Rabu, 15 Juni 2016

Mengungkap Misteri Syeikh Siti Jenar

Assallamuallaikum ustad saya mw tanya siapakah siti jenar?
Dari Aji
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Asal muasal Syekh Siti Jenar sebenarnya tidak jelas, apakah berasal dari Persia atau asli Jawa. (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Dr. Munir Mulkhan, hlm. 61). Namun, ajarannya cukup memberi pengaruh besar kepada masyarakat Indonesia hingga sekarang terutama di Jawa.
Syekh Siti Jenar termasuk anggota Walisongo yang hadir pada pertemuan pertama yang diselenggarakan oleh Sunan Giri, ketua Walisongo yang baru sebagai pengganti Sunan Ampel. Di dalam pertemuan itu, dibicarakan tentang permikiran Syekh Siti Jenar yang berkaitan dengan ma’rifat. Ternyata diketahui bahwa Siti Jenar punya pandangan menyimpang di dalam beragama. Akibatnya, tokoh ini dikeluarkan dari keanggotaan Walisongo, bahkan akhirnya dijatuhi hukuman mati.

Hukuman ditetapkan setelah Sultan Demak dan Walisongo memberi peringatan berkali-kali tentang ajarannya yang merusak aqidah umat Islam, yang baru saja dengan susah payah ditegakkan Maulana Malik Ibrahim, di Jawa pada 1404 M. Namun, alasan ini belum dianggap kuat maka hukuman mati Siti Jenar baru diambil setelah Adipati Pengging, Ki Ageng Kebo Kenongo dihukum mati karena memberontak kepada kekuasaan Demak Bintoro, ditambah murid-murid Syekh Siti Jenar yang berbuat onar karena putus asa dengan kegagalan Adipati Pengging tersebut. Kebo Kenongo  adalah harapan terakhir bagi pengikut Hindu Budha-Animisme untuk mempertahankan ideologi mereka menghadapi pengaruh dakwah Islam. (Misteri Syekh SIti Jenar, Prof. Dr. Hasanu Simon, hlm. 427)

SITI JENAR KIBLAT KAUM ZINDIQ INDONESIA

Sikap frustasi para murid Syekh Siti Jenar dimanifestasikan ke dalam bentuk ajaran Syekh Siti Jenar yang aneh. Mereka berkeyakinan bahwa manusia hidup di dunia ini sebenarnya dalam keadaan mati. Maka manusia yang lalu lalang di muka bumi merupakan mayat-mayat yang gentayangan. Sosok Siti Jenar telah menjadi komoditas kaum Zindiq Indonesia untuk mengekspresikan kesesatan mereka, maka warna ajaran Siti Jenar sangat tegantung pada pemikiran masing-masing orang yang menulis tentang Siti Jenar.
Ambil contoh, Achmad Chodjim dalam bukunya Sykeh Siti Jenar menggambarkan Syekh Siti Jenar sebagai sosok liberal yang tidak percaya terhadap agama dan kitab suci. Pada halaman 34, penulis berkata,”Syekh Siti Jenar bukanlah seorang teolog. Dia seorang praktisi! Agama baginya bukan teori yang harus dihafal. Agama adalah sebuah jalan yang harus dilalui. Dia tidak mengambil pusing dengan nama agama. Walaupun agama sedang disandangnya Islam. Tetapi, kenyataan hidup, keberadaan diri dan jiwa, itulah yang menjadi kesadaran Siti Jenar dalam hidupnya di dunia ini. Siti Jenar menyadari sepenuhnya, bahwa hidup di dunia ini ada di alam kematian. Karena kita sebagai bangkai kita tidak mampu berkomunikasi dengan Tuhan.” (Lihat buku Syekh Siti Jenar karya Achmad Chodjim, hlm.34)

Dalam bahasa Jawa dikenal dengan keyakinan “Manunggal-ing kawulo Gusti” yang berarti dzat Allah menyatu dengan hamba-Nya, seperti keyakinan yang dikembangkan al-Hallaj dan Ibnu Arabi yang akhirnya dihukum pancung berdasarkan fatwa para ulama.

Ajaran Syekh Siti Jenar memang sangat kental dengan nuansa tasawuf wihdatul wujud (Manunggal-ing kawulo Gusti), wihdatul Adyan (penyatuan agama-agama) dan kebatinan kejawen serta sangat kental dengan ajaran zindiq. Demikian itu tampak di dalam beberapa ungkapan yang diturunkan Achamad Chodjim dalam bukunya, Syekh Siti Jenar (hlm. 34), yang antara lain:

“Manusia yang hakiki adalah wujud hak, kemandirian dan kodrat. Berdiri dengan sendirinya. Sukma menjelma sebagai hamba. Hamba menjelma pada sukma. Napas Sirna menuju ketiadaan. Badan kembali sebagai tanah.”(Pupuh II:2)
“Adanya Allah karena zikir. Zikir membuat lenyap Dzat, Sifat, Asma dan Af’al yang Mahatahu. Digulung menjadi ‘Anataya’ dan rasa dalam diri. Dia itu saya! Timbul pikiran menjadi dzat yang mulia.”(Pupuh II:3)
“Dalam jagat besar dan kecil, di mana pun sama saja. Hanya manusia yang ada. Ki Pengging berani menghirkan tekad bahwa Allah yang dirasakan dalam zikir itu semu, keberadaan palsu. Keberadaan semacam ini karena nama.” (Pupuh II:4)
“Manusia sejati itu, mempunyai sifat dua puluh. Dalam hal ini agama Budha dan Islam sudah campur. Satu wujud dua nama. Kesukaran tiada lagi. Ki Pengging sudah memahami (ajaran Siti Jenar).” (Pupuh II:5)

SITI JENAR ANTI AGAMA

Ajaran Siti Jenar menolak semua ajaran agama yang berbau Arab. Ajaran tersebut tidak menganggap kitab suci sebagai sumber ilmu agama, dan menghina segala bentuk ibadah praktis. Seperti yang ditegaskan Munir Mulkhan dalam bukunya, Ajaran dan jalan Kematian Syekh Siti Jenar , “Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa ketika syahadat, shalat, dan puasa itu tidak diinginkan, maka hal itu bukanlah sesuatu yang perlu dilakukan. Demikian pula halnya dengan zakat dan haji, semuanya dipandang sebagai omong kosong, sebagai kedurjanaan budi dan penipuan terhadap sesama manusia.” (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Dr. Munir Mulkhan,hlm. 66)

Siti Jenar juga membuat alasan yang sangat aneh, bahwa menurut pandangan Jawa, pelaksanaan shalat lima waktu itu bukan shalat yang sebenarnya. Dan kalu toh tetap disebut shalat, maka pelaksanaan shalat yang tampak lahiriyah ini hanyalah hiasan dari shalat yang Daim. Dalam pemahaman Jawa. Shalat Daim adalah shalat yang ditegakkan secara terus-menerus tidak pernah putus. Baik ketika berjaga maupun ketika tidur. (Syekh Siti Jenar, Achmad Chodjim, hlm. 203)

Menurut Syekh Siti Jenar, hanya orang-orang yang dungu dan tidak tahu saja yang menuruti aulia atau wali, hanya karena mereka diberi harapan  surga kelak di kemudian hari. Siti Jenar justru tak pernah menuruti perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah dengan harapan memperoleh sejumlah pahala yang akan diterima nanti. Ketaatan seseorang  juga bukan karena dahi dan kepalan tangannya sudah menjadi tebal. (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, hlm. 66)

Bahkan ajaran Syekh Siti Jenar menolak mentah-mentah kiab suci sebagai sumber ilmu, seperti kepercayaan yang menyebar di kalangan Sufi ekstrem. Sebab, menurut Siti Jenar, ilmu tidak dapat dicapai hanya dengan membaca buku-buku, membaca kitab suci. Mendengarkan petuah kyai atau wali. Orang yang berilmu berarti mampu mengetahui kahanan,kenyataan, yang bebas dan pancaindra, mampu melihat tanpa mata, mengengar tanpa telinga, membau tanpa hidung, merasa tanpa meraba, dan menikmati tanpa mengecap?
Walaupun latar belakang kehidupan Syekh Siti Jenar tidak jelas, beberapa dokumen yang menjelaskan ajaran Syekh Siti Jenar sangat banyak menunjukkan sikap zindiq-nya. Di samping dengan Dzikir Ojrat Ripangi dan matra-matra Lebe Lonthang yang menimbulkan kesesatan, dia pernah menyuruh membakar masjid dan mengingkari syari’at Islam. Syekh Siti Jenar mengatakan bahwa al-Qua’an merupakan pegangan hidupnya, tetapi secara kontras dia mengingkari hukumanya dan menganalisa kandungannya menurut pemahaman wihdatul wujud dan hawa nafsu zindiqnya.

AJARAN SITI JENAR DIDOMINASI KAUM ABANGAN

Warna Islam pedalaman yang sinkretis hasil rekayasa Sunan Kalijogo, yang berbeda dengan warna Islam di daerah pesisir murni, dimanfaatkan kaum zindiq untuk merusak Islam.
Mereka berpura-pura masuk Islam, namun banyak ajaran agama yang diselewengkan. Dan mereka terpecah menjadi tiga kelompok:
Pertama: Kelompok yang tidak menerima Islam secara kaffah (menyeluruh) karena menurut mereka agama lama juga tidak kalah baiknya. Bahkan sebagian mereka membesar-besarkan peranan Sunan Kalijogo adalah guru mistik terbesar yang pernah ada di Jawa dan sebagai tokoh dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kelompok ini tidak ragu menggunakan do’a berbahasa Jawa seperti yang dicontohkan Sunan Kalijogo dengan Mantra Betuah dan Kidung Rumekso Ingweya yang sangat memikat hati. Dari sinilah tumbuhnya aliran kebatinan atau kejawen yang kemudian menjamur sejak akhri abad ke-19.
Kedua : Kelompok yang tidak mau menerima Islam tetapi tidak berani menentang secara terang-terangan, lalu bersikap zindiq. Kelompok kedua ini masih melanjutkan upaya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar pada masa hidupnya. Namaun, sepnjang abad ke-17,mereka belum berani berbuat seperti gurunya karena khawatir akan mengalami nasib yang sama, karena pemerintah Islam Mataram masih sangat kuat.
Ketiga: Kelompok yang tetap tidak mau menerima Islam dan tetap bertahan dengan agama apa saja selain Islam.
(Misteri Syekh Siti Jenar, Prof. Dr. Hasanu Simon, hlm. 427-428)
Demikianlah gambaran sekilas tentang pemikiran Syekh Siti Jenar yang membawa paham berbahaya Wihdatul Wujud. Maka sungguh mengherenkan jika pada zaman sekarang pemikiran berbahaya tersebut dibela dan dibenarkan.

Semoga Allah Ta’ala menampakkan al-Haq kepada kita dan menjadikan kita tegar di atasnya.
Ustad Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc.
Majalah al-Furqan edisi 157, tahun ke-14
Link Sumber

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!

Selasa, 07 Juni 2016

Apakah Kita Wajib Bermadzhab?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Seringkali kita mendengar sebagian orang mengatakan bahwa kita wajib memilih madzhab tertentu dalam beragama dan jangan sampai meninggalkannya. Apakah prinsip seperti ini diperkenankan dalam syariat Islam ini? Temukan jawabannya dalam artikel berikut ini. Semoga bermanfaat.


Apakah Orang Awam Wajib Memilih Madzhab Tertentu Untuk Beragama?
Dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satu pendapat yang ada mengatakan, “Tidak wajib“. Inilah pendapat yang lebih tepat. Yang namanya kewajiban adalah jika diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak mewajibkan kepada seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu untuk diikuti agamanya, namun yang diwajibkan adalah mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Dan telah berlalu beberapa generasi, namun mereka sama sekali tidak berpegang dengan satu madzhab tertentu.[1]
Intinya, mewajibkan mengikuti salah satu madzhab tertentu tidaklah dibolehkan. Inilah hukum asalnya.
Namun perlu diperhatikan bahwa pendapat di atas tidak berlaku secara mutlak. Sebenarnya tetap diperbolehkan mengikuti madzhab tertentu namun hanya berlaku pada keadaan tertentu saja. Keadaan-keadaan yang dibolehkan tersebut adalah:
1. Mempelajari madzhab tertentu hanya sebagai wasilah (perantara) saja dan bukan tujuan. Jika seseorang tidak mampu belajar agama kecuali dengan mengikuti madzhab tertentu, maka dalam keadaan seperti ini dibolehkan.
2. Jika ia mengikuti madzhab tertentu untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar, yang ini bisa dihilangkan bila ia mengikuti madzhab tertentu, maka ini dibolehkan. [2]
Jadi sebenarnya mengikuti madzhab tertentu harus melihat pada maslahat dan mafsadat. Jika mengikuti madzhab tertentu membuat seseorang mendapatkan maslahat besar, maka pada saat ini boleh bermadzhab.
Namun ada beberapa rambu yang harus diperhatikan ketika belajar pada madzhab tertentu.

Rambu-Rambu dalam Bermadzhab
Rambu pertama: Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.
Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala’ dan baro’ (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.
Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.
Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:
  1. Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.
  2. Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
  3. Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
  4. Mendudukkan imam madzhab sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [3]
Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ
“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[4]
Dalil dari perkataan Syaikhul Islam di atas, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa’: 65)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 64)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al Ahzab: 36)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa’: 69)

Prinsip Yang Benar: Ikutilah Al Quran dan As Sunnah
Prinsip yang benar adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Selama perkataan imam madzhab sejalan dengan keduanya, maka barulah perkataan mereka layak diambil. Sedangkan memaksakan seseorang untuk bermadzhab dengan pendapat salah seorang di antara mereka, ini adalah menetapkan perintah tanpa adanya dalil.
Allah Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’rof: 3)
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.  (QS. Ali Imron: 32)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An Nisa’: 59)
Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (Lihat Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)
Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah, 1/246, mengomentari perkataan Abu Bakar di atas, beliau rahimahullah mengatakan, “Inilah, wahai saudaraku! Orang yang paling shiddiq (paling jujur) seperti ini saja masih merasa takut dirinya akan menyimpang jika dia menyelisihi sedikit saja dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan orang yang mengejek Nabi dan perintahnya (ajarannya), membanggakan diri dengan menyelisihinya, mencemooh petunjuknya (ajarannya). -Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari kesalahan dan agar terselamatkan dari amal yang jelek-

Para Imam Madzhab Sendiri Memerintahkan Kita untuk Mengikuti Petunjuk Nabi
Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata,
لاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ بِقَوْلِنَا حَتَّى يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ
“Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[5]
Imam Malik berkata,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[6]
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i berkata,
إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[7]
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[8]
Imam Ahmad berkata,
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[9]
Semoga Allah memberikan taufik bagi siapa saja yang membaca risalah yang ringkas ini. Amin Yaa Mujibas Saailin.

Diselesaikan di Panggang, GK, 18 Rabi’uts Tsani 1431 H (02/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com




[1] Lihat I’lamul Muwaqi’in, 4/261-262
[2] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 11/514 dan 20/209
[3] Pembahasan ini dan point sebelumnya kami ambil faedah dari pembahasan kitab Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 501-503
[4] Majmu’ Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa’
[5] I’lamul Muwaqi’in, 2/211, Darul Jail
[6] I’lamul Muwaqi’in, 1/75
[7] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/39, 41
[8] Majmu’ Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa’
[9] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53

Kritikan untuk Do'a Buka Puasa "Allaahumma Laka Shumtu',,"

Perlu diketahui bersama bahwa ketika berbuka puasa adalah salah satu waktu terkabulnya do’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/194)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dzahabadh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Adapun do’a berbuka yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yaitu,
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)
Riwayat di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38)
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38)
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45)
Kesimpulannya, do’a “Allahumma laka shumtu …” berasal dari hadits hadits dho’if (lemah). Sehingga cukup do’a shahih yang kami sebutkan di atas yang hendaknya jadi pegangan dalam amalan.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Diselesaikan di Panggang-GK, 30 Rajab 1431 H (12/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com

Do'a Berbuka Puasa yang Shahih dan yang Lemah

Pertanyaan:

Assalamualaiku, Ustadz
1. Dari Ibnu Abbas, ia berkata : “Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan: Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul ‘Alim.” (artinya: Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan atas rezeki dari-Mu kami berbuka. Ya Allah! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). (Riwayat Daruqutni di kitab Sunan-nya, Ibnu Sunni di kitabnya ‘Amal Yaum wa- Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir).

2. Dari Anas, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengucapkan, ‘Bismillah, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rezekika Aftartu.” (artinya: Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rezeki dari-Mu aku berbuka). (Riwayat Thabrani di kitabnya Mu’jam Shogir, Hal. 189 dan Mu’jam Auwshath).
3. Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan: Allahumma Laka Sumtu wa ‘Alaa Rizqika Aftartu.” (Riwayat Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4:239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni)
Apakah ketiga doa berbuka di atas berasal dari hadis dhaif?
Jika dhaif, doa yang berdasarkan hadis yang paling kuat apa?
Dari: Sila
Jawaban:
Wa’alaikumussalam

Doa berbuka yang benar:

ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu wa Tsabata-l Ajru, Insyaa Allah
“Telah hilang dahaga, urat-urat telah basah, dan telah diraih pahala, insya Allah.”

Hadis Selengkapnya

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ… »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau berbuka, beliau membaca: “Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu…” (HR. Abu Daud 2357, Ad-Daruquthni dalam sunannya 2279, Al-Bazzar dalam Al-Musnad 5395, dan Al-Baihaqi dalam As-Shugra 1390. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani).

Kapan Doa Ini Diucapkan?

Umumnya doa terkait perbuatan tertentu, dibaca sebelum melakukan perbuatan tersebut. Doa makan, dibaca sebelum makan, doa masuk kamar mandi, dibaca sebelum masuk kamar mandi, dst. Nah, apakah ketentuan ini juga berlaku untuk doa di atas?
Dilihat dari arti doa di atas, dzahir menunjukkan bahwa doa ini dibaca setelah orang yang berpuasa itu berbuka. Syiakh Ibnu Utsaimin menegaskan:
لكن ورد دعاء عن النبي صلى الله عليه وسلم لو صح فإنه يكون بعد الإفطار وهو : ” ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله ”  فهذا لا يكون إلا بعد الفطر
“Hanya saja, terdapat doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika doa ini shahih, bahwa doa ini dibaca setelah berbuka. Yaitu doa: Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu…dst. doa ini tidak dibaca kecuali setelah selesai berbuka.” (Al-Liqa As-Syahri, no. 8, dinukil dari Islamqa.com)
Keterangan yang sama juga disampaikan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 7428.
Karena itu, urutan yang tepat untuk doa ketika berbuka adalah:
1. Membaca basmalah sebelum makan kurma atau minum (berbuka).
2. Mulai berbuka
3. Membaca doa berbuka: Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu…dst.

Anjuran Memperbanyak Doa Ketika Berbuka Puasa

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ السَّحَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai dia berbuka, dan doa orang yang didzalimi, Allah angkat di atas awan pada hari kiamat.”
(HR. At-Tirmidzi 2526, Thabrani dalam Al-Ausath 7111. Syaikh Aqil bin Muhamad Al-Maqthiri mengatakan: Hadis ini statusnya hasan berdasarkan gabungan semua jalurnya. Hadis ini juga dinilai hasan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habir, 2:96).
Hadis di atas menunjukkan anjuran bagi orang yang sedang puasa untuk memperbanyak berdoa sebelum dia berbuka. Sebagian ulama menegaskan bahwa hadis ini tidak ada hubungannya dengan berdoa ketika berbuka. Karena teks hadis ini bersifat umum, bahwa orang yang sedang berpuasa memiliki pelluang dikabulkan doanya di setiap waktu dan setiap kesempatan, sebelum dia berbuka. (I’lamul Anam bi Ahkam As-Shiyam, Hal. 76).
Akan tetapi disebutkan dalam sunan Tirmidzi, redaksi yang serupa dinyatakan:
وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ
Orang yang berpuasa ketika berbuka.” (Sunan At-Tirmidzi 2526).
Makna tersirat dari hadis menunjukkan bahwa anjuran memperbanyak doa itu terakait dengan kegiatan berbuka. Allahu a’lam.
Keterangan ini juga dikuatkan dengan riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن للصائم عند فطره لدعوة ما ترد
Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak akan ditolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, Al-Hakim 1/422, Ibnu Sunni 128, dan At-Thayalisi 299 dari dua jalur. Al-Bushiri mengatakan (2/81): ‘Sanad hadis ini shahih, perawinya tsiqqah’. Demikian keterangan dari Shifat Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hal. 67 – 68).
Kemudian, doa-doa kebaikan ini selayaknya dibaca sebelum memulai berbuka. Karena ketika belum berbuka, seseorang masih dalam kondisi puasa, dan bahkan di puncak puasa, sehingga dia lebih dekat dengan Allah Ta’ala. Sementara ketika dia (Dari Fatwa Islam, no. 14103).

Doa Apa yang Bisa Dibaca Ketika Hendak Berbuka?

Anda bisa membaca doa apapun yang Anda inginkan. Baik terkait kehidupan dunia maupun akhirat. Karena waktu menjelang berbuka adalah waktu yang mustajab.
Kemudian, disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, bahwa ketika berbuka, sahabat Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu, membaca doa tertentu.
Dari Ibnu Abi Mulaikah (salah seorang tabiin), beliau menceritakan: Aku mendengar Abdullah bin Amr ketika berbuka membaca doa:
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
Allahumma Inni As-Aluka bi Rahmatika Al-Latii Wasi’at Kulla Syai-in An Taghfira Lii
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuniku.” (Sunan Ibnu Majah, 1/557 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3621)

Doa Berbuka yang Tidak Benar

Terdapat satu doa berbuka yang tersebar di masyarakat, namun doa bersumber dari hadis yang lemah. Kita sering mendengar beberapa masyarakat membaca doa berbuka berikut:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rezekika afthortu
“Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka.”
Status Sanad Hadis
Doa dengan redaksi ini diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya no. 2358 secara mursal (tidak ada perawi sahabat di atas tabi’in), dari Mu’adz bin Zuhrah. Sementara Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in, sehingga hadis ini mursal. Dalam ilmu hadis, hadis mursal merupakan hadis dhaif karena sanad yang terputus.
Doa di atas dinilai dhaif oleh Al-Albani, sebagaimana keterangan beliau di Dhaif Sunan Abu Daud 510 dan Irwaul Gholil, 4:38.
Hadis semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath-Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dhaif yaitu Daud bin Az-Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk. Al-Hafidz ibnu Hajar mengatakan:
وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ فِيهِ دَاوُد بْنُ الزِّبْرِقَانِ ، وَهُوَ مَتْرُوكٌ
“Sanad hadis ini dhaif, karena di sana ada Daud bin Az-Zibriqon, dan dia perawi matruk.” (At-Talkhis Al-Habir, 3:54).
Ada juga yang ditambahi dengan lafadz:
بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
Dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang paling welas asih
Namun sekali lagi, tambahan ini juga tidak memiliki dasar dalam syariat. Karena itu, sebaiknya tidak dilantunkan sebagai doa berbuka.
Ringkasnya, bahwa doa terkait bebuka ada dua:
a. Doa menjelang berbuka. Doa ini dibaca sebelum anda mulai berbuka. Doa ini bebas, anda bisa membaca doa apapun, untuk kebaikan dunia dan akhirat Anda.
b. Doa setelah berbuka. Ada doa khusus yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat dari Ibnu Umar. Lafadz doanya adalah
ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
Dzahaba-zh Zama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu wa Tsabata-l Ajru, Insyaa Allah
Sebagai muslim yang baik, selayaknya kita cukupkan doa setelah berbuka dengan doa yang shahih ini, dan tidak memberi tambahan dengan redaksi yang lain.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Link Sumber 

Patung Plastik untuk Dipasang di Toko Baju

Ust. Ali Basuki Lc

Hendaknya seorang muslim menghindarkan diri dari sesuatu yang meragukan, dan melangkah kepada yang menenangkan. Lebih baik patung/manekin yang tanpa kepala, dan ini yang biasa dilakukan di arab saudi.
Mengingat beberapa riwayat, diantaranya :

“Jibril alaihissalam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda,
 “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” (An-Nasai)

Dan juga sabdanya : Para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar.” (Shahih Muslim).

والله أعلم بالصواب
»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«
̶┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶

Minggu, 05 Juni 2016

Hukum Kebiri Dalam Islam

Jawabannya adalah tidak boleh. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam melarang untuk melakukan kebiri. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menceritakan,
كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس لنا نساء؛ فقلنا: ألا نستخصي؟ فنهانا عن ذلك
Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam sedang ketika itu tidak ada wanita pada kami.” Maka kami bertanya : “Apa sebaiknya kita kebiri diri kita ?” Maka Beliau melarang kita untuk melakukannya”1.
Melakukan kebiri juga bertentangan dengan syariat agar memperbanyak keturunan, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Nikahilah perempuan yang penyanyang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat (yang terdahulu)”2.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,
و الحكمة في منع الخصاء أنه خلاف ما أراده الشارع من تكثير النسل ليستمر جهاد الكفار
Hikmah dari larangan kebiri adalah hal tersebut bertentangan dengan syariat yaitu memperbanyak keturunan yang akan melanjutkan berjihad melawan orang kafir”3.
Demikian juga dalam kitab ensiklopedia fikh Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah dijelaskan,
إن خصاء الآدمي حرام ، صغيراً كان ، أو كبيراً ؛ لورود النهي عنه على ما يأتي
Melakukan kebiri bagi manusia adalah haram, baik kecil maupun besar karena terdapat larangan hal tersebut”4.

Kebiri sebagai hukuman tidak manusiawi dan dilarang oleh agama

Hukuman kebiri bagi seseorang juga sangat tidak manusiawi dan merupakan penyiksaan dan bukan tujuan dari syariat yaitu menjaga keturunan dan membuat manusia bisa menyalurkan hasrat seksualnya secara halal.
Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,
كما أن فيه من المفاسد : تعذيب النفس ، والتشويه ، مع إدخال الضرر الذي قد يفضي إلى الهلاك ، وفيه إبطال معنى الرجولية التي أوجدها الله فيه ، وتغيير خلق الله
Melakukan kebiri menimbulkan banyak mafsadat yaitu penyiksaan manusia dan merusak tubuh, bisa menimbulkan bahaya yang bisa mengantarkan menuju kebinasaan. Bisa meniadakan bentuk kejantanan yang telah Allah ciptakan dan merubah ciptaan Allah”5.

Lalu apa hukuman bagi pemerkosa?

Pemerkosa adalah termasuk perzinaan, sehingga hukuman bagi pemerkosa adalah hukuman hadd zina. Namun hukuman hadd zina hanya boleh dilakukan jika ada 4 orang saksi atau pengakuan dari pelaku. Jika salah satu dari 2 syarat tersebut tidak tercapai, maka bisa dikenakan hukuman ta’zir yaitu agar pemerkosa kapok dan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak melakukan pemerkosaan.
Maka hukuman bagi pemerkosa dirinci:
Pertama: jika melakukan pemerkosaan tanpa ancaman menggunakan senjata, ada 4 orang saksi yang melihat secara langsung atau pelaku mengaku perbuatannya. Maka hukumannya adalah hukuman hadd zina, dengan rincian:
  • Jika muhshan (pernah menikah secara sah dan merasakan jima’, baik masih menikah ataupun sudah bercerai) maka hukumnya dirajam, yaitu dikubur setengah badannya di tanah lalu dilempari batu kerikil tajam hingga mati.
  • Jika bukan muhshan, maka dicambuk 100 kali dan diasingkan selam setahun.
Ibnu Abdil Barr menjelaskan,
وقد اجمع العلماء على ان على المستكره المغتصب الحد ان شهدت البينة عليه بما يوجب الحد او اقر بذلك فان لم يكن فعليه العقوبة
“Para ulama telah bersepakat hukuman bagi pelaku pemerkosaan adalah hukuman hadd. apabila terdapat bukti yang mewajibkan baginya hadd atau ia mengakui perbuatannya. Jika tidak memenuhi hal tersebut (yaitu bukti atau pengakuannya), maka baginya hukuman (ta’zir)”6.
Kedua: jika melakukan pemerkosaan dengan ancaman menggunakan senjata. Maka ini dihukumi sebagai perampok yang berbuat kerusakan di muka bumi, hukumannya adalah salah satu dari empat dalam ayat sesuai dengan keputusan hakim.
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah:
[1] mereka dibunuh
[2] atau disalib
[3] dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang
[4], atau dibuang (keluar daerah).
Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33).
Maka hukumannya tergantung jenis pemerkosaan yang dilakukan, disertai pembunuhan atau tidak. Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan tentang ayat ini: “Huruf أَوْ (atau) di sini berfungsi untuk menunjukkan urutan. Yang hanya membunuh, hukumannya adalah dibunuh. Yang membunuh dan merampas harta hukumannya dibunuh lalu disalib. Yang hanya merampas harta dan tidak membunuh, hukumannya potong tangan. Dan yang hanya membuat teror (tidak membunuh dan merampas harta) hukumannya diasingkan dari negerinya.”
Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam Minhajus Salikin menjelaskan ayat ini: “Yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang mengganggu masyarakat dengan perampokan, perampasan atau pembunuhan. Bila mereka membunuh dan merampas harta, hukumannya dibunuh dan disalib. Bila mereka hanya membunuh, dijatuhi hukuman mati. Bila mereka hanya merampas, hukumannya dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Bila mereka hanya membuat teror, hukumannya diasingkan dari negerinya”.
Wallahu a’lam.
@laboratorium RS Manambai, Sumbawa besar – Sabalong Samalewa.
***
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslim.or.id

  1. HR. Bukhari dan Muslim ↩
  2. Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar ↩
  3. Fathul Bari 9/119 ↩
  4.  Al-Mausu’ah Al-fiqhiyyah 9/120-121 ↩
  5. Fathul Bari 9/119 ↩
  6. Al-Istidzkaar 7/146, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Asy Syamilah ↩ 


    https://muslim.or.id/28041-bolehkah-hukuman-kebiri-bagi-pemerkosa.html

Larangan Berdebat dalam Agama


Ahlus Sunnah wal Jama’ah Melarang Perdebatan dan Permusuhan Dalam Agama.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari hal tersebut. Dalam Ash-Shohihain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :
اِقْرَأُوْا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ
“Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya”.

Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَهُمْ يَخْتَصِمُوْنَ فِي الْقَدْرِ فَكَأَنَّمَا يَفْقَأُ فِي وَجْهِهِ حُبُّ الرُّمَّانِ مِنَ الْغَضَبِ، فَقَالَ : بِهَذَا أُمِرْتُمْ ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ ؟ تَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ!! بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.
Bahkan telah datang hadits (yang menyatakan) bahwa perdebatan adalah termasuk dari siksaan Allah kepada sebuah ummat. Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً
“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja””.

Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Pokok-pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya dan mencontoh mereka. Meninggalkan semua bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. Meninggalkan permusuhan dan (meninggalkan) duduk bersama orang-orang yang memiliki hawa nafsu. Dan meninggalkan perselisihan, perdebatan dan permusuhan dalam agama”.

Perdebatan Yang Tercela:
Yaitu semua perdebatan dengan kebatilan, atau berdebat tentang kebenaran setelah jelasnya, atau perdebatan dalam perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berdebat, atau perdebatan dalam mutasyabih (1) dari Al-Qur’an atau perdebatan tanpa niat yang baik dan yang semisalnya.

Perdebatan Yang Terpuji:
Adapun jika perdebatan itu untuk menampakkan kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan seperti inilah yang dipuji. Allah Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. (QS. Al-‘Ankabut : 46)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. Hud : 32)

Contoh-Contoh Perdebatan Syar’i:
Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang perdebatan Ibrahim ‘alaihis shalatu wassalam melawan kaumnya dan (juga) Musa ‘alaihis shalatu wassalam melawan Fir’aun.
Dan dalam As-Sunnah disebutkan tentang perdebatan antara Adam dan Musa ‘alaihimas shalatu wassalam. Dan telah dinukil dari salafus shaleh banyak perdebatan yang semuanya termasuk perdebatan yang terpuji yang terpenuhi di dalamnya (syarat-syarat berikut) :

1.    Ilmu (tentang masalah yang diperdebatkan-pent.).
2.    Niat (yang baik-pent.).
3.    Mutaba’ah.
4.    Adab dalam perdebatan.
___________
(1)    Yaitu ayat-ayat yang kurang jelas maknanya pada sebagian orang karena adanya beberapa kemungkinan makna.

http://al-atsariyyah.com/larangan-berdebat-dalam-agama.html 

Tanda Kebangkitan Umat Islam itu Sekarang Ada di Suriah

(gensyiah.com) 

Syaikh Nabil al Awadi

“Apabila penduduk Syam telah rusak maka tidak ada kebaikan pada kalian. Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang selalu beruntung tanpa terganggu dari orang-orang yang menipu mereka hingga hari kiamat.” (HR. Tirmizi no. 2351)

“Sesunguhnya kekuatan Muslimin pada waktu itu di Ghuthah, di samping kota yang bernama Damaskus yang paling terbaik di negeri Syam.” (HR. Abu Daud no. 4300)

Imam Izz bin Abdussalam berkata, “Sesungguhnya kekuatan di kerajaan Islam, sebagian besar pasukannya yang berani di negeri Syam.” (Targhib Ahlil- Islam Fi Sukna Biladisy-Syam hal. 5)

 



Kamis, 02 Juni 2016

Para Pejuang Terakhir Benteng Al-Quds


Selama empat abad, Palestina berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (Ottoman). Sampai akhirnya Inggris mengambil kendali atas wilayah tersebut.

Tentara Terakhir Yang Menjadi Benteng Masjid al-Aqsha

Ottoman pun telah melakukan segala upaya, berjuang keras mempertahankan Jerusalem dari serangan Inggris, namun hal itu tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Hingga diperkirakan 25.000 tentara mereka tewas. Akhirnya, mereka tidak punya pilihan selain menyerah. Gubernur Ottoman menulis dekrit berikut:


Photo credit: Phil McKenzie
Photo credit: Phil McKenzie
Due to the severity of the siege of the city and the suffering that this peaceful country has endured from your heavy guns; and for fear that these deadly bombs will hit the holy places, we are forced to hand over to you the city.”
Signed Izzat the Mutasarrif of Jerusalem

Karena gencarnya pengepungan dan penderitaan yang dipikul negeri ini disebabkan senjata berat Anda; dan kekhawatiran akan bom-bom mematikan yang bisa meluluh-lantakkan tempat-tempat suci, kami terpaksa menyerahkan kota ini kepada Anda.
Yang menandatangani Izzat yang Mutasarrif Yerusalem.
Pada 11 Desember 1917, dengan berjalan kaki, Jenderal Inggris Edmund Allenby memasuki Kota Jerusalem. Kota suci itu akan berada di bawah mandat Inggris dan setahun kemudian akan jatuh di bawah pendudukan Israel. Sebuah negara Yahudi yang baru saja terbentuk.

Ottoman Army 3


Berikut adalah beberapa foto dari tentara Ottoman di Masjid Al Aqsa sebelum Inggris mengambil kendali atas kota suci tersebut:


Ottoman Army 1
Ottoman Army 5

Foto di bawah ini menjelaskan kepada kita mana yang dimaksud dengan Masjid al-Aqsha:

Ottoman Army 6
Simak juga artikel tentang sejarah Masjid al-Aqsha: Mengenal Masjid al-Aqsha (1/2) dan Mengenal Masjid al-Aqsha (2/2)

Sumber:
http://ilmfeed.com/the-last-muslim-army-to-defend-masjid-al-aqsa/
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com