatnya, wallahu a’lam.
Ketiga, kalimat “Maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. Maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya maka akan mendapat pahala sesuai dengan apa yang ia niatkan dari hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, jika hijrahnya itu karena tujuan duniawi atau karena wanita, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa selain dari apa yang ia niatkan tersebut.
Perlu diketahui bahwa amalan perbuatan seorang hamba itu bisa diterima Allah Ta’ala adalah karena ia ikhlas dalam mengerjakannya dan mengikuti tuntunan Rasulullah, 2 hal ini tidak bisa terpisahkan dan merupakan kaidah wajib. Karena telah shahih hadits Nabi, “Barangsiapa mengamalkan suatu perkara (amalan) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” Dari hadits inilah menjadi kewajiban kita untuk selalu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam beramal dan tidak cukup hanya bermodalkan niat baik saja. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Amal yang dilakukan dengan ikhlas tapi tidak benar, maka tidak akan diterima. Dan jika ia benar tetapi tidak ikhlas, maka amalnya juga tidak diterima. Amal yang ikhlas ialah amal yang dilakukan karena Allah Ta’ala, sedangkan amal yang benar ialah bila dilakukan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.”
Niat Bertempat didalam Hati !
Ar-Rabi’ bin Sulaiman (murid Imam Asy-Syafi’i) mengatakan, “Melafazhkan niat di belakang imam (dalam shalat) bukan perkara sunnah, bahkan ia makruh. Jika mengganggu orang lain maka hukumnya haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa melafazhkan niat termasuk sunnah maka ia telah keliru dan tidak halal bagi siapapun berkata dalam agama Allah tanpa ilmu.” [Al-Qaul Al-Mubin fi Akhta’ Al-Mushalin hal. 91].
Melafazhkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorang pun baik dengan riwayat shahih, hasan, dhaif maupun mursal. Tidak seorangpun sahabat, tidak juga para tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan tidak pula 4 imam madzhab melakukannya dan menganggap baik hal ini. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang tidak pernah mencontohkan untuk melafazhkan niat. Sudah selayaknya kita cukupkan diri dengan apa yang datang dari Rasulullah dan para sahabatnya serta menahan diri dari apa yang tidak mereka lakukan dalam perkara ibadah.
Terakhir, perkataan Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi berikut ini, sebuah perkataan yang sangat tegas dari ulama madzhab Syafi’i, “Di antara perkara yang termasuk bid’ah adalah was-was dalam niat shalat. Hal ini tidak pernah dilakukan Nabi dan tidak juga para sahabatnya. Mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat shalat (nawaitu, ushalli, dsb) selain hanya takbiratul ihram saja. Imam Syafi’i berkata, orang yang was-was dalam shalat dan bersuci adalah orang yang bodoh tentang syari’at dan rusak pikirannya.” [Al-‘Amr bil Ittiba’ wa An-Nahyu Anil Ibtida’ hal. 295-296].
Allahu Ta’ala a’lamu bishawab.
Sumber :
– Syarah Arba’in An-Nawawiyah li Ibni Daqiq Al-‘Id
– Jami’ul ‘Ulum wal Hikam li Ibni Rajab Al-Hanbali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar