Kita tahu bersama bahwa perlombaan adalah suatu yang asalnya boleh.
Hal ini berdasarkan As Sunnah dan Ijma’ para ulama. Namun perlombaan
yang dibahas oleh para fuqoha ada dua bentuk, ada yang tanpa taruhan dan
ada yang dengan taruhan.
Perlombaan dengan tanpa taruhan dibolehkan seperti perlombaan lari dan dayung. Sedangkan bagaimana perlombaan dengan taruhan? Tidak ada perselisihan antara para fuqoha akan bolehnya perlombaan dengan taruhan. Namun mereka berselisih mana sajakah perlombaan yang dibolehkan dengan taruhan.[1]
Hadits yang membicarakan perlombaan dengan taruhan adalah hadits Abu Hurairah berikut,
“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.”
(HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu
Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Ketiga perlombaan
ini dibolehkan walaupun dengan taruhan karena bermanfaat untuk
peperangan atau jihad, yaitu untuk melatih fisik kaum muslimin.
Perlombaan ini dibolehkan karena punya tujuan besar yaitu agar agama
Islam tetap jaya. Dengan berlomba memanah, pacuan unta dan kuda, seorang
muslim bisa berjihad dengan penuh spirit.
Berlomba Menghafal Qur’an dengan Taruhan
Ibnul Qayyim rahimahullah ditanya, “Apakah boleh melakukan perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits, fikih dan ilmu yang bermanfaat lainnya yang ditentukan manakah yang benar manakah yang salah dan perlombaan tersebut menggunakan taruhan?”
Kata Ibnul Qayyim, “Pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i melarang hal tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah membolehkannya. Guru kami, begitu pula Ibnu ‘Abdil Barr dari ulama Syafi’iyah membolehkan hal ini. Perlombaan menghafal Qur’an tentu saja lebih utama dari lomba berburu, bergulat, dan renang. Jika perlombaan-perlombaan tadi dibolehkan, maka tentu saja perlombaan menghafal Al Qur’an (dengan taruhan) lebih utama untuk dikatakan boleh.”[2]
Dalam menghafal Al Qur’an perlu ada usaha keras dan banyak mengulang-ulang hafalan, atau harus banyak mengetahui perowi ketika menghafal hadits. Jadi bukan hanya sekedar dibaca atau dikhatamkan. Sehingga kita katakan bahwa lomba menghafal Al Qur’an dan setiap lomba yang memperlombakan untuk menghafal ilmu bermanfaat dan di dalamnya ada taruhan, maka itu dibolehkan karena nantinya akan menjadikan tegak agama ini. Sekali lagi kenapa perlombaan memanah dan pacuan kuda dibolehkan dengan adanya taruhan karena lomba tersebut akan semakin menjaga spirit dalam jihad yang membuat agama Allah terus tegak. [3] Hal ini pun kita temui dalam lomba menghafal Al Qur’an, lomba menghafal hadits, atau menghafal berbagai ilmu dalam kitab-kitab matan.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin rahimahullah berkata, “Kita telah ketahui bahwa lomba lari, dayung, melempar tombak dibolehkan tanpa taruhan. Begitu pula dibolehkan lomba pacuan unta, pacuan kuda dan lomba memanah dengan adanya taruhan. Adapun lomba ilmiah, maka aku memandangnya juga boleh jika memang di dalamnya memotivasi peserta untuk banyak menghafal dan mengulang-ulang pelajaran (mudzakaroh). Sebagai contoh, sebagian muhsinin biasa memberi hadiah pada peserta yang menghafal Al Qur’an. Bagi yang menghafal Al Qur’an dalam waktu 3 bulan saja, maka akan mendapatkan 30.000 riyal (sekitar Rp75 juta). Yang menghafal Al Qur’an dalam waktu enam bulan, maka akan mendapatkan hadiah 20.000 riyal (sekitar Rp50 juta). Begitu pula dalam lomba menghafal hadits, bagi yang menghafal 100 hadits atau 300 hadits selama setahun atau setengah tahun akan mendapat hadiah seperti itu. Juga ada ujian tes kuatnya hafalan dan yang mendapati juara pertama akan mendapati hadiah lebih banyak dari yang lainnya. Begitu pula termasuk di dalamnya adalah lomba menghafal kitab matan ilmiah dalam masalah fikih, siroh nabawi, masalah tauhid, dan sastra yang hadiah tersebut akan diberikan kepada yang mumtaz (yang sangat bagus nilainya). Orang yang memberi hadiah dibolehkan dari sebagian muhsinin yang ikhlas dalam memberi dan tidak bermaksud untuk kepentingan duniawi. Maksud para muhsinin seharusnya adalah untuk memotivasi para pemuda supaya perhatian dalam menghafal Al Qur’an dan dalam menghafalkan berbagai ilmu. Ini tentu saja akan mendatangkan faedah dalam agama ini. Wallahu a’lam.”[4]
Asal Taruhan
Taruhan atau hadiah dalam perlombaan yang dibolehkan dengan adanya taruhan di atas disyaratkan mesti jelas berapa jumlahnya. Taruhan tersebut bisa jadi ditarik dari salah satu peserta dengan ia mengatakan, “Jika engkau mengalahkan saya dalam hafalan Al Qur’an, maka saya berkewajiban memberimu Rp.100.000”. Atau taruhan tersebut bisa ditarik dari pihak lain semisal dari imam yang diambil dari kas negara. Bisa pula taruhan tersebut berasal dari iuran peserta, seperti masing-masing misalnya menyetorkan iuran awal sebesar Rp.10.000 dan hadiahnya akan ditarik dari iuran tersebut. Dan bentuk ketiga ini disebut rohan (taruhan). Berbeda dengan jumhur (mayoritas ulama), Ibnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah menilai bahwa bentuk taruhan seperti ini.[5] Dan alasannya telah disebutkan dalam perkataan Ibnul Qayyim di atas. Namun agar terhindar dari khilaf ulama, sebaiknya lomba hafalan quran sekali pun tidak berupa taruhan yang ditarik dari tiap peserta dengan menyaratkan uang pendaftaran. Sangat bagus jika hadiah lomba tersebut dicari dari muhsinin atau pihak ketiga. Lihat fatwa Syaikh Jibrin di atas yang membolehkan lomba hafaan Quran dan hadits dengan bertaruh, namun hadiahnya diambil dari pihak ketiga (muhsinin). Wallahu a’lam.
Catatan
Sedangkan taruhan yang dilakukan di antara sesama penonton (misal dari para penonton pacuan kuda atau memanah), tidak dibolehkan dalam perlombaan yang masuk kategori boleh dengan taruhan. Karena yang boleh memakai taruhan di sini adalah sesama para peserta (atau amannya hadiahnya dari pihak ketiga) sebagaimana penjelasan di atas.
Riyadh-KSA, at night, 12nd Rajab 1432 H (14/06/2011)
www.rumaysho.com
https://rumaysho.com/1805-lomba-hafal-quran-dengan-taruhan.html
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/123-125, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
[2] Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hal. 318, terbitan Darul Andalus, cetakan pertama, 1414 H.
[3] Lihat bahasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam fatawanya Al Islam Sual wa Jawab.
[4] Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=701&parent=786
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/128-129.
Perlombaan dengan tanpa taruhan dibolehkan seperti perlombaan lari dan dayung. Sedangkan bagaimana perlombaan dengan taruhan? Tidak ada perselisihan antara para fuqoha akan bolehnya perlombaan dengan taruhan. Namun mereka berselisih mana sajakah perlombaan yang dibolehkan dengan taruhan.[1]
Hadits yang membicarakan perlombaan dengan taruhan adalah hadits Abu Hurairah berikut,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
Berlomba Menghafal Qur’an dengan Taruhan
Ibnul Qayyim rahimahullah ditanya, “Apakah boleh melakukan perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits, fikih dan ilmu yang bermanfaat lainnya yang ditentukan manakah yang benar manakah yang salah dan perlombaan tersebut menggunakan taruhan?”
Kata Ibnul Qayyim, “Pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i melarang hal tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah membolehkannya. Guru kami, begitu pula Ibnu ‘Abdil Barr dari ulama Syafi’iyah membolehkan hal ini. Perlombaan menghafal Qur’an tentu saja lebih utama dari lomba berburu, bergulat, dan renang. Jika perlombaan-perlombaan tadi dibolehkan, maka tentu saja perlombaan menghafal Al Qur’an (dengan taruhan) lebih utama untuk dikatakan boleh.”[2]
Dalam menghafal Al Qur’an perlu ada usaha keras dan banyak mengulang-ulang hafalan, atau harus banyak mengetahui perowi ketika menghafal hadits. Jadi bukan hanya sekedar dibaca atau dikhatamkan. Sehingga kita katakan bahwa lomba menghafal Al Qur’an dan setiap lomba yang memperlombakan untuk menghafal ilmu bermanfaat dan di dalamnya ada taruhan, maka itu dibolehkan karena nantinya akan menjadikan tegak agama ini. Sekali lagi kenapa perlombaan memanah dan pacuan kuda dibolehkan dengan adanya taruhan karena lomba tersebut akan semakin menjaga spirit dalam jihad yang membuat agama Allah terus tegak. [3] Hal ini pun kita temui dalam lomba menghafal Al Qur’an, lomba menghafal hadits, atau menghafal berbagai ilmu dalam kitab-kitab matan.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin rahimahullah berkata, “Kita telah ketahui bahwa lomba lari, dayung, melempar tombak dibolehkan tanpa taruhan. Begitu pula dibolehkan lomba pacuan unta, pacuan kuda dan lomba memanah dengan adanya taruhan. Adapun lomba ilmiah, maka aku memandangnya juga boleh jika memang di dalamnya memotivasi peserta untuk banyak menghafal dan mengulang-ulang pelajaran (mudzakaroh). Sebagai contoh, sebagian muhsinin biasa memberi hadiah pada peserta yang menghafal Al Qur’an. Bagi yang menghafal Al Qur’an dalam waktu 3 bulan saja, maka akan mendapatkan 30.000 riyal (sekitar Rp75 juta). Yang menghafal Al Qur’an dalam waktu enam bulan, maka akan mendapatkan hadiah 20.000 riyal (sekitar Rp50 juta). Begitu pula dalam lomba menghafal hadits, bagi yang menghafal 100 hadits atau 300 hadits selama setahun atau setengah tahun akan mendapat hadiah seperti itu. Juga ada ujian tes kuatnya hafalan dan yang mendapati juara pertama akan mendapati hadiah lebih banyak dari yang lainnya. Begitu pula termasuk di dalamnya adalah lomba menghafal kitab matan ilmiah dalam masalah fikih, siroh nabawi, masalah tauhid, dan sastra yang hadiah tersebut akan diberikan kepada yang mumtaz (yang sangat bagus nilainya). Orang yang memberi hadiah dibolehkan dari sebagian muhsinin yang ikhlas dalam memberi dan tidak bermaksud untuk kepentingan duniawi. Maksud para muhsinin seharusnya adalah untuk memotivasi para pemuda supaya perhatian dalam menghafal Al Qur’an dan dalam menghafalkan berbagai ilmu. Ini tentu saja akan mendatangkan faedah dalam agama ini. Wallahu a’lam.”[4]
Asal Taruhan
Taruhan atau hadiah dalam perlombaan yang dibolehkan dengan adanya taruhan di atas disyaratkan mesti jelas berapa jumlahnya. Taruhan tersebut bisa jadi ditarik dari salah satu peserta dengan ia mengatakan, “Jika engkau mengalahkan saya dalam hafalan Al Qur’an, maka saya berkewajiban memberimu Rp.100.000”. Atau taruhan tersebut bisa ditarik dari pihak lain semisal dari imam yang diambil dari kas negara. Bisa pula taruhan tersebut berasal dari iuran peserta, seperti masing-masing misalnya menyetorkan iuran awal sebesar Rp.10.000 dan hadiahnya akan ditarik dari iuran tersebut. Dan bentuk ketiga ini disebut rohan (taruhan). Berbeda dengan jumhur (mayoritas ulama), Ibnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah menilai bahwa bentuk taruhan seperti ini.[5] Dan alasannya telah disebutkan dalam perkataan Ibnul Qayyim di atas. Namun agar terhindar dari khilaf ulama, sebaiknya lomba hafalan quran sekali pun tidak berupa taruhan yang ditarik dari tiap peserta dengan menyaratkan uang pendaftaran. Sangat bagus jika hadiah lomba tersebut dicari dari muhsinin atau pihak ketiga. Lihat fatwa Syaikh Jibrin di atas yang membolehkan lomba hafaan Quran dan hadits dengan bertaruh, namun hadiahnya diambil dari pihak ketiga (muhsinin). Wallahu a’lam.
Catatan
Sedangkan taruhan yang dilakukan di antara sesama penonton (misal dari para penonton pacuan kuda atau memanah), tidak dibolehkan dalam perlombaan yang masuk kategori boleh dengan taruhan. Karena yang boleh memakai taruhan di sini adalah sesama para peserta (atau amannya hadiahnya dari pihak ketiga) sebagaimana penjelasan di atas.
Perlomba selain yang disebutkan di atas seperti perlombaan bola, balapan motor, perlombaan catur yang menggunakan taruhan dengan dipungut dari iuran peserta,
ini jelas terlarang karena bukan bertujuan untuk menegakkan agama Allah
atau jalan melatih untuk berjihad. Bahkan perlombaan semacam itu
termasuk dalam bentuk perjudian yang jelas haramnya.
Jelaslah bagaimana bentuk perjudian saat ini yang dikemas dengan
berbagai trik. Seperti lomba voli yang diikuti peserta dengan syarat
setiap peserta membayar uang pendaftaran Rp.100 ribu lalu hadiahnya
dipungut dari uang pendaftaran tersebut, ini jelas masuk dalam judi.
Wallahu a’lam.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Riyadh-KSA, at night, 12nd Rajab 1432 H (14/06/2011)
www.rumaysho.com
https://rumaysho.com/1805-lomba-hafal-quran-dengan-taruhan.html
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/123-125, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
[2] Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hal. 318, terbitan Darul Andalus, cetakan pertama, 1414 H.
[3] Lihat bahasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam fatawanya Al Islam Sual wa Jawab.
[4] Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=701&parent=786
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/128-129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar