MAKALAH
PERKEMBANGAN MAJELIS TARJIH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
KEMUHAMMADIYAHAN
DOSEN : Drs. H. Masrun, SH, M.Pd
Oleh:
KHOIRIYAH
MUHAMMAD HAMKA SAFI’I
YUSUUF ARIFIN
PAI B / II
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
Maret 2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH Subhaanahu
Wata’aalaa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang di ajukan untuk memenuhi salah satu mata tugas kuliah “Kemuhammadiyahan” di STAIM Tulungagung.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam yang telah membimbing kita dari jaman
jahiliah munuju ke zaman terang yakni agama islam.
Dengan selesainya makalah ini dengan judul “Perkembangan Majelis Tarjih Pendidikan Muhammadiyah” Penyusun mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1.
Bapak Nurul Amin M.Ag Selaku Rektor STAI Muhammadiyah
Tulungagung.
2. Drs. H. Masrun, SH, M.Pd selaku Dosen Pembimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
3.
Serta
teman-teman yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Untuk itu dengan kerendahan hati,kami mengharap kepada semua pihak
segala kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulilah atas selesainya
masalah yang kami buat ini, teriringi doa semoga bermanfaat bagi penyusun
khususnya pembaca pada umumnya.
Tulungagung, 27 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR
ISI .............................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah.............................................. 1
B.
Rumusan Masalah....................................................... 2
C.
Tujuan Masalah........................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Sejarah Majelis
Tarjih Muhammadiyah ...................... 3
B.
Awal Munculnya
Lembaga Pendidikan
di Muhammadiyah...................................................... 5
C.
Cara
Penyelenggaraan Pendidikan Muhammadiyah .. 7
BAB III: PENUTUP
KESIMPULAN................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai sebuah gerakan Islam yang lahir pada tahun 1912
Masehi dan kini hampir memasuki usia 100 tahun, telah banyak yang dilakukan
oleh Muhammadiyah bagi masyarakat dan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga
harus diakui bahwa Muhammadiyah memiliki kontribusi dan perhatian yang cukup
besar dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah untuk menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,
Persyarikatan Muhammadiyah telah menempuh berbagai usaha meliputi bidang
dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya, yang secara
operasional dilaksanakan melalui berbagai institusi organisasi seperti majelis,
badan, dan amal usaha yang didirikannya.
KH. Ahmad Dahlan
merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem pondok
dan gaya pendidikan barat yang dikemas untuk menyebarkan agama islam demi mencetak
manusia yang mempunyai landasan gerakan tajdid dan tanzih dalam koridor Islam
yang dikembalikan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, serta mengesampingkan status
sosial maupun fasilitas yamg ada.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa tujuan KH. Ahmad Dahlan
Mendirikan Muhammadiyah?
2.
Bagaimana Majelis Tarjih itu terbentuk?
3.
Seperti apa Sistem Pendidikan
Muhammadiyah itu?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Agar bisa mengetahui lebih jauh
tujuan KH. Ahmad Dahlan Mendirikan Muhammadiyah.
2.
Agar kita bisa Mengetahui Sejarah
Berdirinya Majelis Tarjih.
3.
Agar kita bisa Memahami Sistem Pendidikan
yang telah dilakukan oleh Organisasi Muhammadiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
Cita-cita
pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang
mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran
murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun
1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual
melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Sang Kyai menjelaskan
surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu
menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong
fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti
dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem
pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan. Sebenarnya,
yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan
perombakan atau etos pembaruan serta pengambilan dalil yang rajih (dalil yang
paling shahih) sebagai pedoman, untuk itu pula Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih
sebagai pencapaian untuk mendekati kebenaran yang bersumberkan pada Al-Qur’an
dan As-sunnah.
A. Sejarah Majelis Tarjih Muhammadiyah
KH. Ahmad
Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan di Yogyakarta
tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan Khatib Masjid Besar
Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim penghulu besar di
Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya menjadi khatib
masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat praktek-praktek agama yang tidak
memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton, sehingga membangkitkan sikap
kristisnya untuk memperbaiki keadaan.
Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada mulanya bersifat lokal, tujuannya
terbatas pada penyebaran agama di kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran
Dasarnya yang asli berbunyi (dengan ejaan baru):
Maka
perhimpunan itu maksudnya
adalah :
a.
Menyebarkan pengajaran Agama Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada
penduduk Bumiputra di dalam residentie Yogyakarta.
b.
Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Berkat
kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin organisasinya, maka dalam waktu
singkat organisasi itu mengalami perkembangan pesat sehingga tidak lagi
dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh Jawa dan
menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.
Majlis Tarjih
didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah ke- XVI pada
tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur. Fungsi dari majlis ini adalah
mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti
sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak
terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan
sendirinya didasarkan atas syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses
pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini berusaha untuk
mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits,
baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di masyarakat tetapi
masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan
masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan
hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung, bank dan lain-lain.[[1]]
B.
Awal Munculnya Lembaga Pendidikan
di Muhammadiyah
Lahirnya pendidikan Muhammadiyah yang modern tidak lepas
dari sejarah pada Dasawarsa terakhir abad 19 Pemerintah Belanda memulai system
pendidikan liberal di Indonesia. Pendidikan ini diperuntukkan bagi sekelompok
kecil orang Indonesia, sehingga tahun 1870 mulai tersebar jenis pendidikan
rakyat, yang berarti juga diperuntukkan bagi umat Islam Indonesia. Perluasan
pendidikan ke pedesaan yang diperuntukkan seluruh lapisan masyarakat, baru
dilaksanakan pada awal abad ke 20 dengan apa yang dinamakan ethise politiek,
sebagai akibat dari desakan kaum ethis yang berorientasi humanistic agar
pemerintah colonial juga mulai memperhatikan rakyat pribumi di negeri jajahannya
(steenbrink 1986 : 23; Kartodirjo, 1999:30)
Pada masa pemerintahnya (Belanda) terdapat model 4 model
perskolahan belanda yaitu :
a.
Sekolah Eropa yang menampung anak birokrat Hindia Belanda. Dan kurikulumnya
sama dengan negeri Belanda
b.
Sekolah Barat Sekolah yang menampung anak-anak yang berwarga Negara Belanda
c.
Sekolah Vernakuler Sekolah yang di desain oleh belanda demi kepentingan mereka
sendiri
d.
Sekolah Pribumi, system sekolah yang ada di luar kendali Belandasekolah-sekolah
yang di dirikanoleh lembaga agama
Sistem sekolah ini telah melahirkn jurang pemisah yangmakin
melebar antara Belanda dengan penduduk pribumi. Di samping itu juga Pendidikan
Islam yang berbasis di Pesantren tidak saja kontras dengan pendidikan colonial
tetapi juga kontras dengan system didaktik-pedagogisnya. Pendidikan Islam
tertinggal dan tidak dapat memberikan perspektif –perspektif k depan.
Menghadapi realitas sistem pendidikan Barat dan Islam yang
dualistic ini, ahmad Dahalan mencoba mengatasi dengan cara perpaduan model
sebagai jalan engah dari kebutuhan sistem yang ada. Upaya kompromi ini diawali
dengan mengidentifikasi masalah yang di hadapi umat Islam pada wakti itu dan
dipandang perlu segera mendapatkan jawaban dalam bidang pendidikan.
Untuk mensosialisasikan gagasan pembaruannya dalam bidang
pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba memulai dengan membimbing berbeapa orang
keluarge dekat serta beberapa sahabatnya. Tempat yang pertama kali digunakan
untuk menyampaikan gagasan-gagasannya adalah pengajian-pengajian dan
tempat-tempat lain di mana ia memberikan pelajaran. Setelah upaya dalam
menyampaikan benih-benih pembaruan diduga membuahkan hasil sehingga dibuat
wadah untuk menampung gagasan tersebutyaitu “Pergerakan Muhammadiyah”.
Dari sejarah ini dapat dipahami bahwa : Pertama, Pendidikan
Muhammadiyah lahir adalah dalam keadaan suasana pendidikan umat yang
memperihatinkan, terutama pendangkalan nilai-nilai Islam dalam suatu proses
penjajahan yang mengarah ke sekluerisasi. Kedua, cikal bakal Pendidikan Muahmadiyah
Pendidikan Muhammadiyah adalah pengajian-pengajian dengan suasanan
kesederhanaan yang langsung dibimbing Ahmad Dahlan. Ketiga, untuk mewujudkan
cita-cita Pembaruan dalam pendidikan ini, Ahmad Dahlan dengan kesungguhannya
dan secara terus menrus menanamkam benih-benih pembaruan baik melalui sekolah
di mana ia mengajar maupun ceramah-ceramahnya. Pada proses selanjutnya,
pendidikan Muhammadiyah ini berkembang dengan pesat, sekaligus mempunyai
spesifik, yaitu sistem pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan
ilmu pengetahuan agama. Pendidikan Muhammadiyah tumbuh dan berkembang seiring
dengan dinamika masyarakat.[[2]]
Pesatnya perkembangan Pendidikan Muhammaadiyah ini juga
dibuktikan dengan beberapa sekolah yang tertua yaitu :
a.
Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta
b.
Muallimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta.
c.
Muallimat Muhammadiyah, Yogyakarta
d.
Zu’ama/Za’imat, Yogyakarta
e.
Kulliyah Mubalighin/Mubalighot, Sumatera Tengah
f.
Tablighscool, Yogyakarta
g.
H.I.K Muhammadiyah Yogyakarta.
h.
Wustho Muallimin.[[3]]
C.
Cara
penyelenggaraan Pendidikan Muhammadiyah
Sejarah perjalanan dan kiprah tokoh pendiri Muhammadiyah
dalam membangun dan mengelolah Pendidikan Muhammadiyah pada masa awal
berdasarkan hal-hal berikut:
Pertama,
dari sudut pandang sejarah, dapat diperhatikan bagaimana generasai awal
Muhammadiyah membangun Pendidikannya dengan mekanisme bottom up. Aspek
sosiologis agaknya jadi pertimbangan penting dalam desain pendidikan
Muhammadiyah. Semua amal usaha (pendidikan) Muhammadiyah didirikan atas
prakarsa umat dari bawah. Tidak satupun institusi Pendidikan Muhammadiyah yang
dibangun berdasarkan surat keputusan (SK) atau instruksi dari kantor pimpinan
pusat (Suyanto, 2003:93). Dengan kata lain by birth, demokratisasi
sistem pendidikan dalam tahapan tertentu sudah terwujud, karena pendidikan
Muhammadiyah lahir dari dan untuk “umat” Muhammadiyah.
Kedua,
sistem pendidikan yang berbeda dari umumnya sistem pendidikan yang ada di
masyarakat sehingga menjadi pendidikan alternative. Desain awal pendidikan
Muhammadiyah berangkat dari motivasi teologis yang kuat; yaitu manusia akan
mencapai derajat keimanan dan ketaqwaan yang sempurna jika memiliki kedalaman
ilmu pengetahuan (Mu’ti, 2003 : 103). Inilah yang kemudian menjadi garis
pembeda antara out put pendidikan Muhammadiyah dengan out put pendidikan
konvesional barat dan pendidikan tradisonal. Eksistensi pendidikan Muhamadiyah
pada waktu itu memiliki nilai tawar yang tinggi karena mampu melhirkan generasi
yang “lebih sempurna”.
Ketiga,
oreintasi ke depan dalam penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyh berorientasi
mempersiapkan lulusannya untuk memasuki Indonesia baru yang merdeka dengan
segala modernitasnya. Dengan perkataan lain, Pendidikan Muhammadiyah harus
menyiapkan anak didiknya agar tetap survive di masa yang akan datang. Karena masa
yang akan datang tentu akan berbeda dengan masa yang sekarang.
Keempat,
pengorbanan baik pikiran, tenaga maupun harta. Pada umumnya pada perintisan
pendidikan Muhammadiyah adalah orang yang sadar akan panggilan perjuangan.
Mereka berkorban untuk kepentingan pengembangan pendidikan, amal usaha
Muhamadiyah yang diharapkan menjadi penyangga masa depan gerakan. Pengemabngan
Pendidikan Muhammadiyah mesti mempertimbangkan aspek nilai dan aspek spirit
perjuangan tokoh-tokoh terdahulu, mewarisi keteladanan mereka dengan tetap
mempertimbangkan propesionalisme dalam pengelolaannya, sejalan dengan tuntutan
zaman.
Pada intinya, penyelenggaraan pendidikannya dilakukan oleh Majelis
Penyelenggara, dan pengelolaan teknisnya dilaksanakan oleh kepala sekolah
masing-masing,” ucap Abdul Mu’ti.
Lebih jauh Abdul Mu’ti mengungkap,
“Dalam pengelolaan lembaga pendidikan dan sekolah di Muhammadiyah, dijalankan
konsep sentralistik konsultatif.” Dalam
pengertian bahwa pengembangannya tak bisa dilakukan secara terpisah-pisah tanpa
melibatkan pimpinan persyarikatan. Hingga dalam proses seleksi dan pengangkatan
guru, tak sepenuhnya dilakukan oleh kepala sekolah, melainkan melibatkan
Majelis Dikdasmen dan Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah.[[4]]
1. Pembaharuan dan Inovasi dalam Bidang
Pendidikan.
Dalam kegiatan
pendidikan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah mempelopori dan
menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi
Muhammadiyah, yang berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih
dalam, pendidikan mempunyai arti penting, karena melalui inilah pemahaman
tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.
Pembaharuan
pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik
pengajaran.
a. Dari segi
cita-cita, yang dimaksud K.H. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim
yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
b. Adapun teknik,
adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.
Gagasan
pendidikan Muhammadiyah adalah untuk mendidik sejumlah banyak orang awam dan
meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dalam usaha merealisasi gagasan tersebut,
Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan Ahmad Dahlan, telah berusaha keras untuk
mengawinkan antara dua sistim pendidikan, pesantren (pendidikan agama pedesaan
di bawah tuntunan kyai/ulama) dan sekolah model barat, dengan menghilangkan
kelemahan dari keduanya. Menurut Muhammadiyah, pendidikan pesantren tradisional
membutuhkan waktu terlalu banyak bagi santri untuk menyelesaikannya, juga
kurang adanya sistim kelas atau penjenjangan. Pesantren biasanya hanya terbatas
pada sejumlah kecil mata pelajaran tertentu, sehingga santri harus memasuki dan
tinggal di beberapa pesantren agar sempurna ilmunya. Pesantren tradisional
tidak cukup membekali santrinya dalam memecahkan masalah-masalah keduniawian,
karena lembaga-lembaga tersebut tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran sekuler.
Di pihak lain, pendidikan model Barat hanya mengajarkan ketrampilan praktis,
pengetahuan dan ilmu umum, tetapi tidak mengajarkan ketrampilan akhlak, budi
pekerti, dengan bersandar kepada ajaran Islam. Muhammadiyah merasa perlu
menggabungkan keduanya : pendidikan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.
Atau dengan kata lain, bahwa dengan sistim pendidikannya itu, Muhammadiyah
ingin membentuk ulama intelek dan atau intelek yang ulama.
Dengan
mengambil unsur-unsurnya yang baik dari sistim pendidikan Barat dan sistim
pendidikan tradisional, Muhammadiyah berhasil membangun sistim pendidikan
sendiri, seperti sekolah model Barat, tetapi dimasuki pelajaran agama di
dalamnya, sekolah dengan menyertakan pelajaran sekuler, bermacam-macam sekolah
kejuruan dan lain-lain.
Sedang dalam
cara penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi dilaksanakan di
masjid atau langgar, tetapi di gedung khusus, yang di lengkapi dengan meja,
kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai.
Selain
pembaharuan dalam lembaga pendidikan formal, Muhammadiyah pun telah memperbaharui
bentuk pendidikan tradisional non formal, yaitu pengajian. Semula pengajian di
lakukan di mana orang tua atau guru privat mengajar anak-anak kecil membaca
Al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah diperluas dan pengajian
disistematiskan ke dalam bentuk pendidikan agama non formal, di mana pesertanya
lebih banyak juga isi pengajian diserahkan pada masalah-masalah kehidupan
sehari-hari umat Islam.
Begitu pula
Muhammadiyah dalam usaha pembaharuan ini telah berhasil mewujudkan bidang
bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan
mungkin bersifat pribadi, seperti Muhammadiyah telah memelopori mendirikan
Badan Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar. Dengan menyelenggarakan
pengajian dan nasihat yang bersifat pribadi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa
Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.
2. Muhammadiyah di Masyarakat
Di bidang
sosial dan kemasyarakatan, maka secara singkat kami jelaskan bahwa berbagai usaha yang telah dirintis oleh
Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah yatim piatu,
yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana
dilakukan orang pada umumnya di dalam memelihara anak yatim piatu. Usaha pembaharuan dalam
bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan
Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1923. Ide di balik pembangunan dalam
bidang ini karena banyak di antara orang Islam yang mengalami kesengsaraan, dan
hal ini merupakan kesempatan bagi kaum muslimin untuk saling tolong-menolong termasuk dalam hal pendidikan.
Perhatian pada
kesengsaraan umum dan kewajiban menolong sesama muslim, tidak hanya sekedar
karena rasa cinta kasih pada sesama, tetapi juga ada tuntunan agama yang jelas
untuk beramar ma’ruf. Sebagai perwujudan sosial dari semangat beragama. Hal ini
merupakan gerakan sosial dengan ilham keagamaan. Contohnya ialah pengamalan
firman Allah Ta’ala dalam Surat
Al-Ma’un (terjemahannya) :
“Tahukah engkau
orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiada
menganjurkan menyantuni orang miskin. Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu
lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya’ dan tiada mau menolong dengan
barang-barang yang berguna.”
Ajaran ini
direalisasikan oleh Muhammadiyah melalui pendirian rumah yatim, klinik, rumah
sakit dan juga melalui pembaharuan cara mengumpulkan dan mendistribusikan
zakat. Dapatlah
disimpulkan, bahwa pembaharuan sosial kemasyarakatan yang dilakukan
Muhammadiyah, merupakan salah satu wujud dari ketaatan beragama, dalam dimensi sosialnya,
atau dimaksudkan untuk mencapai tujuan keagamaan.[[5]]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Cita-cita pendidikan yang digagas
Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
2.
Majlis Tarjih didirikan atas dasar
keputusan kongres Muhammadiyah ke- XVI pada tahun 1927, atas usul
dari K.H. Mas Mansyur. Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau
memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu
semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga
terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama,
tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas
syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits.
3.
Dalam kegiatan pendidikan dan
kesejahteraan sosial, Muhammadiyah mempelopori dan menyelenggarakan sejumlah
pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammadiyah, yang berusaha
keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih dalam, pendidikan mempunyai
arti penting, karena melalui inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan
dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Pembaharuan pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi
cita-cita dan segi teknik pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Majelis Tarjih dan Tajdid, SEJARAH, file:///E:/MAKALAH/KMD/Sejarah%20-%20Majelis%20Tarjih%20dan%20Tajdid%20_%20Muhammadiyah.html
01 April 2016. 24 Jumadil Akhir 1437 H.
Wibisono, Yusuf. Muhammadiyah dan Pendidikan , file:///E:/MAKALAH/KMD/Muhammadiyah%20dan%20Pendidikan%20-%20Garasi%20Keabadian.html ,Jumat, 15 Maret 2013.
[1] . Majelis Tarjih dan Tajdid, SEJARAH, file:///E:/MAKALAH/KMD/Sejarah%20-%20Majelis%20Tarjih%20dan%20Tajdid%20_%20Muhammadiyah.html
01 April 2016. 24 Jumadil Akhir 1437 H.
[2] . Yusuf Wibisono ,Muhammadiyah dan Pendidikan , file:///E:/MAKALAH/KMD/Muhammadiyah%20dan%20Pendidikan%20-%20Garasi%20Keabadian.html ,Jumat, 15 Maret 2013
[3]
. Ibid.
[4]
. Ibid.
[5]
. Majelis Tarjih dan Tajdid, SEJARAH, file:///E:/MAKALAH/KMD/Sejarah%20-%20Majelis%20Tarjih%20dan%20Tajdid%20_%20Muhammadiyah.html 01 April 2016. 24 Jumadil Akhir 1437 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar