MAKALAH
MU’TAZILAH DAN SYI’AH
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
ILMU KALAM
DOSEN : ASNA ANDRIANI, SS. M.HUM
Oleh:
YUSUUF ARIFIN
PAI B / II
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
Maret 2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH Subhaanahu
Wata’aala atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang di ajukan untuk memenuhi salah satu mata tugas kuliah “Ilmu Kalam” di STAIM Tulungagung.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam yang telah membimbing kita dari jaman
jahiliah munuju ke zaman terang yakni agama islam.
Dengan selesainya makalah ini dengan judul “Mu’tazilah dan Syi’ah” Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat
:
1.
Bapak Nurul Amin M.Ag Selaku Rektor STAI Muhammadiyah
Tulungagung.
2.
Ibu Asna
Andriani, SS. M.HUM selaku Dosen Pembimbing kami
dalam pembuatan makalah ini.
3.
Serta
teman-teman yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Untuk itu dengan kerendahan hati,kami mengharap kepada semua pihak
segala kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulilah atas selesainya makalah
yang kami buat ini, teriringi doa semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan
pembaca pada umumnya.
Tulungagung, 08 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR
ISI .............................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah ............................................. 1
B.
Rumusan Masalah ...................................................... 2
C.
Tujuan Masalah .......................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.
MU’TAZILAH
1. Sejarah Munculnya Mu’tazilah .................................. 3
2. Mengapa Disebut Mu’tazilah .................................... 4
3. Asas dan Landasan Mu’tzilah ................................... 5
1. Sejarah Munculnya Mu’tazilah .................................. 3
2. Mengapa Disebut Mu’tazilah .................................... 4
3. Asas dan Landasan Mu’tzilah ................................... 5
B.
Syi’ah
1. Sejarah Munculnya Syi’ah ......................................... 7
2. Awal Munculnya Pemikiran Syi’ah ........................... 8
3. Faham Tentang Kedudukan Imam Syi’ah ................ 11
4. Nikah Mut’ah ............................................................ 12
5. Pemahaman Syi’ah Mengenai Al-Qur’an .................. 12
1. Sejarah Munculnya Syi’ah ......................................... 7
2. Awal Munculnya Pemikiran Syi’ah ........................... 8
3. Faham Tentang Kedudukan Imam Syi’ah ................ 11
4. Nikah Mut’ah ............................................................ 12
5. Pemahaman Syi’ah Mengenai Al-Qur’an .................. 12
BAB III: PENUTUP
KESIMPULAN................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan berputarnya zaman
berbagai macam pemikiran manusia pun terus berkembang, baik dari belahan bumi
timur, barat, selatan dan utara semua menjadi dekat dengan berbagai macam
sarana kemajuan alat komunikasi.
Setiap manusia menyadari bahwa mereka
tidaklah hidup sendiri, mereka senantiasa hidup berdampingan dengan berbagai
elemen masyarakat. Pelan tapi pasti berbagai pemikiran manusia yang mulanya
hanya seputar politik ataupun ekonomi kini pemikiran tersebut telah menyentuh
ranah agama.
Dizaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam jika ada pemikiran yang menyimpang mengenai agama yang dibawanya tentu
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan tinggal diam, apalagi
mengatasnamakan Islam sebagi alirannya. Beliau awali dengan dakwah,
mengingatkan dengan kelemah lembutan beliau, hingga akhirnya peperangan pun
tidak ragu untuk beliau perintahkan kepada para sahabatnya. Sebagai contoh
kecil adalah Musailamah Al-Kadzab, ia merupakan seseorang yang mengaku Nabi Palsu
dizaman beliau
Berbagai macam fitnah telah Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wasallam sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu, mengenai
berbagai macam golongan-golongan sesat yang membangkang kepada ajarannya. Dan yang menentang para Khulafaur Rasyidin dan memisahkan
diri dari kaum muslimin. Dengan
berbagtai macam dalih hawa nafsu, merekapun membuat kelompok baru dan sungguh
benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam pun benar-benar
terjadi, mulai dari dibunuhnya Sayyidina Umar Radhiallahu ‘Anhu ketika Sholat,
dibunuhnya Sayyidina Ustman Bin Affan
oleh para pemberontak, hingga fitnah yang menimpa Sayyidina Ali Radhiallahu
‘Anhu
Pada makalah ini kami selaku penyusun
makalah secara ringkas akan membahas mengenai sejarah dan apapun yang berkaitan
dengan Mu’tazilah dan Syi’ah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Inti dari Pemahaman Mu’tazilah?
2. Bagaimana
Inti dari Pemahaman Syi’ah ?
3. Bagaimana
Sejarah Awal Mulanya Mu’tazilah dan Syi’ah Muncul ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Agar
kita mengetahui Inti Pemahaman Mu’tazilah.
2.
Agar
kita mengetahui Inti Pemahaman Syi’ah.
3.
Agar
Kita Bisa Memahami Awal Mula Munculnya Aliran Mu’tazilah dan Syi’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Perpecahan
umat islam memang telah jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu. Dan tidaklah seseorang itu berada pada
kebenaran kecuali kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan
apa-apa yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam contohkan pada kita
melalui sunnah-sunnahnya yang mulia. Pembahasan kali ini penyusun makalah akan
mengajak pembaca untuk menelusuri aliran Mu’tazilah dan Syi’ah baik itu
sejarahnya ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
A.
Mu’tazilah
1.
Sejarah
Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada
abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80
H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan pemikiran barunya dalam
beragama, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota
Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam
suatu pemikiran baru dalam agama, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat
Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr.
Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi,
5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya
Asy-Syihristani hal. 46-48).
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.Hingga mereka mendalami
buku-buku yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat
itulah manhaj mereka benar- benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam.(
Al-Milal Wan-Nihal, hal. 29)
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka
berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan
Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat
bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat
tersebut harus dibuang atau ditakwil.[1]
2. Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan
diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan
sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang
imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah
seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam
agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu
kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij.Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam
madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak
berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap
kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam
permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip
(dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.[2]
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.[2]
3. Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan
landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip
mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah
(lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid
Landasan Pertama: At-Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid
adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa
menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-
masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq
Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid
atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Landasan kedua:
Al-‘Adl (keadilan)
Yang
mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang
dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah)
Allah subhaanahuwata'aala. Dalilnya mereka adalah firman Allah subhaanahu
wata'aala :
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan
keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila
Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan
untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan
Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan
ini adalah bahwa wajib bagi Allah subhaanahu wata'aala untuk memenuhi janji-
Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan
melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah
syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak
boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan
Wa’idiyyah.
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Yang
mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak
bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di
bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia).
Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan
dan kekafiran).
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini
adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Selain dari lima landasan diatas,
mu’tazilah juga memiliki banyak sekali pemikiran lainnya, diantarannya adalah :
1. Mendahulukan akal daripada Al
Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
2. Mengingkari adzab kubur, syafa’at
Rasulullah untuk para pelaku dosa,
3. Mengingkari ru’yatullah (dilihatnya
Allah) pada hari kiamat,
4.
Mengingkari timbangan amal di hari
kiamat,
5.
Mengingkari Ash-Shirath (jembatan
yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam),
6.
Mengingkari telaga Rasulullah di
padang Mahsyar,
7.
Mengingkari keluarnya Dajjal di
akhir zaman,
8.
Mengingkari telah diciptakannya Al-Jannah
dan An-Naar (saat ini).
9. Mengingkari turunnya Allah ke langit
dunia setiap malam.
10.
Mengingkari
hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
Mereka
juga memvonis terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam
pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa
mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya.
Dan kita sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak
mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
Mereka memiliki pandangan bahwa meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan
bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat
Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka
terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan
Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat
Istilaa’ (menguasai).[3]
Kemudian
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan gambaran firqah tersebut
secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau, ”Mereka adalah para pengikut Washil
bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri.
Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi
sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain),
tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya
adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat
adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah
takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa
besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua
prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah.
Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah
membahayakan keimanan.[4]
B. SYI’AH
1.
Sejarah Munculnya Syi’ah
Secara fisik, sulit dibedakan antara
penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih dalam terutama
dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga
tidak mungkin disatukan.. Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela
dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul
diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul
Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun menurut terminologi syariat,
syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari
seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu
pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya
Ibnu Hazm). Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman
yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada
perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai
peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat
fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam
pun berpecah-belah.
2.
Awal Munculnya
Pemikiran Syi’ah
Perlu
diketahui bahwa Syi’ah Ali generasi awal adalah kaum muslimin yang lurus,
bersih dan selamat karena berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tidak
pula merendahkan keutamaan para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Mereka juga tidak menuding para
sahabat kafir. Namun seorang tokoh Syi’ah Modern, Abdul Husain Al-Musawi
mengklaim bahwa kelompok sahabat Nabi yang dia sebut namanya itu adalah para
tokoh yang menjadi teladan kaum syi’ah masa kini. Padahal aqidah para sahabat
itu bersikap loyal (tawalli) kepada
empat khulafaurrasyidin, dan tidak berlepas diri (tabarri) dan tidak mencaci As-Syaikhain (Abu Bakar dan Umar
Radhiallahu’anhuma).
Dalam perkembangan selanjutnya,
syi’ah ali yang murni ini tidak bertahan lama dan pada abad berikutnya menjadi
sarang persembunyian para musuh, dan para pendengki islam yang hendak membuat
makar terhadap islam dan kaum muslimin.[5]
Pada
masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka
menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan
para pengikutnya.
Saat itu
mereka terbagi menjadi tiga golongan.
1. Golongan
yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar
mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar
mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia
mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah
yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar
mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah
(dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena
Nabi bersabda:
”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya).
”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya).
2. Golongan Sabbah
(pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah
mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali
mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
3. Golongan Mufadhdhilah,
yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah
diriwayatkan oleh Imam
Tirmizi dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadits secara marfû’ dari Ali
Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma
sedang berjalan menuju Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dua orang ini merupakan dua tokoh tua[6] penduduk surga dari orang-orang yang terdahulu sampai yang terakhir. Wahai Ali! Janganlah kamu beritahukan hal ini kepada mereka“,(HR at-Tirmizdi ( 4/310)).
“Dua orang ini merupakan dua tokoh tua[6] penduduk surga dari orang-orang yang terdahulu sampai yang terakhir. Wahai Ali! Janganlah kamu beritahukan hal ini kepada mereka“,(HR at-Tirmizdi ( 4/310)).
Riwayat
semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad
bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik
setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah
menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah),
Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian
banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk
diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini
senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan
berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam
kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan
rezim Syah Reza Pahlevi.
Rafidhah menurut bahasa arab
bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang
menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela
lagi menghina para sahabat nabi.
Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah
itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr
dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat
kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para
pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di
tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari
berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut
yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr
dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya.
Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian
tinggalkan aku?”
Maka
dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid
kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (MaqalatulIslamiyyin,
1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa (13/36). Pencetus paham syiah ini adalah seorang
yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari,
yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah bin
Saba’ mengenalkan ajarannya secaraterang-terangan, ia kemudian menggalang
massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudahNabi Muhammad seharusnya
jatuh ketangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihiwasallam (menurut persangkaan mereka). Menurut Abdullah bin Saba’,
Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut.
Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di
dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam
(khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan
itu berkembang terus-menerus dari waktu kewaktu, sampai kepada menuhankan Ali
bin AbiThalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi
bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan
diri. Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang
penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh
orang-orang Yahudi untuk merusaktatanan agama dan masyarakat muslim. Awal
kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin AbiThalib. Dengan
kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk
(giatberibadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat
(bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa
pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya,
sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat
diantara para sahabat pun terjadi.
(Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘AqidahAth-ThahawiyyahIbnuAbil ‘Izzhlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)
(Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘AqidahAth-ThahawiyyahIbnuAbil ‘Izzhlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)
Rafidhah
pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci
Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang
paling ringan kesalahannya.[7]
3.
Faham Tentang Kedudukan Imam Syi’ah
Ajaran Syi’ah menyatakan bahwa para
imam mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari para Nabi dan Rasul. Imam
Khumaini (imam mereka) menyatakan bahwa, ‘Sesungguhnya imam mempunyai kedudukan
yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpinan mendunia, dimana seisi alam
ini tunduk dibawah wilayah kekuasaanya. Dan termasuk para Imam kita mempunyai
kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin ataupun nabi yang
diutus”.[8]
4.
Nikah Mut’ah
Menutut Syi’ah, nikah mut’ah boleh
bahkan akan mendapat pahala yang besar. Ulama Syi’ah menyatakan bahwa nikah
mut’ah (kawin kontrak) tidak perlu mempedulikan apakah si wanita punya suami
atau tidak. Boleh juga nikah mut’ah dengan pelacur.[9]
Nuri Al-Thabarsi (ulama Syi’ah), menjelaskan bahwa dalam nikah mut’ah boleh
dengan wanita bersuami asal dia mengaku tidak punya suami.[10]
5.
Pemahaman Syi’ah Mengenai Al-Qur’an
Berhubung mereka sangat membenci dan
bahkan mengkafirkan para sahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, sudah tidak heran jika mereka akhirnya mempunyai pandangan baru dalam
memahami Al-Qur’an. Menurut seorang ulama Syi’ah al-Mufid dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa
Al-Qur’an yang ada saat ini tidak orisinil. Al-Qur’an sekarang sudah mengalami
distorsi, penambahan dan pengurangan.[11]
Hal senada juga dikatakan imam-imam mereka seperti Al-Qummi seorang tokoh
mufassir Syi’ah, Ahmad bin Ali al-Thabarsi seorang tokoh syi’ah abad ke 6 H,
Ni’matullah al-Jazairi dll.
Kiranya salah satu ulama mashur di
negri kita sudah cukup untuk memberikan pengetahuan pada kita akan extreme dan
alangkah bahayanya ajaran mereka tersebut, adalah Ra’is Akbar Nahdlatul Ulama Hadratu
Syaikh Hasyim Asy’ari rahimahullah (1875-1947) yang berfatwa mengenai aliran
ini, berikut fatwa beliau,
“Di antara mereka juga ada golongan Rafidhah yang suka
mencac Sayidina Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma., membenci para
sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayidina Ali da anggota
keluarganya, semoga Allah meridhai mereka semua. Berkata Sayyid Muhammad dalam
Syarah Qamus, sebagian mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq,
semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran ini.
Berkata
Al Qadhi Iyadh dalam kitab AsySyifa bi Ta’rif Huquq Al Musthafa, dari Abdillah
ibn Mughafal, Rasulullah shallallahul’aihiwasallam bersabda: Takutlah kepada
Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu
menjadikan mereka sebagai sasaran caci maki sesudah aku tiada. Barangsiapa
mencintai mereka, maka semata-mata karena mencintaiku. Dan barangsiapa membenci
mereka, maka berarti semata-mata karena membenciku. Dan barangsiapa menyakiti
mereka berarti dia telah menyakiti aku, dan barangsiapa menyakiti aku berarti
dia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa telah menyakiti Allah
dikhawatirkan Allah akan menghukumnya. (Hadits riwayat Tirmidzi dalam Sunan
At-Tirmidzi Juz V hal. 696 hadits no.3762). Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam
bersabda: “Janganlah kamu mencela para sahabatku, Maka siapa yang mencela
mereka, atasnya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah
Ta’ala tidak akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib
maupun yang sunnah.” (HR. Abu Nu’aim, Al-Thabrani dan Al-Hakim). Rasulullah
sallallahu’alayhi wasallam bersabda: “Janganlah kamu mencaci para sahabatku,
sebab di akhir zaman nanti akan datang suatu kaum yang mencela para sahabatku,
maka jangan kamu menyolati atas mereka dan shalat bersama mereka, jangan kamu
menikahkan mereka dan jangan duduk-duduk bersama mereka, jika sakit jangan kamu
jenguk mereka.” Nabi shallallahu’alayhi wasallam telah mengabarkan bahwa mencela
dan menyakiti mereka adalah juga menyakiti Nabi, sedangkan menyakiti Nabi haram
hukumnya. Rasul sallallahu’alayhiwasallam bersabda: “Jangan kamu sakiti aku dalam
perkara sahabatku, dan siapa yang menyakiti mereka berarti menyakitiaku.”
