Rabu, 27 April 2016

Ilmu Hadits Bagi Pemula



Ringkasan Ilmu Hadits Bagi Pemula  
Judul Asli : Syarh Tadzkirah fî ‘Ulumil Hadits Li Ibni Mulaqqin
Penyusun : Syaikh DR. Muhammad bin Hadi al-Madkhâlî hafizhahullahu
Penerjemah : Ustadz Bisri Tujang, Lc.
Editor : Tim Portal Islam
Publikasi : www.portal-islam.net
Cetakan : Pertama, 2012

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Aku memuji Allah atas segala nikmat-Nya dan bersyukur kepada-Nya atas segala karunia-Nya. Kuhaturkan pula shalawat dan salam teruntuk manusia yang termulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan keluarganya. Dan selanjutnya:
Ini adalah risalah Tadzkirah yang berorientasi tentang disiplin ilmu hadits. Dengannya seorang pemula dalam menuntut ilmu diharapkan dapat mengenal disiplin ilmu ini lebih dalam dan dapat dimudahkan menguasainya. Aku menyarikannya dari kitab Al-Muqni’, salah satu dari karya tulisku.  Hanya kepada Allah aku mengharap semoga aku dapat memberikan manfaat dari kitab ini, dan sesungguhnya semua berada pada kekuasaan-Nya dan hanya Dialah Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Macam-macam Hadits
Hadits itu terbagi menjadi tiga macam : Shahih, Hasan dan Dhaif.

A. Hadits Shahih adalah hadits yang bersih dari celaan pada sanad (silsilah perawi)-nya dan matan (kandungan hadits)-nya. Di antara hadits shahih ada yang telah disepakati keabsahannya (muttafaq ‘alaihi), yaitu hadits yang dikumpulkan oleh dua orang Imam (Bukhari dan Muslim, pent.) di dalam kitab Shahih mereka.

B. Hadits Hasan adalah hadits yang derajatnya di bawah hadits shahih dalam hal tingkat kekuatan hafalan dan kecermatan (para perawinya). Generasi sebelumnya menyebutnya dengan nama al-Khabar al-Qawî (hadits yang kuat).

C. Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak termasuk salah satu dari kedua macam hadits di atas.
Pengelompokan Ilmu Hadits
Adapun pengelompokan ilmu hadits ada lebih dari 80 :
  1. Al-Musnad: hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini juga disebut dengan hadits al-Maushûl (hadits yang bersambung sanad-nya).
  2. Al-Muttashil : hadits yang bersambung sanadnya, baik secara marfû’ (terangkat sampai kepada Nabi) atau pun secara mauqûf (terhenti sampai pada sahabat saja). Hadits ini juga dinamakan hadits Maushûl.
  3. Al-Marfû’ : hadits yang secara khusus disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, baik secara bersambung atau tidak bersambung sanadnya.
  4. Al-Mauqûf : hadits yang berupa perkataan, perbuatan atau selainnya yang diriwayatkan dari para sahabat, baik secara bersambung maupun terputus (sanadnya), dan penggunaan hadits model ini pada selain sahabat dilakukan secara muqoyyad, seperti perkataan ulama hadits : Sanadnya di-mauquf-kan sampai pada Atha’ -misalnya-, atau pada selainnya.
  5. Al-Maqthû’ : hadits berupa perkataan atau perbuatan yang berhenti sanadnya sampai pada Tabiin saja.
  6. Al-Munqathi’ : hadits yang sanadnya tidak bersambung dengan perawi manapun.
  7. Al-Mursal : perkataan seorang tabiin walau ia bukan termasuk seorang Tabiin yang senior bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda
  8. Diantara cabang dari hadits Mursal adalah Mursal khafi (mursal yang tersembunyi).
  9. Al-Mu’dhol : hadits yang telah hilang dari sanadnya dua orang perawi atau lebih. Hadits ini juga disebut sebagai hadits Munqathi’. Setiap hadits Mu’dhol pasti Munqathi’, namun tidak sebaliknya.
  10. Al-Mu’allaq : hadits yang dibuang di awal sanadnya seorang perawi atau lebih.
  11. Al-Mu’an’an : hadits yang redaksinya menggunakan lafazh ‘an (dari), misalnya: “Fulan dari Fulan”. Hadits semisal ini dikategorikan bersambung jika tidak ada Tadlîs dan dimungkinkan terjadinya pertemuan (antara murid dan guru).
  12. At-Tadlîs : hadits yang tidak disukai karena perbuatan perawi yang menyamarkan adanya pertemuan (antara murid dan guru) dan (seakan-akan) hidup sezaman, seperti ucapan : “Si Fulan berkata”. Namun untuk Tadlîs Syuyuukh (menyamarkan gurunya) maka masih lebih ringan (dari model Tadlîs yang lain).
  13. As-Syâdz : hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi riwayat para perawi lain yang lebih tsiqoh.
  14. Al-Munkar : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi, yang tidak memiliki kecermatan dan tidak terkenal sebagai perawi yang kuat hafalannya.
  15. Al-Fard : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara bersendirian (yang redaksinya berbeda) dari semua perawi, atau riwayat suatu daerah secara khusus, seperti ucapan para ulama :
“Penduduk kota Mekah meriwayatkannya secara sendirian” atau redaksi yang sejenis.
  1. Al-Gharîb : hadits yang (misalnya) diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendirian, dari imam Az-Zuhri atau semisal beliau, dari kalangan para perawi yang mengumpulkan hadits.
  2. Jika ada dua atau tiga orang perawi menyendiri dalam periwayatan (sebuah hadits), maka hadits seperti ini di namakan hadits Al-Azîz.
  3. Jika sebuah hadits diriwayatkan oleh sejumlah perawi, maka hadits seperti ini dinamakan hadits Masyhûr.
  4. Al-Mutawatir : hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang perawi, yang dengannya benar-benar membuahkan ilmu pengetahuan.
  5. Al-Mustafîdh : hadits yang pada setiap tingkatan sanadnya terdapat lebih dari 3 orang perawi.
  6. Al-Mu’allal : hadits yang secara zhahir pada sanadnya terdapat cacat, yang dapat mempengaruhi keabsahan hadits tersebut.
  7. Al-Mudhtharib : hadits yang diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda namun memiliki tingkatan (sanad) yang sama.
  8. Al-Mudraj : hadits yang mendapatkan tambahan/sisipan (ucapan perawi bukan ucapan Nabi, ed.) pada matan-nya atau yang semisalnya.
  9. Al-Maudhû’ : hadits (yang redaksinya) hasil ciptaan/buatan sendiri. Hadits ini juga terkadang disebut hadits : (a) al-Mardûd (yang tertolak), (b) al-Matrûk (yang ditinggalkan), (c) al-Bâthil (yang batil), dan (d) al-Mufsâd (yang rusak).
  10. Al-Maqlûb : hadits yang diafiliasikan kepada selain perawinya.
  11. Al-‘Âlî : adalah keutamaan (yang dimiliki seorang perawi) yang sangat disukai. Keutamaan ini diperoleh dari kedekatan (seorang perawi) dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kedekatan kepada salah seorang imam ahli hadits, serta terdepan pada waktu wafat dan mendengarkan hadits.
  12. An-Nâzil : hadits yang berlawanan dengan hadits Al-‘Âlî.
  13. Al-Mukhtalif : dua hadits yang secara makna tampak kontradiktif/bertentangan, maka (solusinya) harus di-jam’u (digabungkan) atau dipilih diantara keduanya yang paling rajih (kuat).
  14. Al-Mushahhaf : hadits yang telah berubah redaksi atau maknanya. Perubahan ini terkadang terjadi pada matan-nya dan terkadang pada sanad-nya. Dan telah terdapat karya-karya tulis yang berbicara masalah bentuk hadits ini.
  15. Al-Musalsal : hadits yang para perawinya secara beruntun meriwayatkan (dari para perawi) berdasarkan salah satu sifat atau keadaan tertentu. Hadits seperti ini sedikit yang digolongkan shahih.
  16. Al-I’tibâr : hadits yang -misalnya diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah- dan tidak memiliki penyerta, hanya dari Ayûb, dari Ibnu Siriin, dan dari Abu Hurairah.
  17. Al-Mutâba’ah : hadits yang -misalnya- diriwayatkan oleh perawi lain selain Hammad dari Ayyuub. Maka hadits ini dinamakan Al-Mutâba’ah Al-Tâmmah (hadits penyerta yang sempurna).
  18. As-Syâhid : hadits yang redaksinya diriwayatkan oleh perawi lain tapi bermakna yang sama.
  19. Ziyâdat Ats-Tsiqât (yaitu) hadits yang dipakai menurut pendapat mayoritas ulama (ahli hadits).
  20. Al-Mazîd fî Muttashil Al-Asânîd yaitu hadits yang dalam sanadnya ditambahkan seorang perawi atau lebih karena sebuah kekeliruan.
  21. Sifat seorang perawi hadits adalah harus adil dan cermat (dhabith). Ia juga harus memiliki pengetahuan tentang ilmu Jarh wa Ta’dîl (mencacat perawi hadits dan merekomendasikannya), dapat menjelaskan usia awal periwayatannya-yaitu tatkala ia telah tamyîz (mampu membedakan perkara baik buruk), biasanya pada usia 5 tahun (seseorang telah menjadi mumayyiz); serta ia juga harus mengetahui cara pengambilan dan periwayatan hadits.
  22. Menulis hadits hukumnya boleh berdasarkan konsensus ulama hadits. Namun tetap harus berpegangan dengan kecermatan.
  23. Pembagian metode periwayatan hadits ada 8 macam :
a. Mendengarkan langsung lafazh sang guru.
b. Membacakan (riwayat) di hadapan sang guru.
c. Al-Ijâzah (yaitu guru memberikan lisensi/izin kepada muridnya untuk meriwayatkan darinya, pent. ), menurut jenis-jenisnya.
d. Al-Munâwalah (yaitu guru menyerahkan manuskripnya kepada muridnya, pent. ).
e. Al-Mukâtabah (yaitu guru menuliskan atau mewakilkan orang lain yang menulis hadits untuk muridnya, pent. ).
f. Al-I’lâm (guru mengumumkan kepada muridnya bahwa ia memiliki manuskrip hadits, pent. ).
g. Al-Washiyah (yaitu: guru mewasiatkan sebuah manuskrip yang dimiliki olehnya, ketika hendak meninggal atau hendak safar, pent. ).
h. Al-Wijâdah(yaitu seorang yang menemukan manuskrip seorang perawi yang tidak sezaman dengannya, pent. ).
  1. Periwayatan secara makna dan meringkas hadits juga termasuk periwayatan dan penyampaian yang dibolehkan.  Adab seorang muhaddits dan penuntut ilmu hadits.
  2. Mengetahui kata-kata asing dan terminologi bahasa hadits, tafsiran makna-maknanya, dan dapat menggali hukum-hukum darinya.
  3. Menisbatkan haditsnya kepada para sahabat, tabiin dan para murid mereka.
Dari sini dibutuhkan mengetahui hukum yang lima, yaitu:
a. Wajib, b. Sunnah, c. Haram, d. Makruh dan Mubah.
(semua hukum ini) berkaitan erat dengan:
a.(hukum) al-Khâsh yaitu yang menunjukkan makna spesifik/tunggal.
b.(hukum) al-‘Âm yaitu yang menunjukkan dua hal dari sisi yang sama.
c.(hukum) al-Mutlaq yang menunjukkan makna tunggal tanpa ada penentuan atau syarat padanya.
d.(hukum) Al-Muqayyad yang menunjukkan makna tunggal dengan adanya syarat/penentuan lain.
e.(hukum) Al-Mufashshal yaitu sebuah konteks yang telah diketahui maksudnya dan tidak membutuhkan penjelasan yang lain.
f.(hukum) Al-Mufassar yaitu sebuah konteks yang awalnya tidak diketahui maksudnya, kemudian membutuhkan penjelasan yang lain.
  1. Memilih yang terkuat (tarjîh) di antara para perawi, ada dengan melihat sisi jumlah mereka dan persamaannya dalam tingkat kecermatan dalam menghafal. Selain dari aspek jumlah juga ditinjau dari sisi perbedaan mereka dalam hal ini. Dan seterusnya.
  2. Mengetahui mana hadits penghapus (nâsikh) dan mana hadits yang dihapus hukumnya (mansûkh).
  3. Mengetahui (biografi) para sahabat.
  4. Juga (mengetahui) murid-murid mereka.
  5. Mengetahui riwayat para senior dari para junior, seperti riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari sahabat Tamîm Ad-Dârî, dan (Abu Bakar) Ash-Shiddîq, dan dari selain mereka.
  6. Metode di atas juga biasa disebut dengan riwayat Al-Fâdhil (yang paling utama) mengambil riwayat dari Al-Mafdhûl (yang diutamakan), atau riwayat seorang guru dari muridnya. Seperti riwayat imam Az-Zuhrî, Yahya bin Sa’îd, Rabî’ah dan yang selainya dari Imam Mâlik.
  7. Riwayat seorang perawi dari rekannya yang sepadan, seperti riwayat Imam At-Tsauri dan Abu Hanîfah dari Imam Mâlik pada sebuah hadits: “Seorang janda lebih berhak menentukan calon suaminya daripada walinya”.
  8. Mengetahui periwayatan para ayah dari para anak, seperti riwayat sahabat Al-Abbâs dari anaknya yang bernama Al-Fadhl, atau sebaliknya. Demikian juga riwayat seorang ibu dari anaknya.
  9. Mengetahui hadits Al-Mudabbaj yaitu: periwayatan para perawi yang selevel satu dengan lainnya. Apabila hanya salah seorang yang meriwayatkan dari temannya, sementara teman ini tidak meriwayatkan darinya, maka ini bukanlah dikatakan hadits al-Mudabbaj.
  10. Mengenal periwayatan para perawi yang bersaudara, seperti Umar dan Zaid; keduanya putera (Umar) Al-Khatthâb.
  11. Mengetahui perawi yang meriwayatkan darinya dua orang perawi yang zaman wafatnya berjauhan, seperti As-Sarrâj dan al-Khaffâf dimana Imam Bukhâri meriwayatkan darinya padahal jarak zaman wafat mereka berdua selama 137 tahun atau lebih.
  12. Mengenal perawi dari kalangan sahabat dan generasi setelah mereka, yang hanya satu orang perawi yang meriwayatkan darinya, seperti Muhammad bin Shafwan, di mana tidak ada perawi yang meriwayatkan darinya kecuali As-Sya’bî.
  13. Mengetahui setiap perawi yang terkenal dengan beberapa nama atau tersohor dengan ciri-ciri yang beragam; semisal Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi Al-Mufassir.
  14. Mengenal nama-nama, kunyah dan julukan para perawi.
  15. Mengenal jumlah periwayatan mereka, dan perawi yang terkenal dengan namanya daripada nama samarannya, atau sebaiknya.
  16. (mengenal) perawi yang namanya sama dengan nama bapaknya.
  17. (mengenal) nama perawi yang serupa dalam penulisannya tapi berbeda pengucapannya.
  18. Mengenal nama perawi yang tulisan dan lafazhnya serupa padahal mereka adalah pribadi yang berbeda.
  19. (mengenal) perawi yang terkombinasi dari dua perkara di atas.
  20. (mengenal) nama para perawi yang serupa, tapi nama bapak mereka berbeda.
  21. (mengenal) perawi yang diafiliasikan kepada selain babaknya, semisal Bilal bin Hamamah.
  22. (mengenal) penisbatan pada sesuatu yang dapat membuat presepsi seseorang menjadi berbeda, semisal Abu Mas’ûd Al-Badrî yang tinggal di daerah Badar, tapi ia tidak ikut serta dalam peperangan Badar.
  23. (mengenal) perawi yang disamarkan namanya.
  24. (mengenal) sejarah dan waktu wafatnya para perawi.
  25. Mengenal para perawi yang tsiqoh (cermat dan terpercaya)dan para perawi yang lemah hafalan; serta perawi yang status kecermatannya masih diperselisihkan oleh ulama, sehingga dengan demikian harus dikuatkan dengan timbangan yang adil.
  26. (Mengenal) perawi yang tsiqoh tapi di akhir usianya kecermatannya menjadi berubah melemah. Sehingga barangsiapa yang diketahui meriwayatkan darinya sebelum itu maka periwayatannya diterima, jika diketahui meriwayatkan setelah itu maka tidak diterima.
  27. (mengenal) perawi yang (biasa meriwayatkan dari manuskripnya, kemudian diketahui) semua manuskripnya telah terbakar atau hilang, maka tatkala ia meriwayatkan dari hafalannya selalu salah.
  28. (mengenal) perawi yang pernah menyampaikan sebuah hadits dan lupa, kemudian ia meriwayatkannya dari perawi yang pernah ia sampaikan kepadanya.
  29. Mengenal tingkat-tingkat para perawi dan para ulama.
  30. (mengenal) para tuan dan budak-budak mereka.
  31. (mengenal) kabilah-kabilah, negara, profesi dan perhiasan khas para perawi.
Demikianlah risalah ini ditulis dengan ketergesaan bagi para pemula. Risalah ini merupakan pengantar tulisan yang telah kami isyaratkan di awal penjelasan, sesungguhnya di dalamnya menghimpun banyak faidah dalam bidang ilmu pengetahuan ini, baik berupa cabang-cabangnya, urgensi dan keutamaannya.  Segala puji hanya milik Allah atas segala kemudahan dan karunia-Nya.
Penulis risalah ini rahumahullâhu berkata:
“Aku selesai menulis risalah ‘Tadzkirah’ ini dalam durasi 2 jam, tepatnya di hari Jum’at pagi, pada tanggal 27 Jumadil Awal, tahun 763H. Semoga Alloh memperbagusnya dan menjadikannya sebagai kebaikan. Amîn.”

Agu 14 2014
23 Maret 2016, 11:28 AM.

Selasa, 26 April 2016

Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham

Tatkala bingung menghadapi perbedaan ideologi dan ajaran Islam yang berkembang di masyarakat, sebagian kita berpegangan pada prinsipikut saja dengan kebanyakan orang
Tentu akibatnya sangat fatal, ajaran agama yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah serta pemahaman yang benar, dianggap salah semata-mata karena tidak diamalkan oleh kebanyakan orang.
Diantara alasan mereka yang berpendapat demikian adalah hadits-hadits tentang golongan yang selamat diistilahkan dengan Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Dan memang sekilas nampak bahwa Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham berarti sekumpulan orang yang jumlahnya sangat banyak. Namun benarkah demikian maksudnya? Apakah yang ada pada kebanyakan orang itu pasti lebih benar?


Kebenaran Tidak Memandang Jumlah

Sebelum membahas makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham, perlu diketahui bahwa terlalu banyak dalil dari Qur’an dan Sunnah yang memberikan faedah kepada kita bahwa kebenaran tidak memandang jumlah. Kebenaran adalah kebenaran walaupun bersendirian. Kesalahan adalah kesalahan walaupun didukung banyak orang. Bahkan Allah menyatakan bahwa keadaan umum manusia adalah berada dalam kesesatan, kejahilan dan jauh dari iman yang benar:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Al An’am: 116)
Allah Ta’ala berfirman:
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Yusuf: 40)
Allah Ta’ala berfirman:
المر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ وَالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” (QS. Ar Ra’du: 1)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103)
Bahkan ada Nabi Allah yang tidak memiliki pengikut, ada yang hanya satu orang, ada pula yang hanya sekelompok orang. Andai yang sedikit itu pasti sesat, apakah mereka tidak memiliki pengikut atau menjadi minoritas karena mengajarkan kesesatan? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “عرضت عليّ الأمم، فرأيت النبي ومعه الرهط، والنبي ومعه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه أحد
Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda bahwa Islam itu awalnya asing, dan akan kembali menjadi asing kelak. Dan beliau memuji orang-orang yang masih mengamalkan ajaran Islam ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا. فطوبى للغرباء
Islam pada awalnya asing dan akan kembali asing kelak sebagaimana awalnya. Maka pohon tuba di surga bagi orang-orang yang asing” (HR. Muslim no.145)
Nah, apakah Islam itu asing ketika mayoritas manusia mengamalkan ajaran Islam? Bahkan yang minoritas ketika itu adalah yang dipuji oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) berkata:
لا تستوحِشْ طُرُقَ الهدى لقلة أهلها، ولا تغترَّ بكثرةِ الهالكين
“Janganlah engkau mengangap buruk jalan-jalan kebenaran karena sedikit orang yang menjalaninya. Dan jangan pula terpedaya oleh banyaknya orang-orang yang binasa” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)
Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata:
ولا يغتر الإنسانُ بكثرةِ الفاعلين لهذا الذي نُهينا عنه ممَّن لا يراعي هذه الآدابَ
“Seorang manusia hendaknya tidak terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukan hal-hal terlarang, yaitu orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)

Hadits-Hadits Tentang Al Jama’ah

Untuk memahami makna Al Jama’ah, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن
Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ستكون بعدي هنات وهنات، فمن رأيتموه فارق الجماعة، أو يريد أن يفرق أمر أمة محمد كائنا من كان فاقتلوه ؛ فإن يد الله مع الجماعة، و إن الشيطان مع من فارق الجماعة يركض
Sepeninggalku akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah belah Al Jama’ah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah belah Al Jama’ah” (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir 4672, dishahihkan Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shahih 3621)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات ، إلا مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sejengkal saja lalu mati, ia mati sebagai bangkai Jahiliah” (HR. Bukhari no.7054,7143, Muslim no.1848, 1849)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
والذي لا إله غيره ! لا يحل دم رجل مسلم يشهد أن لا إله إلا الله ، وأني رسول الله ، إلا ثلاثة نفر : التارك الإسلام ، المفارق للجماعة أو الجماعة ( شك فيه أحمد ) . والثيب الزاني.والنفس بالنفس
Demi Allah, darah seorang yang bersyahadat tidak lah halal kecuali karena tiga sebab: keluar dari Islam atau keluar dari Al Jama’ah, orang tua yang berzina dan membunuh” (HR. Muslim no.1676)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من مات مفارقا للجماعة فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
Barangsiapa yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari Al Jama’ah, maka ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya” (HR Bukhari dalam Tarikh Al Kabir 1/325. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6410)

Makna Al Jama’ah

Secara bahasa, makna Al Jama’ah adalah:
الجماعة هي الاجتماع ، وضدها الفرقة ، وإن كان لفظ الجماعة قد صار اسما لنفس القوم المجتمعين
“Al Jama’ah artinya perkumpulan, lawan dari kekelompokan. Walau terkadang Al Jama’ah juga artinya sebuah kaum dimana orang-orang berkumpul” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 3/157)
Namun dalam terminologi syar’i, para ulama menjabarkan banyak definisi sesuai dengan banyaknya hadits yang memuat istilah tersebut.
Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, menafsirkan istilah Al Jama’ah:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri
Dalam riwayat lain:
وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى
Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)
Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852H) menukil penjelasan Imam Ath Thabari (wafat 310H) menjabarkan makna-makna dari Al Jama’ah:
قَالَ الطَّبَرِيُّ اخْتُلِفَ فِي هَذَا الْأَمْرِ وَفِي الْجَمَاعَةِ فَقَالَ قَوْمٌ هُوَ لِلْوُجُوبِ وَالْجَمَاعَةُ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ ثُمَّ سَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَصَّى مَنْ سَأَلَهُ لَمَّا قُتِلَ عُثْمَانُ عَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَجْمَعَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ عَلَى ضَلَالَةٍ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِالْجَمَاعَةِ الصَّحَابَةُ دُونَ مَنْ بَعْدَهُمْ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِهِمْ أَهْلُ الْعِلْمِ لِأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلَى الْخَلْقِ وَالنَّاسُ تَبَعٌ لَهُمْ فِي أَمْرِ الدِّينِ قَالَ الطَّبَرِيُّ وَالصَّوَابُ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْخَبَرِ لُزُومُ الْجَمَاعَةِ الَّذِينَ فِي طَاعَةِ مَنِ اجْتَمَعُوا عَلَى تَأْمِيرِهِ فَمَنْ نَكَثَ بَيْعَتَهُ خَرَجَ عَنِ الْجَمَاعَةِ
“Ath Thabari berkata, permasalahan ini (wajibnya berpegang pada Al Jama’ah) dan makna Al Jama’ah, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat hukumnya wajib. Dan makna Al Jama’ah adalah:
  1. as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: “hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan“.
  2. sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para sahabat, tidak termasuk orang setelah mereka.
  3. sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para ulama. Karena Allah telah menjadikan mereka hujjah bagi para hamba. Para hamba meneladani mereka dalam perkara agama.
Ath Thabari lalu berkata, yang benar, makna Al Jama’ah dalam hadits-hadits perintah berpegang pada Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada dalam ketaatan, mereka berkumpul dalam kepemimpinan. Barangsiapa yang mengingkari baiat terhadap pemimpinnya (baca: merasa tidak berkewajiban untuk mentaati pemimpin sah kaum muslimin, ed), maka ia telah keluar dari Al Jama’ah” (Fathul Baari, 13/37)
Imam Asy Syathibi (wafat 790H) juga merinci makna-makna dari Al Jama’ah:
اختلف الناس في معنى الجماعة المرادة في هذه الأحاديث على خمسة أقوال :
أحدها : أنها السواد الأعظم من أهل الإسلام … فعلى هذا القول يدخل في الجماعة مجتهدو الأمة وعلماؤها ، وأهل الشريعة العاملون بها ، ومن سواهم داخل في حكمهم ؛ لأنهم تابعون لهم مقتدون بهم .
الثاني : أنها جماعة أئمة العلماء المجتهدين ، فعلى هذا القول لا مدخل لمن ليس بعالم مجتهد ؛ لأنه داخل في أهل التقليد فمن عمل منهم بما يخالفهم فهو صاحب الميتة الجاهلية ، ولا يدخل أيضا أحد من المبتدعين .
الثالث : أن الجماعة هي الصحابة على الخصوص . فعلى هذا القول فلفظ (الجماعة) مطابق للرواية الأخرى في قوله صلى الله عليه وسلم : “ما أنا عليه وأصحابي” .
الرابع : أن الجماعة هي أهل الإسلام إذا أجمعوا على أمر ، فواجب على غيرهم من أهل الملل اتباعهم ثم تعقب الشاطبي هذا القول بقوله : ” وهذا القول يرجع إلى الثاني ، وهو يقتضي أيضا ما يقتضيه ، أو يرجع إلى القول الأول ، وهو الأظهر ، وفيه من المعنى ما في الأول من أنه لا بد من كون المجتهدين منهم ، وعند ذلك لا يكون مع اجتماعهم بدعة أصلا فهم إذن الفرقة الناجية ” .
الخامس : ما اختاره الطبري الإمام من أن الجماعة جماعة المسلمين إذا اجتمعوا على أمير ، فأمر عليه الصلاة والسلام بلزومه ونهى عن فراق الأمة فيما اجتمعوا عليه من تقديمه عليهم .
.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai makna Al Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat:
  1. As sawadul a’zham dari umat Islam. Termasuk dalam makna ini para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah yang mengamalkan ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini karena diasumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”
  2. Para imam mujtahid. Dalam makna ini, tidak termasuk orang-orang yang bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya adalah ahli taqlid. Maka barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat para imam mujtahid, lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam makna ini tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma, ed).
  3. Para sahabat nabi saja. Makna ini sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu:
    ما أنا عليه وأصحابي
    Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku
  4. Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah perkara (baca: ijma’). Maka wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk mengikuti mereka. Asy Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya kembali pada makna kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti konsekuensi dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang lebih nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa terwujud umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah golongan yang selamat”
  5. Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari, yaitu bahwa Al Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan ummat untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang memecah belah apa yang telah dipersatukan oleh umat sebelumnya.
Imam Asy Syathibi kemudian menyimpulkan:
قال الشاطبي : ” وحاصله أن الجماعة راجعة إلى الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة ، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة ؛
“Kesimpulannya, Al Jama’ah adalah bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Dan jelas bahwa persatuan yang tidak sesuai sunnah tidak disebut Al Jama’ah yang disebut dalam hadits-hadits” (Al I’tisham 2/260-265, dinukil dari Fatwa Lajnah Ad Daimah 76/276)
Al Munawi (wafat 1031H) menukil perkataan Syihabuddin Abu Syaamah (wafat 665H) dan Al Baihaqi (wafat 458H) mengenai makna Al Jama’ah:
قال أبو شامة: حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق وإتباعه وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف كثيرا أي الحق هو ما كان عليه الصحابة الأول من الصحب ولا نظر لكثرة أهل الباطل بعدهم قال البيهقي: إذا فسدت الجماعة فعليك بما كانوا عليه من قبل وإن كنت وحدك فإنك أنت الجماعة حينئذ
“Abu Syamah berkata, ketika dalam hadits terdapat perintah berpegang pada Al Jama’ah, yang dimaksud dengan berpegang pada Al Jama’ah adalah berpegang pada kebenaran dan menjadi pengikut kebenaran walaupun ketika itu hanya sedikit jumlahnya dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran banyak jumlahnya. Maksud Abu Syaamah adalah bahwa kebenaran itu adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi, bukan melihat banyak jumlah, ini pada orang-orang yang datang setelah mereka. Al Baihaqi berkata, ketika Al Jama’ah (baca: kaum muslimin saat ini) telah bobrok maka hendaknya engkau berpegang pada pemahaman orang terdahulu (para Salaf) walaupun engkau sendirian, maka ketika itu engkaulah Al Jama’ah” (Faidul Qadhir, 4/99)
Jika kita telah memahami penjelasan para ulama mengenai makna Al Jama’ah, walaupun definisi mereka berbeda, namun pokok maknanya sama. Bahwa yang dimaksud dengan Al Jama’ah adalah umat Islam yang berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi dan mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya.

Hadits-Hadits Tentang As Sawadul A’zham

Untuk memahami makna as sawaadul a’zham, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya:
إن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم فإنه من شذ شذ إلى النار
Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Barangsiapa yang menyelisihinya akan terasing di neraka
Dalam riwayat lain:
إن أمتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الاختلاف فعليكم بالسواد الأعظم يعني الحق وأهله
Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul haq” (HR. Ibnu Majah 3950, hadits hasan dengan banyaknya jalan kecuali tambahan من شذ شذ إلى النار sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1331)
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ
Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

Makna As Sawadul A’zham

As sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zham artinya besar, agung, banyak. Sehingga as sawaadul a’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’i, kita telah dapati bahwa as sawaadul a’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari di atas: “…Dan makna Al Jama’ah adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)
Maka makna as sawaadul a’zham mencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna as sawaadul a’zham berikut ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata
عليكم بالسواد الأعظم قال فقال رجل ما السواد الأعظم فنادى أبو أمامة هذه الآية التي في سورة النور فإن تولوا فإنما عليه ما حمل وعليكم ما حملتم
Berpeganglah kepada as sawadul a’zham. Lalu ada yang bertanya, siapa as sawadul a’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220)
Ayat tersebut berbunyi:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)
Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna as sawadul a’zham adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata lain, pengikut kebenaran.
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H) berkata:
عليكم باتباع السواد الأعظم قالوا له من السواد الأعظم، قال: هو الرجل العالم أو الرجلان المتمسكان بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وطريقته، وليس المراد به مطلق المسلمين، فمن كان مع هذين الرجلين أو الرجل وتبعه فهو الجماعة، ومن خالفه فقد خالف أهل الجماعة
“Berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Orang-orang bertanya, siapa as sawaadul a’zham itu? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang atau dua orang yang berilmu, yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti jalannya. Bukanlah as sawaadul a’zham itu mayoritas kaum muslimin secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54)
Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama sezamannya, Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai as sawaadul a’zham:
قَالَ رَجُلٌ: يَا أَبَا يَعْقُوْبَ مَنِ السَّوَادُ الأَعْظَمُ? قَالَ: مُحَمَّدُ بنُ أَسْلَمَ، وَأَصْحَابُهُ، وَمَنْ تَبِعَهُ. ثُمَّ قَالَ إِسْحَاقُ: لَمْ أَسْمَعْ عَالِماً مُنْذُ خَمْسِيْنَ سنَةً كَانَ أَشَدَّ تَمَسُّكاً بِأَثَرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنْ مُحَمَّدِ بنِ أَسْلَمَ
“Ada seorang yang bertanya, wahai Abu Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa as sawadul a’zham itu? Beliau menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para pengikutinya. Kemudian beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang alim sejak 500 tahun yang lebih berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selain Muhammad bin Aslam” (Siyar A’lamin Nubala, 9/540)
Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H) ditanya as sawaadul a’zham:
سَأَلَ رَجُلٌ ابْنَ الْمُبَارَكِ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالَ: أَبُو حَمْزَةَ السَّكُونِيُّ
“Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul Mubarak, wahai Abu Abdirrahman siapa as sawadul a’zham itu? Beliau menjawab, Abu Hamzah As Sakuni” (Hilyatul Aulia, 9/238)
Dari sini kita tahu bahwa as sawaadul a’zham dalam istilah syar’i itu tidak harus berjumlah banyak. Dan jelaslah juga bagi kita ternyata as sawaadul a’zham adalah Al Jama’ah dan bukanlah ‘kebanyakan orang’ secara mutlak. As sawaadul a’zham adalah orang-orang yang taat kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman para sahabat Nabi, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit. Bahkan Ishaq bin Rahawaih, guru dari Imam Al Bukhari ini, mengatakan bahwa hanya orang bodoh yang mengira bahwa as sawaadul a’zham adalah mayoritas orang secara mutlak:
لَوْ سَأَلْتَ الْجُهَّالَ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالُوا: جَمَاعَةُ النَّاسِ وَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ الْجَمَاعَةَ عَالِمٌ مُتَمَسِّكٌ بِأَثَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَرِيقِهِ، فَمَنْ كَانَ مَعَهُ وَتَبِعَهُ فَهُوَ الْجَمَاعَةُ، وَمَنْ خَالَفَهُ فِيهِ تَرَكَ الْجَمَاعَةُ
Jika engkau tanyakan kepada orang-orang bodoh siapa itu as sawadul a’zham, niscaya mereka akan menjawab: mayoritas manusia. Mereka tidak tahu bahwa Al Jama’ah itu adalah orang alim yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan jalannya. Barangsiapa yang bersama orang alim tersebut dan mengikutinya, ialah Al Jama’ah, Dan yang menyelisihinya, ia meninggalkan Al Jama’ah” (Hilyatul Aulia, 9/238)

Kesimpulan

Al Jama’ah semakna dengan as sawaadul a’zham, yaitu orang-orang yang berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi, mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit.
Oleh karena itu ‘kebanyakan orang’ secara mutlak bukanlah as sawaadul a’zham, sehingga tidak benarlah orang-orang yang hanya ikut ‘kebanyakan orang’ dalam beragama. Bagaimana halnya jika prinsip demikian diterapkan di masyarakat yang bobrok, mayoritasnya meninggalkan shalat misalnya. Apakah meninggalkan shalat menjadi hal yang biasa dan dibenarkan? Jika masyarakatnya gemar berzina, bagaimana mungkin ahluz zina itu disebut as sawadul a’zham yang merupakan ahlul haq? Jika masyarakatnya mayoritas gemar berbuat bid’ah, maka bagaimana mungkin as sawaadul a’zham adalah ahlul bid’ah?
Dengan penjelasan para ulama di atas, maka mayoritas penduduk sebuah negeri secara mutlak pun bukan as sawadul ‘azham. Apalagi sekedar organisasi massa, partai, jama’ah dakwah, thariqah, mengklaim diri mereka sebagai as sawadul a’zham atau Al Jama’ah. Demi Allah, bukan demikian.
Hendaknya setiap muslim bersatu dalam kebenaran, berkumpul dalam petunjuk para ulama yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat Nabi Radhiallahu’anhum tanpa dibatasi oleh sikap fanatik golongan, tidak terbatas oleh keanggotaan ormas, partai atau jama’ah dakwah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Bersatulah dengan tali Allah dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)
Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan as sawadul a’zham atau menjadikan kita orang-orang yang berpegang teguh kepadanya.

Penulis: Yulian Purnama
Editor: Ust. Aris Munandar, SS.,MA.
Artikel Muslim.Or.Id
           (dengan sedikit perubahan) https://muslim.or.id/8367-makna-al-jamaah-dan-as-sawadul-azham.html?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C5314904890

Bagaimana Tata Cara Syahadat Syiah?

Pertanyaan :
Apa benar syahadat syiah itu menyimpang? Saya pernah mendengar ada orang bilang syahadat syiah itu sambil melaknat Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Apa benar demikian?

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Syahadat yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengikrarkan dua kalimat,
Asyhadu an laa ilaaha illallah
Wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasulluh..
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
 “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya, berarti mereka telah menjaga jiwa dan harta mereka dariku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dengan (alasan-red) hak Islam serta hisab mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari 25 & Muslim 135).
Inilah syahadat yang diajarkan dalam islam.

Syahadat Syiah

 




Berbeda dengan syahadat syiah. Mereka menambahkan lafal syahadat yang tidak pernah dikenal dalam ajaran islam. Ada dua tambahan penting dalam syahadat syiah, karena latar belakang aqidah mereka.


Pertama, melaknat Abu Bakr dan Umar

Seperti yang kita tahu, sekte syiah membangun ideologinya di atas prinsip kebencian. Balas dendam dengan membabi buta tanpa alasan. Sasaran utamanya adalah para sahabat senior, terutama al-Khulafa ar-Rasyidin sebelum Ali bin Abi Thalib. Mereka memancangkan permusuhan dengan Abu Bakr, Umar, Utsman dan para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain Khadijah Radhiyallahu ‘anha. Mereka membuat klaim dusta bahwa para sahabat itu adalah musuh ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka membawakan riwayat dusta dari mantan budak Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau pernah secara menyendiri bertanya kepada Ali bin Husain,
إن لي عليك حقا ألا تخبرني عن هذين الرجلين : عن أبي بكر وعمر ؟ فقال : كافران كافر من أحبهما
Saya punya hak yang harus anda tunaikan, tolong sampaikan kepadaku penilaian anda tentang dua orang ini, yaitu Abu Bakr dan Umar?
Ali bin Husain mengatakan, “Dua orang ini kafir. Orang yang mencintainya juga kafir.”
(Taqrib al-Ma’arif, Abu Shalah al-Halabi, 25).

Kedua, persaksian masalah walayah.

Setiap syiah harus meyakini bahwa semua ahlul bait adalah wali yang makshum. Mereka akan menjadi hujah dan pembela mereka di hadapan Allah pada hari kiamat. Bahkan walayah menjadi salah satu rukun islam menurut syiah.
Dalam Ushul al-Kafi – salah satu rujukan utama dalam syiah – dinyatakan,
عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: بني الاسلام على خمس: على الصلاة والزكاة والصوم والحج والولاية ولم يناد بشئ كما نودي بالولاية، فأخذ الناس بأربع وتركوا هذه – يعني الولاية –
Dari Abu Ja’far – alaihis salam – dia mengatakan, Islam dibangun di atas 5 rukun: shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Beliau menyerukan paling keras untuk rukun wilayah. Namun manusia hanya mengambil 4 rukun pertama, dan meninggalkan ini (yaitu rukun wilayah).
Dalam riwayat lain, terdapat tambahan,
قال زرارة: فقلت: وأي شئ من ذلك أفضل؟ فقال: الولاية أفضل، لأنها مفتاحهن والوالي هو الدليل عليهن
Zurarah bertanya kepada Abu Ja’far, “Mana rukun islam yang paling afdhal? Abu Ja’far menjawab, “Walayah paling afdhal. Karena ini kunci semuanya, dan Wali adalah petunjuk untuk yang lainnya.” [Ushul al-Kafi, al-Kulaini, 2/18].
Karena itulah, bagi syiah, pengakuan terhadap walayah menjadi syarat sah diterimanya syahadatnya. Salah satu tokoh syiah mengatakan,
ليس كل من تشهد بالشهادتين بدون الولاية يعتبر مسلماً
Semua orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa menyebut walayah tidak dianggap sebagai muslim. (Amali as-Shaduq, 230, majlis 60).
Karena latar belakang inilah, mereka menambahkan dalam syahadat mereka bagian yang tidak ada dalam syahadat kaum muslimin.
Salah satu contoh syahadat mereka bisa anda saksikan di video berikut,


Dalam tayangan video di atas, ada seorang yang dulunya muslim yang ingin berstatus sebagai orang syiah. Kita tidak tahu, mengapa dia harus bersyahadat. Bisa jadi ini diantara indikasi bahwa bagi syiah, orang selain syiah adalah kafir. Karena itu, setiap muslim yang hendak menyatakan dirinya sebagai syiah, musti bersyahadat di hadapan tokoh mereka.
Syahadat ini dipandu oleh tokoh syiah bernama Yasir al-Habib. Salah seorang tokoh agama syiah kelahiran Kuwait. Dia pernah belajar di Hauzah di Qum (Hauzah adalah istilah untuk menyebut tempat belajar agama syiah). Dia memiliki andil besar terkait penyebaran syiah di Kuwait, hingga akhirnya dia ditangkap pemerintah dengan dakwaan mengembangkan aliran sesat. Setelah menjalani hukuman penjara 3 bulan, dia hijrah ke Iraq, kemudian ke Iran, dan akhirnya ke Inggris. Hingga kini, dia mendapatkan suaka keamanan di Inggris.
Yasir al-Habib termasuk tokoh syiah yang vokal. Menyuarakan kesesatan ahlus sunah dan menegaskan aqidah kafirnya para sahabat dan para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak sekali videonya di youtube. Anda bisa cari dengan kata kunci [ياسر الحبيب].
Melihat tayangan mereka bersyahadat, orang sadar akan bisa menilai, apakah model ajaran syiah masih dianggap bagian dari islam ataukah tidak.
Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
https://konsultasisyariah.com/23946-syahadat-syiah.html