Selasa, 31 Mei 2016

1000 Dalil Menunjukkan Allah Di Atas Seluruh Makhluk-Nya

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Saat ini, kami akan tunjukkan berbagai dalil yang menyatakan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya sebagai sanggahan untuk abusalafy yang  masih meragukan keyakinan semacam ini. Ya Robbi, a’in ‘ala naili ridhoka (Wahai Rabbku, tolonglah aku untuk menggapai ridho-Mu).

Ulama Besar Syafi’iyah Menyatakan Ada 1000 Dalil
Mengapa banyak yang mengaku sebagai Syafi’iyah malah jauh dari aqidah yang dipegang oleh ulama Syafi’iyah. Coba perhatikan nukilan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni berikut.
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[1]
Banyak yang mengaku Syafi’iyah namun menolak jika Allah dinyatakan berada di atas, padahal keyakinan ini didukung oleh 1000 dalil. Sungguh aneh!
Bukti Terkuat dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi
Selanjutnya kita akan melihat dalil-dalil yang kami olah dari penjelasan Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah.[2] Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam dalil”.[3] Ini baru macam dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya, belum lagi jika tiap macam dalil tersebut kita jabarkan satu per satu. Jika macam dalil tersebut diperinci, boleh jadi mencapai 1000 dalil sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi’iyah di atas. Selanjutnya kami akan menyebutkan macam-macam dalil yang dimaksudkan Ibnu Abil Izz dan kami tambahkan dengan contoh dalil yang ada. Semoga hal ini semakin membuka hati blogger abusalafy yang masih meragukan hal ini.
Pertama: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo dan diawali huruf min). Seperti firman Allah,
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” (QS. An Nahl : 50)
Kedua: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo, tanpa diawali huruf min). Contohnya seperti firman Allah Ta’ala,
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
Dan Dialah yang berkuasa berada di atas hamba-hambaNya.” (QS. Al An’am : 18, 61)
Ketiga: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata ta’ruju). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya.” (QS. Al Ma’arij : 4)
Keempat: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata sho’adayashadu). Ini pasti menunjukkan bahwa Allah di atas sana dan tidak mungkin Dia berada di bawah sebagaimana makhluk-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir: 10)
Terdapat pula contoh dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِتَّقُوْا دَعْوَةَ المَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تَصْعُدُ إِلَى اللهِ كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ
Berhati-hatilah terhadap do’a orang yang terzholimi. Do’anya akan naik (dihadapkan) pada Allah bagaikan percikan api.[4] Yang dimaksud dengan ‘bagaikan percikan api’ adalah cepat sampainya (cepat terkabul) karena do’a ini adalah do’a orang yang dalam keadaan mendesak.[5]
Kelima: Dalil tegas yang menyatakan sebagian makhluk diangkat kepada-Nya (dengan menggunakan kata rofa’a). Sesuatu yang diangkat kepada Allah pasti menunjukkan bahwa Allah berada di atas sana.
Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya ..” (QS. An Nisa’ : 158)
Juga firman Allah Ta’ala,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali Imron: 55)
Keenam: Dalil tegas yang menyatakan ‘uluw (ketinggian) Allah secara mutlak. ‘Uluw (ketinggian) Allah ini mencakup ketinggian secara dzat (artinya Dzat Allah berada di atas), qodr (artinya Allah Maha Tinggi dalam Kehendak-Nya) , dan syarf (artinya Allah Maha Tinggi dalam sifat-sifat-Nya). Seperti firman Allah Ta’ala (pada ayat kursi),
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah : 255)
Begitu pula dalam ayat,
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Saba’ : 23)
إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy Syura: 51)
Juga kita sering mengucapkan dzikir berikut ketika sujud,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
Maha suci Rabbku Yang Maha Tinggi.[6]
Dalil-dalil yang menyatakan Allah ‘Maha Tinggi’ di sini sudah termasuk menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi secara Dzat-Nya yaitu Allah berada di atas.
Ketujuh: Dalil yang menyatakan Al Kitab (Al Qur’an) diturunkan dari sisi-Nya. Sesuatu yang diturunkan pasti dari atas ke bawah. Firman Allah Ta’ala yang menjelaskan hal ini,
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
Kitab (Al Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ghafir: 2)
تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat: 2)
تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ
Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.” (QS. An Nahl: 102)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan : 3)
Kedelapan: Dalil tegas yang mengkhususkan sebagian makhluk dikatakan berada di sisi Allah dan dalil yang menunjukkan sebagian makhluk lebih dekat dari yang lainnya. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ
Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu.” (QS. Al A’rof: 206)
Begitu pula contohnya dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ
Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya” (QS. Al Anbiya’: 19). Lihatlah dalam ayat ini Allah membedakan kalimat “man lahu …” yang menunjukkan kepemilikan Allah secara umum dan kalimat “man ‘indahu …” yang menunjukkan malaikat dan hamba-Nya yang berada khusus di sisi-Nya.
Contoh lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِى كِتَابِهِ ، فَهْوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِى غَلَبَتْ غَضَبِى
Ketika Allah menetapkan ketentuan bagi makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya: Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku. Kitab tersebut berada di sisi-Nya yang berada di atas ‘Arsy.[7]
Kesembilan: Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’. Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:
  • Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit.
  • Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian.
Dua makna di atas tidaklah bertentangan. Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa’ (di langit)” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang. Makna “fis samaa’ ” adalah sebagaimana yang ditunjukkan di atas.
Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16)
Juga terdapat dalam hadits,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi, niscaya (Rabb) yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.”[8]
Kesepuluh: Dalil tegas yang menyatakan abhwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi. Contoh ayat tersebut adalah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5)
Kesebelas: Dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
Sesungguhnya Rabb kalian –Tabaroka wa Ta’ala- Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu pada hamba-Nya, jika hamba tersebut mengangkat tangannya kepada-Nya, lalu Allah mengembalikannya dalam keadaan hampa.[9]
Keduabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di setiap malam. Semua orang sudah mengetahui bahwa turun adalah dari atas ke bawah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
Rabb kami –Tabaroka wa Ta’ala turun setiap malamnya ke langit dunia. Hingga ketika tersisa sepertiga malam terakhir, Allah berfirman, ‘Siapa saja yang berdo’a pada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa saja yang meminta pada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa saja yang memohon ampunan pada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya’.[10]
Ketigabelas: Isyarat dengan menunjuk ke langit yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim dalam hadits yang cukup panjang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika manusia berkumpul dengan jumlah yang amat banyak, di hari yang mulia dan di tempat yang mulia.
قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Mereka yang hadir berkata, “Kami benar-benar bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasehat.”  Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau berkata pada manusia, “Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).”[11]
Keempatbelas: Dalil yang menanyakan ‘aynallah’ (di mana Allah?).
Contohnya dalil dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari Muslim,
“Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,
أَيْنَ اللَّهُ
Di mana Allah?
Dia menjawab,
فِى السَّمَاءِ
Di atas langit.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budakku menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.[12]
Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]
Kelimabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan orang yang menyatakan bahwa Rabbnya di atas langit dan beliau menyatakan orang tersebut beriman. Contohnya adalah sebagaimana hadits Jariyah yang disebutkan pada point keempatbelas.
Keenambelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37)
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” [14]
Ketujuhbelas: Berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa beliau bolak-balik menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan Allah ketika peristiwa Isro’ Mi’roj. Ketika itu beliau meminta agar shalat menjadi diperingan. Beliau pun naik menghadap Allah dan balik kembali kepada Musa berulang kali.[15]
Peristiwa Isro’ Mi’roj ini secara jelas menunjukkan Allah itu di atas.
Kedelapanbelas: Berbagai macam dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa penduduk surga melihat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk surga tersebut melihat Allah sebagaimana mereka melihat rembulan di malam purnama tanpa dihalangi oleh awan. Penduduk surga tersebut melihat Allah dan Allah berada di atas mereka.
Demikian pemaparan mengenai macam-macam dalil yang mendukung Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya dan bukan di mana-mana sebagaimana klaim sebagian orang yang keliru dan salah paham.
Mengkritisi Lagi AbuSalafy
Setelah pemaparan berbagai dalil yang begitu banyak yang membuktikan bahwa Allah itu berada di atas seluruh makhluk-Nya, maka kami akan mengajukan beberapa kritikan lagi kepada abusalafy dalam tulisannya  “Kritik Atas Akidah Ketuhanan ala Wahabi Salafy “. Intinya kesimpulan beliau adalah Allah ada tanpa tempat. Jadi, beliau menolak menyatakan Allah berada di atas langit dengan berbagai argumen yang ia kemukakan.
Kritik pertama:
Di antara argumen abusalafy, beliau menolak shahihnya hadits Jariyah yaitu hadits dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budaknya di manakah Allah, dengan alasan hadits tersebut mudhthorib, sehingga beliau katakan bahwa redaksi pertanyaan di manakah Allah bukan redaksi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ada tambahan dari perowi.
Sebagai jawaban, walaupun kami memang perlu membahas tentang mudhthorib yang beliau tuduhkan, ringkasnya kami sanggah: Taruhlah jika hadits jariyah yang ditanya di manakah Allah itu lemah (dhoif), lantas bagaimana dengan dalil Al Qur’an dan Hadits Nabawi lainnya yang menyatakan secara tegas Allah di atas seluruh makhluk-Nya? Dalil-dalil ini mau diletakkan di mana? Ataukah mau ditakwil (diselewengkan maknanya) lagi? Jika ingin menyelewengkan makna dari berbagai dalil yang menyatakan Allah di atas, maka sudah cukup sanggahan kami dalam tulisan pertama sebagai sanggahan telak baginya. Silakan rujuk kembali dalam tulisan tersebut.
Kritik kedua:
Beliau –abusalafy- menyatakan sendiri, “Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam habis Al Qur’an. Allah berfirman,
.وَ قالَ فِرْعَوْنُ يا هامانُ ابْنِ لي صَرْحاً لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبابَ * أَسْبابَ السَّماواتِ فَأَطَّلِعَ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّي لَأَظُنُّهُ كاذِباً وَ كَذلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَ صُدَّ عَنِ السَّبيلِ وَ ما كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلاَّ في تَبابٍ .
Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS.Ghafir/Al Mu’min: 36-37)”
Ini tafsiran dari mana? Bukankah Fir’aun sendiri yang mengingkari keyakinan Nabi Musa yang menyatakan Allah berada di atas langit? Jadi Fir’aun yang sebenarnya mengingkari Allah di atas langit. Lantas dari mana dikatakan bahwa itu keyakinan Fir’aun? Sungguh ini tuduhan tanpa bukti. Beliau belum menunjukkan bukti sama sekali tentang tuduhannya tersebut. Beliau mungkin saja yang salah paham sehingga pemahamannya pun jauh dengan yang dipahami ulama besar semacam Ibnu Abil Izz Al Hanafi. Lihat sekali lagi perkataann Ibnu Abil Izz tentang ayat tersebut. Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” Dan Ibnu Abil Izz sebelumnya mengatakan, “Fir’aun itu mengingkari Musa yang mengabarkan bahwa Rabbnya berada di atas langit.”[16] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni juga mengatakan,
كَذَّبَ مُوسَى فِي قَوْلِهِ إنَّ اللَّهَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ
Fir’aun mengingkari Musa, di mana Musa mengatakan bahwa Allah berada di atas langit.[17]
Dari sini silakan pembaca menilai siapakah sebenarnya yang jadi pengikut Fir’aun.
Agar tidak terlalu panjang lebar dalam tulisan kedua ini, kami akan melanjutkannya dalam tulisan serial ketiga. Masih banyak syubhat-syubhat yang mesti disanggah yang nanti kami akan kupas dalam tulisan selanjutnya. Dalam serial ketiga, insya Allah kami akan membahas keyakinan para sahabat, ulama madzhab serta ulama besar lainnya yang semuanya mendukung bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.
Semoga Allah mudahkan untuk pembahasan selanjutnya. Hanya Allah yang memberi taufik.

Diselesaikan di tengah malam, di Panggang-Gunung Kidul, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel https://rumaysho.com




[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H.
[2] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafi, Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/437-442, Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1421 H.
[3] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437.
[4] HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Silsilah Ash Shohihah no. 871.
[5] Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, Al Munawi, 1/184, Mawqi’ Ya’sub.
[6] HR. Muslim no. 772.
[7] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751.
[8] HR. Abu Daud no. 4941 dan At Tirmidzi no. 1924. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih
[9] HR. Abu Daud no. 1488. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih
[10] HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758
[11] HR. Muslim no.1218.
[12] HR. Ahmad [5/447], Malik dalam Al Muwatho’ [666], Muslim [537], Abu Daud [3282], An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ [3/15], Ibnu Khuzaimah [178-180], Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah [1/215], Al Lalika’iy dalam Ushul Ahlis Sunnah [3/392], Adz Dzahabi dalam Al ‘Uluw [81]
[13] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H
[14] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[15] Hadits Muttafaqun ‘alaih, riwayat Bukhari Muslim.
[16] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 3/225.

Judul Asli : 
Di Manakah Allah (2), 1000 Dalil Menunjukkan Allah Di Atas Seluruh Makhluk-Nya
https://rumaysho.com/910-di-manakah-allah-2.html 

Di mana Allah ?

Dimana Allah?
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Ustadz setelah membaca di beberapa tulisan tentang dimana Allah,tolong jelaskan kepada kami tentang itu berdasarkan dalil yang jelas agar umat ini kembali kepada aqidah yang benar sesuai dengan pemahaman Ahlussunnah wal jama’ah..
jazakallah khoiron
Agus [bustomi.agus@yahoo.co.id]
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Berikut potongan tulisan dari ust. Luqman Jamal hafizhahullah dalam majalah An-Nashihah edisi I, dengan judul ‘Dimana Allah’:
Allah Jalla fii ‘Ulahu yang menciptakan kita mewajibkan kepada kita untuk mengenal dan mengetahui di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berada sehingga hati-hati kita menghadap/mengarah kepada-Nya, demikian pula ketika berdo’a dan beribadah khususnya ketika sholat. Siapa yang tidak mengenal Rabbnya maka dia berada dalam keadaan tersesat, karena tidak tahu dimana beradanya yang dia sembah, dan dia juga tidak akan bisa menegakkan ibadah dengan sebaik-baiknya, bahkan dia tidak tahu siapa Ilah yang dia sembah.
Salah satu cara untuk mengenal dimana Allah adalah dengan mengenal sifat-sifat-Nya, khususnya yang berkaitan dengan masalah dimana Allah. Kemudian menetapkan dan meyakininya dengan sebenar-benarnya. Keyakinan dimana Allah termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-‘Uluw (sifat ketinggian Allah Azza wa Jalla dan bahwa Dia di atas seluruh makhluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa`-Nya di atas Al-Arsy[1], berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya. Namun perlu diketahui bahwa penetapan sifat Al-‘Uluw dan sifat Al-Istiwa` sama dengan penetapan seluruh sifat Allah yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Allah sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya. Sebagaimana dalam Firman-Nya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy-Syura : 11)
Dan dalam ucapan Imam Malik yang sangat masyhur ketika beliau ditanya tentang sifat Al-Istiwa`, maka beliau menjawab :
الْإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Al-Istiwa` bukan tidak diketahui (baca : telah dimaklumi), kaifiyatnya (gambaran bentuk/caranya) tidak bisa digapai dengan akal, mengimaninya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”. [2]
Maka tidak ada yang mengetahui kaifiat ketinggian-Nya kecuali Allah Al-‘Aliyyu Al-‘Azhim sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, ijma, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang harus diketahui secara darurat dalam agama yang agung ini.

Disyari’atkan Bertanya Dimana Allah

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ : كَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيْبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍِ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ آسِفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِيْ بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamy radiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Saya mempunyai seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing-kambingku di arah gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (sebelah utara Madinah). Maka suatu hari (ketika) saya mengontrol ternyata seekor serigala telah membawa (memangsa) seekor kambingku -dan saya adalah seorang lelaki dari anak Adam- sayapun marah sebagaimana (umumnya) anak Adam. Tetapi saya memukulnya dengan sekali pukulan. Lalu saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Maka beliau menganggap besar hal tersebut atasku, saya berkata : Wahai Rasulullah, bolehkah saya memerdekan dia ?. Rasulullah menjawab : “Datangkanlah dia”, maka saya mendatangkannya. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya : “Dimana Allah?”. Dia menjawab : “Di atas langit”. Dan beliau bertanya (lagi) : “Siapakah aku?”. Dia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda : “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang yang mukminah”. ( HR. Muslim no. 537)
Beberapa hukum dan faidah berkaitan dengan hadits.

Imam Al-Hafidz Ad-Darimy (wafat 280 H) menyebutkan beberapa faedah dari hadits diatas, diantaranya :
@      Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang jika dia tidak tahu bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla ada di atas langit bukan di bumi maka tidaklah ia dikatakan beriman. Tidakkah kamu perhatikan bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjadikan tanda keimanan budak tersebut dengan pengetahuannya bahwasannya Allah berada di atas langit.
@      Dan sabda beliau : “’Dimana Allah?”, membongkar kebodohan orang yang berkata bahwa Allah ada di mana-mana. Karena sesuatu yang ada pada semua tempat mustahil untuk dikatakan “di mana dia ?”. Dan tidak dikatakan “dimana” kecuali pada sesuatu yang berada di tempat tertentu.
@      Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana yang disangka oleh orang-orang yang menyimpang tersebut maka pasti Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam akan mengingkari ucapan budak perempuan tersebut, Tapi Rasulullah justru membenarkannya dan mempersaksikan keimanannya.
@      Dan seandainya Allah ada di bumi sebagaimana Allah berada di atas langit, maka tidaklah sempurna keimanan budak perempuan tersebut sampai dia mengetahui bahwa Allah berada di bumi sebagaimana dia mengetahui bahwa Allah berada di atas langit.
@      Ketika ‘Abdullah ibnul Mubarak ditanya : “Bagaimana kita mengenal Robb kita?”, beliau menjawab : “Bahwasanya Allah berada di atas langit yang ketujuh di atas Arsy berpisah dari makhluk-Nya”.
@      Dan ini sangat sesuai dengan pertanyaan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kepada budak wanita tersebut : “Dimana Allah?”, Nabi menguji keimanannya dengan pertanyaan tersebut. Maka tatkala dia menjawab : “Di atas langit”, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang yang mukminah”.
(Lihat Ar-Radd ‘alal Jahmiyah hal. 64-67, tahqiq Badr Al-Badr)
@       Berkata Imam Abu Muhammad Al-Juweiny Asy-Syafi’iy (wafat th. 438 H.) : Sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits yang shohih (hadits di atas -pent.) kepada budak perempuan : “Dimana Allah ?”, dia menjawab : “Di atas langit”. Dan beliau tidak mengingkari budak tersebut dihadapan para shahabatnya supaya tidak timbul anggapan yang menyelisihi jawaban tersebut, bahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menetapkannya dan bersabda : “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang yang mukminah”. (Lihat : Majmu’atur Rosa`il Al-Muniriyah 1/176).
@      Berkata Imam Adz-Dzahaby (wafat th. 748 H.) : Hadits ini adalah hadits yang shohih dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, An-Nasa`i dan Imam-Imam lainnya dalam karya-karya mereka. Mereka memahami apa adanya tanpa ta`wil (memalingkan dari makna sebenarnya tanpa dalil,-pent.) dan tidak pula merubah-rubah. Dan demikianlah kami melihat, semua orang yang ditanya “Dimana Allah ?” maka akan menjawab dengan tepat sesuai dengan fitrahnya bahwasanya Allah berada di atas langit.
Dalam hadits ini ada dua perkara yang penting :
  1. Disyari’atkannya ucapan seorang muslim untuk bertanya : “Dimana Allah ?”.
  2. Disyari’atkan jawaban yang ditanya : “Di atas langit”.
Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallahu ‘alaihi wa sallam.
(Lihat Mukhtashor Al-‘Uluw hal. 81).

Makna Al-‘Uluw Dan Al-Istiwa` Serta Perbedaan Antara Keduanya
Pengertian Al-‘Uluw secara bahasa adalah bermakna As-Samuw (diatas) dan Irtifa (ketinggian).
(lihat : Mu’jam Maqayis Al-Lughoh 4/122 karya Ibnu Faris).
Kata Al-‘Uluw menurut para ulama dalam nash Al-Qur`an dan Sunnah tidak keluar dari tiga makna :
1.       ‘Uluwudz Dzat (Ketinggian Dzat)
Di katakan : Fulan ‘Uluw di atas gunung, yaitu apabila ia berada diatasnya.
2.       ‘Uluwul Qahr (Ketinggian kekuasaan dan keperkasaan).
‘Uluw jenis ini menunjukkan makna keagungan dan kesombongan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin ‘Uluw (menyombongkan diri) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Qoshosh : 83)
3.       ‘Uluwul Qadr (Ketinggian derajat/kekuatan).
Dan kata Al-‘Uluw secara umum di mutlakkan pada ketinggian yang merupakan lawan dari kerendahan atau di bawah.

Adapun Al-Istiwa` secara bahasa, ada beberapa penggunaan :
  1. Apabila Al-Istiwa` tidak Muta’addi maka ia bermakna lengkap dan sempurna. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى ءَاتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا
“Dan setelah Musa cukup umur dan telah Istiwa` (sempurna akalnya), Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan”.” (QS. Al-Qoshosh : 14)
  1. Dan apabila Al-Istiwa` Muta’addi maka Al-Istiwa` tidak lepas dari empat makna :
@      Al-‘Uluw : Tinggi.
@      Al-Irtifa : Tinggi.
@      Al-Istiqrar : Menetap (di atas ketinggian).
@      Al-Sho’ud : Naik (di atas).

Perbedaan antara sifat Al-‘Uluw dan Al-Istiwa`:
Para ulama menyebutkan beberapa perbedaan antara keduanya :
  1. Al-Istiwa` termasuk sifat-sifat yang ditetapkan hanya dengan perantara nash baik Al-Qur`an maupun As-Sunnah dalam artian kalau Allah tidak mengabarkan tentang Istiwa`-Nya maka kaum musliminpun tidak mengetahuinya, berbeda dengan Al-‘Uluw yang dapat ditetapkan secara nash, akal maupun fitroh. Lihat Al-Fatawa 5/122, 152 dan 523.
  2. Al-Istiwa` termasuk sifat Fi’liyah (perbuatan) yang Allah bersifat dengannya sesuai dengan kehendaknya. Adapun Al-‘Uluw adalah sifat Dzatiyah yang terus-menerus Allah bersifat dengannya.
  3. Al-Istiwa` adalah bagian dari Al-‘Uluw namun Al-Istiwa` lebih khusus darinya atau dengan kata lain Al-Istiwa` adalah Al-‘Uluw yang khusus.

Dalil – Dalil Tentang Ketinggian Allah
Dan sungguh telah mutawatir dalil-dalil kitab dan sunnah secara lafadz dan makna tentang tetapnya sifat ini bagi Allah. Dan dalil-dalil itu mencapai seribu dalil sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari sebahagian pengikut As-Syafi’iyah (lihat Al-Fatawa 5/121 dan Ash-Showa’iqul mursalah 4/1279) dan berkata Ibnul Qoyyim : “Dan seandainya kami ingin maka kami akan datangkan seribu dalil tentang masalah ini (‘Al-‘Uluw,-pent). (Lihat Ijtima’ul Juyusy hal. 331)
Dalil-dalil dari Al-Qur`an.
Adapun dalil-dalil dari Al-Qur`an sangatlah banyak, bahkan Imam Ibnul qoyyim telah membagi dalil-dalil naqliyah yang menunjukkan akan ketinggian Allah menjadi dua puluh satu bagian, diantaranya : penyebutan secara shorih (jelas) dengan kata Istiwa` dan ketinggian Allah dari apa-apa yang ada dibawahnya, penyebutan naiknya sesuatu kepadanya, diangkatnya sebagian makhluk padanya diturunkannya kitab darinya, pengkhususan sebagian makhluk-Nya bahwa mereka disisi-Nya diatas langit, diangkatnya tangan-tangan kepada-Nya, turunnya Allah setiap malam ke langit dunia dan yang semisalnya. (lihat Mukhtasar Ash-Showa’iq 2/205 dan sesudahnya, An-Nuniyah dengan syarah Syaikh Al-Harras 1/184-251 dan Syarh Al-Aqidah At-Thohawiyah hal. 380-386).
Diantara ayat-ayat tersebut:
[ 1 ]الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
Dan pada enam tempat dalam Al-Qur`an, Allah berfirman :
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia Istiwa` (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A‘raf : 54, Yunus : 3, Ar-Ra’d : 2, Al-Furqan : 59, As-Sajadah : 4, dan Al-Hadid : 4)
Berkata Abul ‘Aliyah : اِسْتَوَى عَلَى السَّمَاءِ artinya اِرْتِفَاعٌ (di atas) dan berkata Mujahid اِسْتَوَى artinya عَلاَ (di atas). Lihat : Fathul Bary 13/403-406.
Kata Imam Al-Qurthuby dalam Tafsirnya : “Dan para salaf terdahulu tidak mengatakan atau melafadzkan bahwa tidak ada arah (sisi) bahkan mereka sepakat mengatakan dengan lisan-lisan mereka untuk menetapkannya bagi Allah sebagaimana Al-Qur`an dan Rasul-Nya berbicara dan tidak ada seorangpun dari salaf yang mengingkari bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya secara hakiki dan mengkhususkan ‘Arsy-Nya karena dia sudah merupakan makhluk-Nya yang paling besar dan mereka tidak mengetahui kaifiat istiwa` karena  tidak diketahui hakikatnya”. (Lihat : Tafsir Qurthuby 7/219).
Kata Ibnu Katsir : “Manusia dalam menafsirkan ayat ini sangat banyak pendapatnya dan bukan tempatnya untuk menjelaskannya tetapi kita mengikuti pada masalah ini madzhabnya As-Salafus Sholih ; Malik, Al-‘Auza’iy, Ats-Tsaury, Al-Laitsy bin Sa’ad, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan selainnya dari Imam-Imam kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang, yaitu mentafsirkannya sebagaimana adanya (zhohirnya) tanpa takyif (membagaimanakannya), tasybih (menyerupakannya) dan ta’thil (menolaknya)”.
[ 2 ]أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”. (QS. Al-Mulk : 16)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya.
Kata Imam Ahmad : Ini adalah berita dari Allah yang memberitahukan pada kita bahwasanya Dia berada diatas langit dan kami mendapati segala sesuatu dibawah-Nya adalah tercela. Allah Jalla Tsana`uhu berfirman :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An-Nisa` : 145)
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا رَبَّنَا أَرِنَا الَّذَيْنِ أَضَلَّانَا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ نَجْعَلْهُمَا تَحْتَ أَقْدَامِنَا لِيَكُونَا مِنَ الْأَسْفَلِينَ
“Dan orang-orang kafir berkata : “Ya Tuhan kami perlihatkanlah kami dua jenis orang yang telah menyesatkan kami (yaitu) sebagian dari jin dan manusia agar kami letakkan keduanya di bawah telapak kaki kami supaya kedua jenis itu menjadi orang-orang yang hina”.” (QS. Fushshilat : 29)
(Baca : Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyah karya Imam Ahmad hal 136.)
Kata Imam Al-Baihaqy, berkata Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ishaq bin Ayyub Al-Faqih : “Kadang-kadang orang-orang Arab meletakkan (في) di tempat (على) sebagaimana dalam firman Allah :
وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ
“Dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma”. (QS. Thoha : 29)
Maksudnya adalah di atas pangkal pohon korma.
Dan Allah berfirman :
فَسِيحُواْ فِي الأَرْضِ
“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di permukaan bumi”. (QS. At-Taubah : 2).
Maknanya di atas permukaan bumi. Demikian pula firman-Nya (في السماء) maknanya di atas ‘Arsy di atas langit”. (Lihat : Al-Asma` wa Ash-Shifat 2/330)
[ 3 ]سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al-A’la : 1)
Ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas semua makhluk-Nya. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintah untuk mengucapkan di waktu sujud :
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
“Maha Suci Robbku yang Maha Tinggi”.
Dengan pernyataan ini berarti kita tunduk dan merendahkan diri pada-Nya dengan hati dan anggota badan. Hal ini menunjukkan bahwa kita di bawah dan rendah serta pengakuan akan ketinggian Allah dengan lisan-lisan kita yang menunjukkan Allah berada di atas dan Maha Tinggi.
[ 4 ]يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)”. (QS. An-Nahl : 50)
Ayat ini menetapkan ketinggian Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam ayat ini para malaikat yang takut kepada Rabb mereka yang berada diatas mereka. Dan merupakan hal yang telah diketahui bahwa para malaikat itu berada di langit dan di atas kita, sedangkan di atas mereka adalah Rabbul ‘Izzah.
[ 5 ] وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاهَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ , أَسْبَابَ السَّمَوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ
“Dan berkatalah Fir`aun : “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Rabb Musa dan sesungguhnya aku menganggapnya sebagai seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS. Al-Mukmin : 36-37)
Dalam ayat ini ada dalil yang sangat jelas bahwasanya Musa mendakwahi Fir’aun untuk mengenal Allah yang berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan Haman untuk membangunkan untuknya bangunan yang tinggi untuk melihat Rabb Musa. Dengan mengatakan : “sesungguhnya aku menganggapnya sebagai seorang pendusta”. Lalu bagaimana kedudukan orang-orang yang mengingkari Allah berada diatas langit, manakah yang lebih baik mereka daripada Fir’aun dalam masalah ini?.
(lihat Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyah hal 45)

Dalil-dalil dari As-Sunnah yang shahih:
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak bahkan digolongkannya sebagai hadits yang mutawatir oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Mukhtashor Al-‘Uluw dan yang lainnya. Dan dalil-dalil tersebut kadang dari ucapan beliau, kadang dari perbuatannya dan kadang dari taqrir (penetapan) dari beliau terhadap perbuatan shohabat, diantara dalil-dalil tersebut adalah :
1.      Dari Abi Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
أَلآ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنٌ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ, يَأْتِيْنِي خَبَرٌ مِنَ السَّمَاءِ فِي الصَّبَاحِ وَالْمَسَاءِ
Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2.      Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنِ, اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang penyayang akan di sayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan di sayangi oleh Yang berada di atas langit”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam As-Shahihah no : 922).
3.      Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قاَلَ فِيْ خُطْبَتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ : (( أَلآ هَلْ بَلَغْتُ ؟ )) فَقَالُوْا : نَعَمْ. فَجَعَلَ يَرْفَعُ أُصْبُعَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَيُنْكِتُهَا إِلَيْهِمْ وَيَقُوْلُ : (( اَللَّهُمَّ اشْهَدْ !))
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda pada khutbah ‘Arafah : “Apakah aku sudah menyampaikan (risalah)?”, para shahabat menjawab : “Ya”, kemudian Rasulullah mengangkat telunjuknya ke langit kemudian beliau menunjuk ke arah para shahabat sambil bersabda : “Ya Allah, saksikanlah !”.” (HR. Muslim)
Isyarat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dengan telunjuk beliau yang mulia ke langit dan meminta persaksian Rabbnya atas ummatnya adalah isyarat yang pasti atas ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengetahui dimana Rabbnya dengan wahyu dari Allah Jalla fii ‘Ulahu.
4.      Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
أَنَّ رَجُلاً دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَالنبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ, فَقَالَ : يَا رسولَ اللهِ, هَلَكَتِ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ فاَدْعُ اللهَ يُغِيْثُنَا. فَرَفَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ : (( اَللَّهُمَّ اَغِثْنَا, اَللَّهُمَّ اَغِثْنَا ))
‘Sesungguhnya seorang laki-laki masuk ke mesjid pada hari Jum’at sedangkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sedang berdiri berkhutbah, kemudian laki-laki tersebut berkata : “Wahai Rasulullah, telah hancur harta benda, telah putus jalan-jalan, maka berdo’alah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami”. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo’a : “Ya Allah, hujanilah kami, ya Allah, hujanilah kami”.” (HR. Al-Bukhary-Muslim)
Nabi shollallahu “alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengangkat kedua tangannya adalah isyarat bahwa Allah Azzat ‘Azhomatuhu berada di atas langit.

Dalil-dalil dari Ijma’:
Telah dinukil kesepakatan para ulama tentang ketinggian Allah diatas makhluk-Nya, diantaranya dari :
1.       Al-Imam Ad-Darimy di dalam kitabnya Ar-Radd ‘Alal Jahmiyah hal. 44 berkata : “Kemudian kesepakatan dari orang-orang terdahulu dan belakangan, orang alimnya dan jahilnya bahwa jika salah seorang di antara mereka ber-istighotsah, berdo’a atau meminta kepada Allah, dia menengadahkan kedua tangannya dan mengangkat pandangannya ke langit kemudian berdo’a. Dan tidak seorangpun dari mereka berdo’a mengarah ke bawah, ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri tetapi ke arah langit karena pengetahuan mereka bahwa Allah berada di atas …”.
Dan beliau berkata di hal. 66 : “Celaka kalian !, kesepakatan para shahabat, tabi’in dan seluruh umat terhadap tafsir Al-Qur`an, Fara`idh, hudud dan hukum-hukum tentang turunnya ayat ini, begini bunyinya dan sebabnya begini dan begini, dan turunnya surat ini pada keadaan begini dan begini. Kami tidak mendengar seorangpun yang mengatakan bahwa ayat ini bersumber dari bawah bumi, dari depan atau dari belakang, akan tetapi turun dari atas langit”.
2.       Berkata Ishaq bin Rahawaih : “Merupakan kesepakatan di kalangan ahlul ‘ilmi bahwasanya Allah istiwa` di atas Arsy-Nya, Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di lapis bumi yang tujuh, di dasar lautan, di puncak gunung, di perut bumi dan di seluruh tempat sebagaimana Dia mengetahui apa yang ada di langit yang tujuh dan apa yang ada di bawah Arsy, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu”.
(Lihat : Ijtima‘ul Juyusy hal. 171 dan Mukhtashor Al-‘Uluw hal. 194)
3.       Berkata Ibnu ‘Abdil Barr : “Sepakat para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in –yang ilmu ta`wil (tafsir) diambil dari mereka- mereka menta`wilkan (mentafsirkan) firman Allah : “Tidaklah tiga orang berbisik-bisik kecuali Allah yang keempat”, yaitu Dia (Allah) berada di atas Arsy dan Ilmu-Nya di semua tempat dan tidak ada seorangpun -yang menyelisihi mereka- diambil perkataannya sebagai hujjah”. Lihat Mukhtashor Al-‘Uluw hal. 268
4.       Berkata Imam Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah : “Semua makhluk sepakat bahwa apabila mereka berdo’a seluruhnya mengangkat tangannya ke langit. Kalaulah seandainya Allah ‘Azza wa Jalla berada di bawah yaitu bumi, maka tidak mungkin mereka mengangkat tangan ke langit (ketika berdo’a) sedangkan Allah bersama mereka di bumi. Kemudian riwayatnyapun datang secara mutawatir bahwasanya Allah menciptakan Arsy kemudian istiwa` diatasnya dengan Dzat-Nya. Kemudian Allah ciptakan bumi dan langit maka menjadilah doa mereka dari bumi ke langit dan dari langit ke Arsy dan Allah berada di atas langit, di atas Arsy dengan Dzat-Nya, tidak bercampur, (melainkan) berpisah dari makhluk-Nya, Ilmu-Nya bersama mereka dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari Ilmu-Nya”. (Lihat Kitabul ‘Arsy hal. 58)
5.        Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Dan para imam kami –seperti : Ats-Tsaury, Malik, Ibnu ‘Uyyainah, Hammad bin Zaid, Al-Fudhoil, Ahmad dan Ishaq- semuanya sepakat bahwa Allah berada di atas Arsy dengan Dzat-Nya dan sesungguhnya Ilmu-Nya ada di seluruh tempat”. (Lihat : Ijtima‘ul Juyusy hal. 97)
6.       Berkata Abu ‘Umar Ath-Thalmanky di dalam kitabnya yang berjudul Al-Ushul : “Sepakat kaum muslimin dari kalangan Ahlussunnah bahwasanya Allah istiwa` di atas Arsy dengan Dzat-Nya”.
(Lihat : Ijtima‘ul Juyusy hal. 101 dan Syarh Haditsun Nuzul hal. 142).

Dalil-dalil secara akal:
1.      Dari dulu Allah itu ada dan tidak ada sesuatu apapun bersama-Nya kemudian Allah menciptakan makhluk maka tatkala Allah menciptakan mereka maka hanya ada dua kemungkinan, Allah menciptakan  makhluk-Nya berada dalam diri-Nya atau menciptakannya diluar diri-Nya, yang pertama adalah bathil secara pasti dengan kesepakatan. Sebab Allah di sucikan dari hal-hal yang bertentangan dan disucikan merasuk di kotoran-kotoran, Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.
Hal itu mengharuskan Allah berpisah dari makhluk-Nya dan makhluk tidak mungkin bersatu dengan Allah.
2.      Dan dikatakan : kemungkinan  Allah masuk (berada) di alam atau berpisah dengan Alam dan sungguh telah pasti dan harus Allah itu berpisah dengan alam, dan kalau berpisah maka mengharuskan Allah  berada diatasnya, hal ini diperjelas dengan perkara berikut :
3.      Bahwasanya arah diatas adalah arah yang paling mulia dan itu menunjukkan sifat kesempurnaan, tidak ada kekurangan dari sisi manapun juga, maka dengan hal itu mengharuskan akan kekhususan Allah dengan hal tsb dan ini adalahi kelaziman Dzat-Nya maka tidak ada wujud selain Dzat-Nya kecuali Allah tinggi berada diatasnya.
4.      Sesungguhnya diketahui dengan akal yang sehat tidak mungkinnya ada dua wujud salah satunya tidak sederetan pada yang lain dan tidak berpisah darinya dari satu sisipun.
(Lihat : Syarah Aqidah Thohawiyah hal 389-390, Dar`ut Ta’arudh Baina Al-Aql wan Naql 6/143-146 dan 7/3-10, Ar-Radd ‘Alal Jahmiyah karya Imam Ahmad hal 139 dan Al-Fatawa 5/152 dan yang lainnya.)

Dalil-dalil secara fitroh:
  1. Bahwasanya seorang hamba yang masih berada dalam fitrohnya, ia akan mendapatkan suatu perkara yang dhorury (pasti) yaitu tatkala dia berdoa kepada Allah dalam keadaan gawat maka dia akan tujukan/arahkan hatinya kepada Allah yang Maha Tinggi dan berada diatas.
  2. Di mendapatkan gerakan mata dan tangannya dengan isyarat keatas mengikuti isyarat hatinya keatas dan ia mendapatkan hal itu secara dhorury (spontan dan pasti).
  3. Bahwasanya barbagai macam umat telah bersepakat akan hal itu tanpa disengaja.
  4. Mereka mengatakan dengan lisan-lisan mereka : “Bahwa kami mengangkat tangan-tangan kami kepada Allah dan mereka mengabarkan tentang diri-diri mereka bahwa hal itu mereka dapatkan pada hati-hati mereka secara dhorury (spontan dan pasti) mengarah keatas.
(lihat : Naqdhut Ta`sis 2/447, At-Tahmid karya Ibnu Abdil Baar 7/137, Ar-Raddu ‘Alalal Jahmiyyah karya Ad-Darimy hal 37 dan lain-lain).
Dalam masalah ini kebanyakan ulama menyebutkan kisah Abul Ma’aly Al-Juwainy bersama Abu Ja’far Al-Hamadzany.
Secara global kisahnya adalah sebagai berikut :
Pada suatu ketika Al-Hamadzany datang dan ustadz Al-Juwainy berkata di atas mimbar : “Dari dulu Allah ada dan Arsy belum ada”, di mana beliau berusaha menafikan Istiwa`, maka Abu Ja’far Al-Hamadzany membantahnya dan berkata kepadanya : “Tinggalkan kami dari hal ini dan kabarkan kepada kami tentang perkara yang darurat ini yang kami dapatkan di hati-hati kami tidaklah seorang yang ‘Arif berkata “Ya Allah…” sama sekali kecuali ia mendapatkan dari hatinya suatu makna yang menuntut ketinggian, ia tidak akan menoleh kekanan dan tidak pula kekiri maka bagaimana kita  menolak suatu perkara yang dhorury (spontan dan pasti) ini dari hati-hati kami”.
Maka Abul Ma’aly berteriak dan meletakkan tangannya diatas kepalanya dan berkata : “Al-Hamadzany telah membuat saya bingung, Al-Hamadzany telah membuat saya bingung lalu iapun turun dari mimbar”.”
(lihat Al-Fatawa 3/220 dan 4/44,61, Al-Istiqomah 1/167, As-Siyar 18/474-475, Al-‘Uluw karya Adz-Dzahaby hal 177, Thobaqot As-Syafi’iyyah karya As-Subky 3/262-263 dan lainnya dan Syaikh Al-Albany membawakan Atsar dalam Mukhtashor Al-‘Uluw hal 277 bahwa sanad kisah ini shohih musalsal dengan Al-Huffadz.
Dan Syaikhul Islam memberikan catatan kaki terhadap kisah ini dan berkata : “Maka Syaikh ini mengabarkan dari setiap orang yang mengetahui Allah bahwasannya ia mendapatkan di dalam hatinya gerakan yang dhorury (spontan dan pasti) menuju keatas apabila berkata : “Ya Allah…”, dan hal ini mengharuskan bahwa didalam fitroh-fitroh dan perbuatan-perbuatan mereka ada ilmu bahwa Allah itu diatas dan mengarahkannya bahwa arah menghadap kepada-Nya keatas”.
(lihat Naqdhut Ta`sis dengan perantara tahqiq Hamd bin Abdul Hasan At-Tuwaijiry terhadap Al-Fatawa Al-Hamawiyah hal 114.)
Dan termasuk kisah yang sangat baik untuk diangkat dan disebutkan disini adalah peristiwa yang terjadi antara Syaikhul Islam dengan salah seorang Syaikh yang menafikan Al-‘Uluw, berkata Syaikhul Islam mengabarkan hal itu “Sesungguhnya telah terjadi pada diriku dengan mereka yang menafikan hal ini yakni sifat Al-‘Uluw, dengan salah seorang masya`ikh mereka dan dia meminta dariku suatu keperluan maka sayapun mengajaknya bicara tentang masalah ini seakan-akan saya tidak mengingkarinya. Kemudian saya mengakhirkan untuk memenuhi keperluannya sehingga dadanya menjadi sempit maka iapun mengangkat matanya dan kepalanya kearah langit dan berkata : “Ya Allah…”, maka saya pun berkata kepadanya, kamu menguatkan dan membenarkan orang yang mengangkat mata dan kepalanya !? apakah di atasmu ada seseorang ? maka ia berkata Astghfirullah dan ia pun rujuk kembali dari hal itu takkala telah jelas bahwa keyakinannya menyelisihi fitrohnya, kemudian saya menjelaskan rusaknya perkataan ini maka iapun bertaubat dari hal ini itu dan rujuk pada perkataan kaum muslimin yang telah tetap pada fitroh-fitroh mereka”. (Dar`ut-Ta’arudh  Al-‘Aql wan Naql 6/343-344).

[1] Singgasana Allah, Allah istiwadiatasnya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Dan Al-Arsy adalah salah satu makhluk Allah yang sangat besar.
[2] Baca uraian lengkap tentang takhrij dan penjelasan ucapan beliau ini dari tulisan Syaikh Doktor ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin ‘Al-‘Abbad dalam Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyah no. 111 dan 112 tahun 1421 H.
http://al-atsariyyah.com/dimana-allah.html 

Di Mana Allah ??

Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu; dia berkata, ”Aku mempunyai seorang budak perempuan yang menggembalakan kambingku di antara gunung Uhud dan Al-Jawaniyah. Suatu hari aku mengawasinya; tiba-tiba seekor serigala menerkam kambing yang dia gembalakan. Sebagai manusia biasa, tentu saja aku merasa kecewa sebagaimana orang lain kecewa. Aku pun memukul dan menampar budakku itu. Kemudian aku menemui Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menegurku. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa aku harus memerdekaannya?’ Beliau berkata, ‘Bawa dia kemari.’
Kemudian beliau bertanya kepadanya, ‘Di mana Allah?’
Budak itu menjawab, ‘Di langit.’
Beliau berkata, ‘Siapakah aku?’
Dia menjawab, ‘Engkau adalah Rasulullah.’
Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Sesungguhnya dia seorang mukminah.’” (HR.Muslim dan Abu Dawud)
Faedah hadits
  1. Ketika para sahabat mendapat permasalahan sekecil apa pun, mereka mengembalikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengetahui hukumnya.
  2. Berhukum kepada Allah dan Rasulullah adalah bentuk pengamalan firman Allah Ta’ala, yang artinya, ”Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ : 65)
  3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak setuju dengan tindakan sahabat tersebut yang memukul budak perempuannya, dan beliau menganggap tindakan pemukulan tersebut sebagai persoalan yang besar.
  4. Memerdekaan budak hanya khusus bagi budak yang mukmin, bukan budak kafir, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji budak tersebut. Ketika mengetahui keimanannya, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Andai saja budak tersebut masih kafir, pasti beliau tidak memerintahkan untuk dimerdekakan.
  5. Wajibnya menanyakan masalah tauhid, di antaranya adalah tentang ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya. Mengetahui hal tersebut adalah wajib.
  6. Disyariatkan untuk bertanya ”di manakah Allah?”. Ini adalah sunnah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  7. Disyariatkan menjawab ”Allah ada di langit” (yakni di atas langit). Ini sesuai dengan ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap jawaban seorang budak perempuan tersebut. Jawaban tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran, yang artinya, ”Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersamamu?” (QS. Al-Mulk : 6)
  8. Sahnya keimanan itu tergantung persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang membawa risalah.
  9. Bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah beserta Dzat-Nya ada di setiap tempat. Yang benar, Allah itu beserta kita dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.
  10. Permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – agar menghadirkan budak perempuan tersebut untuk diuji – merupakan dalil bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara gaib, yaitu tentang keimanaan budak wanita tersebut. Ini juga sebagai bantahan terhadap kaum sufi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mengetahui perkara gaib.

Disalin dari buku Nasehat-Nasehat Nabawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerjemah: Ustadz Abul Hasan (pengajar di Mahad Jamilurrahman, Yogyakarta), penerbit: Maktabah Al-Hanif.
Dengan sedikit pengeditan oleh Redaksi Muslimah.Or.Id
Artikel www.muslimah.or.id
https://muslimah.or.id/5443-di-mana-allah.html 

Dimanakah Allah ??

Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala tempat?

Seorang Budak Pun Tahu Dimana Alloh
Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)
Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh.
Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-‘Uluw (sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-‘Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang. Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.

Dalil-Dalil Al Qur’an
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya. Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.

Dalil-Dalil As Sunnah
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-‘Uluw)
Akan tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan. Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini? Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata? Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?

Konsekuensi Jawaban yang Keliru
Alangkah batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena hal ini berarti Alloh itu tidak ada (??) maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi” mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah ditegakkan hujjah atas mereka.

Dalil Fitrah
Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli tentang keberadaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?” dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan.
***
Penulis: Abu Ibrohim Hakim
Artikel www.muslim.or.id
https://muslim.or.id/232-dimanakah-alloh.html

Minggu, 29 Mei 2016

Dimana Allah ,, ?

DIMANA ALLAH..?
Oleh
Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani
Suatu ketika syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas disini :
Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah bertanya : “Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah bersemayam di atas Arsy?
Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan syaikh Al-Albani, dan syaikh-pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan : “Kami berharap demikian.”
Syaikh berkata kepadanya : “Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!”
Lalu, diapun menjawab dengan tegas bahwasanya mereka tidak mengetahui hal itu. Maka, syaikh berkata : “Cukuplah bagiku jawabanmu ini!”
Prinsip Tasfiyyah (pemurnian) dan Tarbiyyah (mendidik) mengharuskan pertanyaan diatas yang merupakan barometer yang paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama’ah-jama’ah pada zaman ini yang menyerukan jihad. Sebab, orang yang tidak mampu memurnikan akidah para pendukung dan pecintanya, tentu ketidak mampuannya akan lebih nampak pada pemurnian (buah dari aqidah tersebut), baik dalam akhlak, perilaku maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yang membenci dan memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d : 11]
Selanjutnya, jihad itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dengan sebuah umat yang hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mu’min, dan yang mempersatukan hati mereka.” [Al-Anfaal : 62-63]
Sedangkah hati-hati itu, jika tidak disatukan diatas aqidah salafus shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yang tidak akan mungkin dapat disatukan dengan persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan mengarahkan firman-Nya kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah atas mereka.
“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu.” [Al-Baqarah : 137]
Bagaimanapun yang telah diupayakan oleh para “Buih politik” itu, berupa pengumpulan (masa pendukung), namun sesungguhnya permulaan aqidah mereka mengarah kepada suatu sikap “Tamyi” (sikap menerima siapa saja yang mendukung mereka tanpa memperhatikan aqidah yang dianutnya) dan akan berakhir dengan perpecahan dan saling membid’ahkan.
Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yang bersifat jasmani tidak akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati bercerai-berai. Dan saya tidak menjumpai suatu sifat (gambaran) yang lebih tepat dan benar untuk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi :
“Artinya : Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah.” [Al-Hasyr : 14]
Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasan yang baik bagi hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya saja. Tanpa menyekutukan-Nya, Allah berfirman :
“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku” [An-Nur : 55]
Bagian terdepan ayat ini tidak boleh ditolak dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah untuk membatalkannya, karena seorang muslim adalah orang yang senantiasa berhenti pada nash (ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
“Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nahl : 74]
Adapun pembatasan syaikh Al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pada masalah istiwa (bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa merupakan persimpangan jalan yang memisahkan antara ahlussunnah dan para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah aqidah yang mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yang hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka telah menaklukkan dunia ini dan memimpin umat-umat yang beraneka ragam. (Aqidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.
Ujian itu dilakukan oleh syaikh Al-Albani dengan menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yang beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya dan berada di atas garis kejahilan (orang-orang yang hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh para salafus shalih, meskipun dibenci oleh setiap khalaf (orang yang datang sesudah mereka) yang tidak menempuh jalan dan cara mereka.
Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
“Artinya : Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan (kepadanya) : ‘Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?’ Beliau berkata : ‘Panggillah ia!’ Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya : ‘Dimana Allah?’ Wanita itu menjawab : ‘Diatas’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku?’ Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah!’ Beliau berkata : ‘Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman’.” [Ahmad V/447, Muslim No. 537]
Maka, perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut (semoga Allah merahmati anda), yang mana Rasulullah berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dengan seksama realita masyarkat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dengan seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yang sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dengan perjuangan masyarakat muslimin yang pertama.
Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) diatas aqidah “ainallah” (dimana Allah)?
Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yang telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yang diperolok-olokan oleh para pengasuh jama’ah-jama’ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah Azza wa Jalla, meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla ?
Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah ?
“Artinya : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” [Yusuf : 21]
Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum mengandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla diatas ‘Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasannya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
“Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” [Al-A’raaf : 96]
Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dengan hak Allah. Adapun perhatian terhadap “Sifat istiwa’ Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya” merupakan perhatian yang murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yang mengajak menusia kepada penetapan dan iman kepada sifat ini tidak mendapat bagian untuk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.
Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan “Hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla ” yang disertai dengan sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang murni atau mengakhirkannya atau menjadikannya sebagai suatu masalah yang berada pada urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yang menunjukkan bahwa pada urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yang paling mulia yang diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Semua ini semakin memberi penekanan yang kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah / ajakan para Nabi alaihimussalam yang telah menyatakan kepada umat-umat mereka :
“Artinya : Beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia.” [Al-A’raaf : 59]
Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yang terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yang terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas untuk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/ kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman, renungkanlah !!!
[Diterjemahkan dari kitab Sittu Durror karya Syaikh Abdul Malik Al-Jazairi, oleh Abu Abdillah]
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 th. II Sya’ban 1425H/Oktober 2004M. Diterbitkan Ma’had Ali-AlIrsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
https://almanhaj.or.id/2271-dimana-allah.html