Beliau bersabda, “Jangan kamu menyakiti aku dengan cara menyakiti Fatimah.
Sebab Fatimah adalah darah dagingku, apasaja yang menyakitinya berarti
telah menyakiti
aku.” (Risalat Ahli Sunnah wal Jama’ah, h.9-10).[12]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Perpecahan
umat islam memang telah jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
sabdakan sejak 1.400 tahun yang lalu. Dan tidaklah seseorang itu berada pada
kebenaran kecuali kepada apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan
apa-apa yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam contohkan pada kita
melalui sunnah-sunnahnya yang mulia.
Kelompok Mu’tazilah ini muncul di
kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya
di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin
Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Kelompok ini
memiliki ciri khas dengan lima landasan yang telah kami sebutkan diatas.
Menurut terminologi syariat, syiah
bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari
seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu
pula sepeninggal beliau. Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte
yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan
Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak
cabang-cabang sekte lainnya
DAFTAR PUSTAKA
As-syahrastani,
Al-Milal wa Al-Nihal ,
(bina ilmu;2009)
Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH
di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth)
Bin
Sulaimi, Ruwaifi (Diringkas dari kitab Lamhah
‘Anil-Firaq Adh-Dhallah).
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM. Posted by: Novi Effendi
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM. Posted by: Novi Effendi
sumber: (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171)
publish ulang http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html
publish ulang http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html
Ari Wahyudi, Abu Mushlih , Beberapa Aliran Sesat, Artikel www.muslim.or.id https://muslim.or.id/1963-beberapa-aliran-sesat.html ,3 February 2010.
[1]. Lihat kata
pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar,
1/65. Perlu diketahui bagi pembaca bahwa Ini merupakan kaidah yang batil,
karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah subhaanahu
wata'aala akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan.
Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu
lebih utama dari syariat maka Allah subhaanahu wata'aala tidak akan mengutus
para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang
benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih
utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan
banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih
rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-
Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
[2]
. Al-Milal
Wan-Nihal,hal.47-48. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan
Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya.
Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut
fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah
‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42).
[3] . Novi Effendi, Mu'tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal, Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq
Adh-Dhallah, hal. 44-45. Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Lc
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM. (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171) publish ulang http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html
21Sep2011 Pukul : 9:52 AM. (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171) publish ulang http://www.assunnah-qatar.com/artikel/manhaj/item/1070-mutazilah-kelompok-sesat-pemuja-akal.html
[4] . Abu Mushlih Ari Wahyudi, Beberapa Aliran Sesat, Artikel www.muslim.or.id https://muslim.or.id/1963-beberapa-aliran-sesat.html ,3 February 2010.
[5] . Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di Indonesia.(FORMAS,
(Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 30-31.
[6] . Ini diungkapkan dengan
menggunakan istilah saat mereka berada di dunia, karena di surga tidak ada yang
tua
[7] . [Disusun dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon
Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul Islam IbnuTaimiyyah, judul bahasa indonesia
“Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam] https://muslim.or.id/8770-sejarah-kemunculan-syi.html
[8] . Ayatullah Khumaini, Al-Hukumat Al-Islamiyyah, Hal:52. Lihat
Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan
Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid
Ahlussunnah:tth) hal ; 76.
[10] . Nuri Ath-Thabarsi, Mustadrak Al-Wasail, Hal. 485. Ibid.
[11] . al- Mufid, Awail al-Maqalaat, Hal. 80-81. Ibid, hal
: 45.
[12] . Tim penulis MUI Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan SYI’AH
di Indonesia.(FORMAS, (Forum Masjid Ahlussunnah:tth) hal ; 133-136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar