MAKALAH
PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS SANAD SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
‘ULUMUL HADITS
DOSEN : M. ASEP FATHUR ROZI, M.Pd.I
Oleh:
MUHAMMAD HAMKA SAFI’I
YUSUUF ARIFIN
PAI B / II
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
April 2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH Subhaanahu
Wata’aalaa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang di ajukan untuk memenuhi salah satu mata tugas kuliah“Ulumul
Hadits” di STAIM Tulungagung.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam yang telah membimbing kita dari jaman
jahiliah munuju ke zaman terang yakni agama islam.
Dengan selesainya makalah ini dengan judul “Pembagian Hadits dari Segi
Kualitas Sanad Shahih, Hasan dan Dha’if ” Penyusun mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat :
1.
Bapak Nurul Amin M.Ag Selaku Rektor STAI Muhammadiyah
Tulungagung.
2. M. Asep Fathur RoziM.Pd.I selaku Dosen
Pembimbing kami dalam pembuatan makalah
ini.
3.
Serta
teman-teman yang telahbanyakmembantu dalammenyelesaikanmakalahini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Untuk itu dengan kerendahan hati,kami mengharap kepada semua pihak
segala kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulilah atas selesainya
masalah yang kami buat ini, teriringi doa semoga bermanfaat bagi penyusun
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Tulungagung, 20April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR
ISI .............................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah.............................................. 1
B.
Rumusan Masalah....................................................... 1
C.
Tujuan Masalah........................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Hadist shahih.............................................................. 2
B.
Hadist hasan................................................................ 3
C.
Hadist dhoif................................................................ 4
1. Hadist Mursal......................................................... 4
2. Hadist Muqathi’..................................................... 5
3. Hadist Mu’dhal...................................................... 5
4. Hadist Mudallas..................................................... 5
5. Hadist Mudhtharib................................................. 7
6. Hadist Maqluub...................................................... 7
7. Hadist Syaadz........................................................ 7
8. Hadist Munkar....................................................... 8
9. Hadist Matruuk...................................................... 8
10. Hadist Mu’allal..................................................... 8
BAB III: PENUTUP
KESIMPULAN................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................ 11
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang berbagai
kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam
ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan
dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian
orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya segi pandangan saja.Misalnya hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan
matannya yang tentu peninjauan inti tersebut adalah bagaimana derajat hadist
itu sendiri.Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini
kami akan membahas pembagian hadits dari segi kualitas sanad baik dia shahih,
hasan ataupun dha’if.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud pembagian hadits dari segi kualitas sanad?
2. Apa
yang dimaksud dengan hadits Shahih, Hasan atau Dha’if itu?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar
kita mengetahui pembagian hadits dari segi kualitas sanad.
2. Agar
kita bisa memahami secara rinci apa itu yang dimaksud dengan hadits Shahih,
Hasan ataupun Dha’if.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih
1.
Definisi Hadits Shahih
Kata
“Shahih” dalam bahasa diartikan orang
sehat antonim dari kata “as-saqim”
orang yang sakit, jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan
benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Hadits yang bersambung sanad (jalur
transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dhabth, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur
transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz
(kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).[1]
Atau
bisa disimpulkan juga bahwa hadits shahih adalah hadits yang sanadnya muttashil
(bersambung) melalui periwayatan para perawi yang ‘adil, dhabth
dan mutqin di setiap thabaqahnya hingga berakhir ke ujung sanadnya,
terbebas dari berbagai penyakit seperti syaadz (keganjilan) ataupun mu’allal
(mempunyai cacat atau ‘illat).
Hadits
shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatihi dan shahih
lighairihi.Shahih lidzatihi (dalam bahasa Indonesia bermakna :
shahih dengan zatnya) yaitu hadits yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan
yang telah disebutkan diatas, atau dengan kata lain, ia memang telah shahih
dengan sendirinya tanpa bantuan penguat dari jalur lain. Adapun shahih
lighairihi (bermakna : shahih dengan selainnya) yaitu hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat diatas secara maksimal seperti misalnya diantara para
perawinya ‘adil namun ada yang kurang dhabth atau kurang mutqin,
dan ia dikuatkan oleh perawi lain yang satu thabaqah dengannya dari jalur yang
lain, jadi ia shahih dengan bantuan penguat dari jalur lain.
Diantara
syarat-syarat perawi ‘adil, yaitu ia haruslah beragama Islam, telah baligh,
berakal atau mumayyiz, selamat dari sifat fasiq dan selamat dari
kebiasaan-kebiasaan yang tidak Islami. 3 syarat pertama diwajibkan ketika ia
menyampaikan hadits, adapun untuk menerima hadits maka tidak disyaratkan ia
telah baligh dan mumayyiz.Dan kedhabithan para perawi hadits
terbagi menjadi dua, yaitu dhabth hapalan (hifzh), maksudnya
adalah ia menguasai hadits dengan hapalan-hapalannya. Yang kedua adalah dhabth
kitab, maksudnya adalah ia menguasai hadits dengan bantuan catatan-catatannya
atau kitabnya. Oleh karena itu kerapkali kita temukan perkataan para ulama
ketika men-jarh wa ta’diil mengenai seorang perawi, “Fulan shahih jika
meriwayatkan dari kitabnya, adapun dari hapalannya maka ia dha’iif,” dan
sebaliknya.
Kelemahan
untuk kedhabithan jenis pertama adalah jika perawi tersebut mengalami penurunan
kualitas hapalan di akhir umurnya atau beberapa tahun sebelum wafatnya,
biasanya karena ikhtilaath yaitu hapalannya bercampur baur sehingga ia
sulit membedakan mana hadits yang ia riwayatkan mana hadits yang diriwayatkan
orang lain, dan juga karena taghayyur yaitu hapalannya berubah. Oleh
karenanya, para ulama membuat kaidah untuk para perawi tsiqah yang
mengalami hal ini yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan darinya sebelum ia
mengalami ikhtilaath atau taghayyur maka hadits-haditsnya
bisa diterima, adapun untuk hadits-hadits yang diriwayatkan darinya setelah ia ikhtilaath
atau taghayyur maka haditsnya tidak dijadikan hujjah kecuali dengan
adanya penguat dari jalur lain.
Sedangkan
kelemahan untuk dhabith jenis kedua adalah jika kitab-kitabnya
tersebut terbakar atau dicuri orang, maka ia pun tidak bisa lagi membedakan
mana hadits-haditsnya, mana hadits orang lain, akibatnya hapalannya pun menjadi
bercampur-baur karena ia sangat menggantungkan hapalannya kepada kitab-kitabnya
tersebut.[2]
B. Hadits Hasan
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang
bermakna indah.[3]Definisinya
adalah hadits yang sanadnya muttashil melalui periwayatan para perawi ‘adil
namun lebih rendah dari sisi dhabth atau mutqin, dan terbebas
dari segala macam syaadz atau ‘illat.Sebagaimana hadits
shahih, maka hadits hasan pun terbagi lagi menjadi dua, yaitu hasan
lidzatihi dan hasan lighairihi.Hasan lidzatihi yaitu
hadits hasan yang telah memenuhi persyaratan yang telah disebutkan diatas atau
dengan kata lain ia adalah hadits hasan dengan sendirinya tanpa memerlukan
bantuan penguat dari jalur lain. Adapun hasan lighairihi yaitu hadits
yang didalamnya terdapat perawi majhuul (tak dikenal,) atau jujur
namun sering melakukan kesalahan ataupun perawi yang kadar kelemahannya ringan,
namun ia mendapatkan penguat dari jalur lain, bisa dari perawi yang lebih tsiqah
darinya ataupun yang sederajat dengannya, jadi hadits hasan lighairihi
asalnya adalah hadits dha’if yang naik menjadi hasan karena ia dibantu dari
jalur lainnya, namun jika ia tidak ada penguat maka ia tetap dalam
kedha’ifannya.
Hadits
hasan dengan kedua jenisnya diatas dapat dijadikan hujjah dan diamalkan
sebagaimana hadits shahih walaupun kekuatan hujjahnya berada dibawah hadits
shahih. Adapun prasangka sebagian orang pada masa kini bahwa dengan banyaknya
jalur periwayatan maka ia bisa menaikkan hadits dha’if menjadi hasan atau
shahih, maka perkataan ini harus diteliti lebih lanjut, dikarenakan perawi
pendusta (kadzdzab) ataupun perawi yang disepakati untuk ditinggalkan
hadits-haditsnya (matruuk atau muttaham bil kadzib),
hadits-hadits mereka tidaklah bisa dijadikan penguat. Oleh karena itu jika sebuah
hadits dha’if yang ia punya banyak jalur periwayatan namun dalam sanadnya diisi
oleh perawi-perawi pendusta ataupun matruuk, maka jalur-jalur ini
tidak bisa saling menguatkan, malah ia akan semakin mengukuhkan kelemahan
hadits tersebut.
C. Hadits Dha’if
Definisinya
adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hasan.
Adapun klasifikasi hadits-hadits dha’if baik dari sisi penelitian sanad maupun
matan, maka ia terbagi menjadi banyak jenis, kami akan sebutkan secara ringkas,
diantaranya adalah :
1. Hadits
Mursal
Definisinya adalah sebuah hadits yang dimarfu’kan oleh
seorang tabi’in kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa
menyebutkan perantara sahabat yang meriwayatkan kepada tabi’in tersebut.Hadits
mursal dihukumi dha’if namun para ulama berbeda pendapat apakah ia bisa
dijadikan hujjah atau tidak. Abu Haniifah dan Maalik berpendapat boleh
dijadikan hujjah secara mutlak, sedangkan An-Nawawiy menyebutkan bahwa hadits
mursal tidak boleh dijadikan hujjah secara mutlak, dan ini adalah pendapat
Asy-Syaafi’iy serta mayoritas ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh, ada pula
yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan hujjah jika ia diperkuat
dari jalur musnad yang lain.
2. Hadits Munqathi’[4]
Definisinya adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu
orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau bisa jadi munqathi’ karena ada
perawi yang mubham (tidak disebutkan namanya, biasanya hanya disebutkan “dari
seorang laki-laki)
Apa beda inqitha’ (terputus)dengan irsal?
Secara umum
tidak ada bedanya, namun biasanya para ulama membedakan irsal dengan inqitha’
yaitu irsal dari sisi gugurnya perawi pada thabaqah
(tingkatan dari para perawi hadits) sahabat, sementara inqitha’ tidak ada
batasan thabaqah, walaupun para prakteknya seringkali para ulama menyebut
hadits munqathi’ dengan hadits mursal[5].
3. Hadits Mu’dhal
Definisinya adalah
hadits yang dalam sanadnya gugur dua orang perawi atau lebih secara
berturut-turut.
4. Hadits Mudallas
Definisinya adalah hadits yang didalam sanadnya terdapat
seorang perawi yang melakukan tadlis, yaitu ia menyembunyikan perantara syaikh
yang ia mengambil riwayat darinya namun ia langsung menyebutkan syaikh yang
diambil riwayatnya dari syaikhnya tersebut. Gambaran singkatnya adalah :
Fulan A —>
Syaikh B —> Syaikh C
Fulan A
melakukan tadlis, maka menjadi :
Fulan A —>
Syaikh C, Fulan A tidak menyebutkan Syaikh B yang menjadi perantaranya.
Tadlis ini
termasuk jenis ‘illat hadits tersamar yang tidak semua orang bisa mengetahuinya
karena mudallis biasanya menggunakan lafazh yang tidak mengisyaratkan secara
pasti bahwa ia mendengar, seperti misalnya lafazh ‘an’anah (‘an = dari). Jenis
‘illat ini hanya bisa diketahui oleh para ulama hadits yang mengenal para
perawi dengan baik termasuk mengenal kebiasaan-kebiasaan mereka ketika
meriwayatkan suatu hadits dari syaikhnya.
Tadlis terbagi menjadi dua jenis :
a. Tadliis Al-Isnaad, yaitu seorang perawi yang berkata
bahwa ia meriwayatkan dari orang yang semasa dengannya namun perawi tersebut
tidak pernah bertemu dengan orang itu, atau mereka pernah bertemu namun hadits
yang ia riwayatkan itu tidak didengarnya dari orang tersebut melainkan dari
orang lain. Biasanya perawi yang melakukan tadlis jenis ini
menggunakan lafazh yang mengisyaratkan dugaan mendengar langsung, misalnya, “Qaala
Fulaan (Fulan berkata)”, “‘An Fulaan (dari Fulan)”. Seandainya
perawi mudallis mengatakan “haddatsani fulaan (telah
menceritakan kepadaku fulan),” pada riwayat yang ia tidak mendengarnya
langsung, maka ini artinya ia telah berdusta dan ia bukan lagi termasuk perawi mudallis
namun jatuh kepada derajat kadzdzab dan haditsnya jelas tertolak.
Termasuk dalam jenis tadlis
sanad ini adalah tadlis taswiyah, yaitu seorang perawi yang
menggugurkan syaikhnya atau syaikh dari syaikhnya, bisa karena kedha’ifan
syaikhnya tersebut, atau karena ia mendengarnya dari seorang yang masih kecil,
dan buruknya adalah perawi mudallis ini menyamaratakan sanadnya
seakan-akan ia bertemu langsung dengan para syaikh yang tsiqah. Para ulama
mengecam jenis tadlis ini sebagai jenis tadlis terburuk,
bahkan Syu’bah bin Al-Hajjaaj berkata, “Andaikan aku berzina maka itu lebih
kusukai dibandingkan aku berbuat tadlis.” Perkataan beliau ini
menunjukkan tercelanya tadlis walaupun tidak bisa dikatakan mereka telah
berdusta. Diantara para perawi yang kerapkali melakukan tadlis ini
adalah Al-Waliid bin Muslim dan Baqiyyah bin Al-Waliid.
b. Tadliis Asy-Syuyuukh, yaitu perawi yang menyamarkan nama
syaikhnya dengan hanya menyebutkan nama kuniyahnya, laqabnya atau nisbatnya
atau memberi sifat yang tidak dikenal. Tadlis ini lebih ringan
dibanding jenis tadlis pertama karena perawi tidak menggugurkan syaikhnya
melainkan ia hanya menyamarkan sehingga tidak diketahui orang, namun pada
asalnya tetap tercela karena ini menyulitkan pengecekan keshahihan hadits
dikarenakan tersembunyinya jati diri syaikhnya. Dan tingkat celanya akan
menjadi buruk apabila diketahui bahwa syaikhnya tersebut ternyata dha’if.Para
ulama telah mengklasifikan perawi-perawi mudallis ini ke dalam
berbagai tingkatan mulai dari yang jarang melakukan tadlis hingga ke
yang berat. Contoh kitab yang membahas ini adalah kitab karya Al-Haafizh Abul Fadhl
Ibnu Hajar, yaitu Thabaqaatul Mudallisiin atau nama lainnya Ta’riifu
Ahlut Taqdiis. Dalam kitabnya ini, beliau rahimahullah menyusun
thabaqah para mudallis mulai dari thabaqah pertama yaitu perawi yang
sangat jarang melakukan tadlis hingga thabaqah kelima yaitu perawi yang memang dha’if
sehingga bila ia melakukan tadlis atau menyatakan dengan jelas
penyimakannya, riwayatnya tetap tertolak. Silahkan untuk merujuk ke kitab
tersebut untuk keterangan lengkapnya.
5. Hadits Mudhtharib
Definisinya adalah hadits yang diriwayatkan dengan perbedaan pada sanad
atau matannya (atau bisa kedua-duanya) yang tidak memungkinkan untuk ditarik tarjih
sebagian atas sebagian yang lain. Jika dalam suatu kasus hadits tersebut bisa
dilakukan tarjih, maka namanya bukan lagi mudhtharib namun
namanya menjadi rajiih (untuk hadits yang ditarjih) dan marjuuh
(untuk hadits yang tertolaknya).
6. Hadits Maqluub
Definisinya
adalah hadits yang mengalami pemutarbalikkan pada matannya, nama salah satu
perawi dalam sanadnya, atau bisa juga terputar baliknya suatu sanad untuk matan
yang lain. Contoh hadits maqluub yang terbalik pada matannya adalah
pada hadits, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tiada
naungan kecuali naunganNya…,” hingga pada matan, “…Dan seseorang yang
bersedekah lalu ia menyembunyikannya sampai tangan kanannya tidak mengetahui
apa yang diinfakkan oleh tangan kirinya.” Redaksi matan inilah yang disusun
terbalik karena seharusnya, “…Sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
diinfakkan oleh tangan kanannya.”
7. Hadits Syaadz,
Definisinya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang maqbuul namun iamenyendiri (tafarrud)
atau menyelesihi (mukhalafah) riwayat perawi yang lebih tsiqah
darinya. Contoh hadits syaadz adalah, “Setiap anak tergadaikan dengan
aqiqahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh dan rambutnya dicukur, dan dilumuri dengan darah,” perawi pada
hadits ini yaitu Hammaam bin Yahyaa (ia tsiqah), menyelisihi
perawi-perawi tsiqah lain yang meriwayatkan dari Qataadah dengan
lafazh “yusamma (diberi nama),” dan Hammaam menyendiri didalam
meriwayatkan lafazh “yudamma (dilumuri darah).” Demikianlah yang
dijelaskan Al-Imam Abu Daawud dalam sunannya. Hadits syaadz jika bisa
ditarjih maka hadits yang rajih disebut mahfuuzh dan yang marjuuh
itulah disebut syaadz.
8. Hadits Munkar
Definisinya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang mana ia
berbeda dengan perawi-perawi yang tsiqah. Kriterianya sama dengan
hadits syaadz yaitu adanya tafarrud dan atau mukhalafah
dari perawi-perawi yang tsiqah, hanya saja bedanya jika hadits syaadz
berasal dari perawi yang juga tsiqah, hadits munkar berasal dari
perawi yang dha’if. Hadits munkar jika ia diselisihi oleh hadits dari
perawi tsiqah, maka hadits dari perawi tsiqah inilah yang diambil dan
ia disebut hadits ma’ruuf, adapun yang marjuuh maka itulah
yang disebut munkar.
9. Hadits Matruuk
Disebut matruuk yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang berstatus “muttaham bil
kadzib” (tertuduh berdusta), bisa karena ia diketahui sering berdusta baik
ketika sedang meriwayatkan hadits Nabi maupun dalam kehidupan sehari-harinya,
terlihat kefasikannya melalui perbuatan atau kata-katanya, atau karena para
ulama sepakat meninggalkan hadits-haditsnya (matruukul hadiits).
Hadits jenis ini termasuk ke dalam golongan hadits dha’iif jiddan
(lemah sekali) dan ia merupakan tingkat hadits dha’if terendah, dan harus pula
kita perhatikan bahwa hadits yang dikategorikan jenis ini tidak bisa dijadikan
hujjah baik untuk fadhilah amal ataupun menjadi penguat.
10. Hadits Mu’allal
Hadits yang secara zhahir terlihat shahih baik
dari sisi sanad maupun matannya, namun setelah diteliti melalui penelitian yang
seksama, ternyata ia mempunyai cacat tersembunyi yang menjatuhkan keshahihan
hadits tersebut menjadi dha’if. Hadits jenis ini dikatakan mempunyai ‘illat,
atau secara ilmu musthalah disebut hadits Mu’allal. Pada intinya jenis
hadits-hadits yang telah kami sebutkan diatas termasuk dalam kategori mu’allal
karena tidaklah ‘illat hadits itu muncul melainkan dikarenakan adanya
irsal, inqitha’, tadliis, maqluub, idhtiraab, syaadz dan lain-lain.Ilmu ‘Ilal
hadits termasuk dalam cabang ilmu hadits yang paling rumit dan paling
tinggi ma’rifahnya dikarenakan tidak sembarangan orang bisa mengetahui cacat
tersembunyi dari suatu hadits melainkan ia haruslah dari kalangan ulama
kritikus yang haafizh lagi mutqin, mempunyai ma’rifah yang
tinggi terhadap para perawi hadits, cermat dalam meneliti dan mengetahui
sanad-sanad juga matan-matan hadits. Diantara para ulama yang menguasai bidang
ini adalah Syu’bah bin Al-Hajjaaj, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Ahmad bin
Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, ‘Aliy bin Al-Madiiniy, Al-Bukhaariy, Abu Daawud
As-Sijistaaniy, An-Nasaa’iy, Abu Haatim dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy, Abul Hasan
Ad-Daaruquthniy dan lain-lain –rahimahumullah-. Mereka telah menyusun
kitab-kitab ‘ilalul hadiits yang khusus menghimpun hadits-hadits
mu’allah didalamnya, ataupun kitab-kitab tersebut disusun oleh para murid
mereka yang kadang juga terhimpun dalam kitab-kitab su’aalaat yaitu kitab yang
berisi kumpulan tanya jawab mereka dengan para muridnya tersebut mengenai
status perawi, sanad hadits, taariikh perawi dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang berbagai
kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam
ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan
dipelajari, terutama masalah ilmu hadits. Misalnya hadits ditinjau dari segi
kualitas sanad dan matannya yang tentu peninjauan inti tersebut adalah
bagaimana derajat hadist itu sendiri.
Pembagian hadits dari segi kualitas sanad dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
shahih, hasan dan
dha’if. hadits shahih adalah hadits yang
sanadnya muttashil (bersambung) melalui periwayatan para perawi yang ‘adil,
dhabth dan mutqin di setiap thabaqahnya hingga berakhir ke
ujung sanadnya, terbebas dari berbagai penyakit seperti syaadz
(keganjilan) ataupun mu’allal (mempunyai cacat atau ‘illat).
Hadist Hasan adalah hadits yang
sanadnya muttashil melalui periwayatan para perawi ‘adil
namun lebih rendah dari sisi dhabth atau mutqin, dan terbebas
dari segala macam syaadz atau ‘illat.
Hadist dhaif adalah hadits yang
tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hasan. Hdis dhaif dibagi menjadi beberapa yaitu; hadist mursal,
hadist muqathi’, hadist mu’dhal, hadist mudallas, hadist mudhtharib, hadist
maqlub, hadsit syaadz, hadist munkar, hadist matruuk, dan hadist mu’allal.
DAFTAR PUSTAKA
Alaan, ibnu. PEMBAGIAN HADIS DARI
SEGI KUALITAS SANAD, http://ibnualaan07.blogspot.co.id/2012/10/jumat-10-juni-2011-pembagian-hadis-dari.html ,10/08/2012
08:26:00 PM
Ahmad,Abu. Ringkasan
Daurah Musthalahul Hadits (bagian 2), December 8, 2013 oleh Al-Ustadz
Abu Yahyaa Badrussalam, Lc -hafizhahullah- di masjid Al-Barkah, Cileungsi, pada
hari Ahad, 27 Muharram 1435 H .https://muhandisun.wordpress.com/2013/12/08/ringkasan-daurah-musthalahul-hadits-bagian-2/
Muhammad Abduh Tuasikal, Apakah Hadits Mursal Bisa Dijadikan Hujjah?
,https://rumaysho.com/1088-apakah-hadits-mursal-bisa-dijadikan-hujjah.htmlJun 18, 2010.
[1]
. ibnu alaan, PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS
SANAD, http://ibnualaan07.blogspot.co.id/2012/10/jumat-10-juni-2011-pembagian-hadis-dari.html , 10/08/2012
08:26:00 PM
[2] . Abu Ahmad ,Ringkasan
Daurah Musthalahul Hadits (bagian 2), December 8, 2013oleh Al-Ustadz
Abu Yahyaa Badrussalam, Lc -hafizhahullah- di masjid Al-Barkah, Cileungsi, pada
hari Ahad, 27 Muharram 1435 H, dengan beberapa penambahan dari kami yang tidak
mengubah esensi tema.https://muhandisun.wordpress.com/2013/12/08/ringkasan-daurah-musthalahul-hadits-bagian-2/
[3]
. ibnu alaan, PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS SANAD, http://ibnualaan07.blogspot.co.id/2012/10/jumat-10-juni-2011-pembagian-hadis-dari.html , 10/08/2012 08:26:00 PM
[4] . Al-Hafizh
Ibnu Abdil Barr, berkata “Hadis Munqati adalah
setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi
SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”http://www.zulfanafdhilla.com/2013/10/pengertian-hadits-munqathi.html , Jan29,2016.
[5] . Hadits mursal masuk dalam pembahasan hadits-hadits
yang terputus sanadnya.Secara istilah, hadits mursal berarti hadits yang di akhir sanad, yaitu di atas tabi’in terputus. Muhammad Abduh Tuasikal, Apakah Hadits Mursal Bisa Dijadikan Hujjah?,https://rumaysho.com/1088-apakah-hadits-mursal-bisa-dijadikan-hujjah.htmlJun
18, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar