Rabu, 18 Mei 2016

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS SANAD SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF

MAKALAH
PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS SANAD  SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
‘ULUMUL HADITS
DOSEN : M. ASEP FATHUR ROZI, M.Pd.I
Oleh:
MUHAMMAD HAMKA SAFI’I
YUSUUF ARIFIN
PAI B / II
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
April 2016


KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH Subhaanahu Wata’aalaa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang di ajukan untuk memenuhi salah satu mata tugas kuliah“Ulumul Hadits” di STAIM Tulungagung.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam yang telah membimbing kita dari jaman jahiliah munuju ke zaman terang yakni agama islam.
Dengan selesainya makalah ini dengan judul “Pembagian Hadits dari Segi Kualitas Sanad Shahih, Hasan dan Dha’if ” Penyusun mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat  :
1.    Bapak Nurul Amin M.Ag Selaku Rektor STAI Muhammadiyah Tulungagung.
2.   M. Asep Fathur RoziM.Pd.I selaku Dosen Pembimbing  kami dalam pembuatan makalah ini. 
3.    Serta teman-teman yang telahbanyakmembantu dalammenyelesaikanmakalahini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Untuk itu dengan kerendahan hati,kami mengharap kepada semua pihak segala kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulilah atas selesainya masalah yang kami buat ini, teriringi doa semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.
                                                                                                 Tulungagung, 20April 2016
                                                                                                               Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................                      i
KATA PENGANTAR ...............................................................................                      ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................                      iii
BAB I  :          PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang masalah..............................................                      1
B.           Rumusan Masalah.......................................................                      1
C.           Tujuan Masalah...........................................................                      1
BAB II :         PEMBAHASAN
A.           Hadist shahih..............................................................                      2
B.           Hadist hasan................................................................                      3
C.           Hadist dhoif................................................................                      4
1.    Hadist Mursal.........................................................                      4
2.    Hadist Muqathi’.....................................................                      5
3.    Hadist Mu’dhal......................................................                      5
4.    Hadist Mudallas.....................................................                      5
5.    Hadist Mudhtharib.................................................                      7
6.    Hadist Maqluub......................................................                      7
7.    Hadist Syaadz........................................................                      7
8.    Hadist Munkar.......................................................                      8
9.    Hadist Matruuk......................................................                      8
10. Hadist Mu’allal.....................................................                      8
BAB III:         PENUTUP
                        KESIMPULAN...................................................................                      10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................                      11
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang berbagai kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja.Misalnya hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya yang tentu peninjauan inti tersebut adalah bagaimana derajat hadist itu sendiri.Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini kami akan membahas pembagian hadits dari segi kualitas sanad baik dia shahih, hasan ataupun dha’if.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud pembagian hadits dari segi kualitas sanad?
2.      Apa yang dimaksud dengan hadits Shahih, Hasan atau Dha’if itu?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Agar kita mengetahui pembagian hadits dari segi kualitas sanad.
2.      Agar kita bisa memahami secara rinci apa itu yang dimaksud dengan hadits Shahih, Hasan ataupun Dha’if.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih
1. Definisi Hadits Shahih
Kata “Shahih” dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata “as-saqim” orang yang sakit, jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dhabth, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa  adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).[1]
Atau bisa disimpulkan juga bahwa hadits shahih adalah hadits yang sanadnya muttashil (bersambung) melalui periwayatan para perawi yang ‘adil, dhabth dan mutqin di setiap thabaqahnya hingga berakhir ke ujung sanadnya, terbebas dari berbagai penyakit seperti syaadz (keganjilan) ataupun mu’allal (mempunyai cacat atau ‘illat).
Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi.Shahih lidzatihi (dalam bahasa Indonesia bermakna : shahih dengan zatnya) yaitu hadits yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan diatas, atau dengan kata lain, ia memang telah shahih dengan sendirinya tanpa bantuan penguat dari jalur lain. Adapun shahih lighairihi (bermakna : shahih dengan selainnya) yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas secara maksimal seperti misalnya diantara para perawinya ‘adil namun ada yang kurang dhabth atau kurang mutqin, dan ia dikuatkan oleh perawi lain yang satu thabaqah dengannya dari jalur yang lain, jadi ia shahih dengan bantuan penguat dari jalur lain.
Diantara syarat-syarat perawi ‘adil, yaitu ia haruslah beragama Islam, telah baligh, berakal atau mumayyiz, selamat dari sifat fasiq dan selamat dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak Islami. 3 syarat pertama diwajibkan ketika ia menyampaikan hadits, adapun untuk menerima hadits maka tidak disyaratkan ia telah baligh dan mumayyiz.Dan kedhabithan para perawi hadits terbagi menjadi dua, yaitu dhabth hapalan (hifzh), maksudnya adalah ia menguasai hadits dengan hapalan-hapalannya. Yang kedua adalah dhabth kitab, maksudnya adalah ia menguasai hadits dengan bantuan catatan-catatannya atau kitabnya. Oleh karena itu kerapkali kita temukan perkataan para ulama ketika men-jarh wa ta’diil mengenai seorang perawi, “Fulan shahih jika meriwayatkan dari kitabnya, adapun dari hapalannya maka ia dha’iif,” dan sebaliknya.
Kelemahan untuk kedhabithan jenis pertama adalah jika perawi tersebut mengalami penurunan kualitas hapalan di akhir umurnya atau beberapa tahun sebelum wafatnya, biasanya karena ikhtilaath yaitu hapalannya bercampur baur sehingga ia sulit membedakan mana hadits yang ia riwayatkan mana hadits yang diriwayatkan orang lain, dan juga karena taghayyur yaitu hapalannya berubah. Oleh karenanya, para ulama membuat kaidah untuk para perawi tsiqah yang mengalami hal ini yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan darinya sebelum ia mengalami ikhtilaath atau taghayyur maka hadits-haditsnya bisa diterima, adapun untuk hadits-hadits yang diriwayatkan darinya setelah ia ikhtilaath atau taghayyur maka haditsnya tidak dijadikan hujjah kecuali dengan adanya penguat dari jalur lain.
Sedangkan kelemahan untuk dhabith jenis kedua adalah jika kitab-kitabnya tersebut terbakar atau dicuri orang, maka ia pun tidak bisa lagi membedakan mana hadits-haditsnya, mana hadits orang lain, akibatnya hapalannya pun menjadi bercampur-baur karena ia sangat menggantungkan hapalannya kepada kitab-kitabnya tersebut.[2]
B. Hadits Hasan
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah.[3]Definisinya adalah hadits yang sanadnya muttashil melalui periwayatan para perawi ‘adil namun lebih rendah dari sisi dhabth atau mutqin, dan terbebas dari segala macam syaadz atau ‘illat.Sebagaimana hadits shahih, maka hadits hasan pun terbagi lagi menjadi dua, yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighairihi.Hasan lidzatihi yaitu hadits hasan yang telah memenuhi persyaratan yang telah disebutkan diatas atau dengan kata lain ia adalah hadits hasan dengan sendirinya tanpa memerlukan bantuan penguat dari jalur lain. Adapun hasan lighairihi yaitu hadits yang didalamnya terdapat perawi majhuul (tak dikenal,) atau jujur namun sering melakukan kesalahan ataupun perawi yang kadar kelemahannya ringan, namun ia mendapatkan penguat dari jalur lain, bisa dari perawi yang lebih tsiqah darinya ataupun yang sederajat dengannya, jadi hadits hasan lighairihi asalnya adalah hadits dha’if yang naik menjadi hasan karena ia dibantu dari jalur lainnya, namun jika ia tidak ada penguat maka ia tetap dalam kedha’ifannya.
Hadits hasan dengan kedua jenisnya diatas dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana hadits shahih walaupun kekuatan hujjahnya berada dibawah hadits shahih. Adapun prasangka sebagian orang pada masa kini bahwa dengan banyaknya jalur periwayatan maka ia bisa menaikkan hadits dha’if menjadi hasan atau shahih, maka perkataan ini harus diteliti lebih lanjut, dikarenakan perawi pendusta (kadzdzab) ataupun perawi yang disepakati untuk ditinggalkan hadits-haditsnya (matruuk atau muttaham bil kadzib), hadits-hadits mereka tidaklah bisa dijadikan penguat. Oleh karena itu jika sebuah hadits dha’if yang ia punya banyak jalur periwayatan namun dalam sanadnya diisi oleh perawi-perawi pendusta ataupun matruuk, maka jalur-jalur ini tidak bisa saling menguatkan, malah ia akan semakin mengukuhkan kelemahan hadits tersebut.
C.  Hadits Dha’if
Definisinya adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hasan. Adapun klasifikasi hadits-hadits dha’if baik dari sisi penelitian sanad maupun matan, maka ia terbagi menjadi banyak jenis, kami akan sebutkan secara ringkas, diantaranya adalah :
1. Hadits Mursal
Definisinya adalah sebuah hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’in kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa menyebutkan perantara sahabat yang meriwayatkan kepada tabi’in tersebut.Hadits mursal dihukumi dha’if namun para ulama berbeda pendapat apakah ia bisa dijadikan hujjah atau tidak. Abu Haniifah dan Maalik berpendapat boleh dijadikan hujjah secara mutlak, sedangkan An-Nawawiy menyebutkan bahwa hadits mursal tidak boleh dijadikan hujjah secara mutlak, dan ini adalah pendapat Asy-Syaafi’iy serta mayoritas ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh, ada pula yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan hujjah jika ia diperkuat dari jalur musnad yang lain.
2. Hadits Munqathi’[4]
Definisinya adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau bisa jadi munqathi’ karena ada perawi yang mubham (tidak disebutkan namanya, biasanya hanya disebutkan “dari seorang laki-laki)
Apa beda inqitha’ (terputus)dengan irsal?
Secara umum tidak ada bedanya, namun biasanya para ulama membedakan irsal dengan inqitha’ yaitu irsal dari sisi gugurnya perawi pada thabaqah (tingkatan dari para perawi hadits) sahabat, sementara inqitha’ tidak ada batasan thabaqah, walaupun para prakteknya seringkali para ulama menyebut hadits munqathi’ dengan hadits mursal[5].
3. Hadits Mu’dhal
Definisinya adalah hadits yang dalam sanadnya gugur dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.
4. Hadits Mudallas
Definisinya adalah hadits yang didalam sanadnya terdapat seorang perawi yang melakukan tadlis, yaitu ia menyembunyikan perantara syaikh yang ia mengambil riwayat darinya namun ia langsung menyebutkan syaikh yang diambil riwayatnya dari syaikhnya tersebut. Gambaran singkatnya adalah :
Fulan A —> Syaikh B —> Syaikh C
Fulan A melakukan tadlis, maka menjadi :
Fulan A —> Syaikh C, Fulan A tidak menyebutkan Syaikh B yang menjadi perantaranya.
Tadlis ini termasuk jenis ‘illat hadits tersamar yang tidak semua orang bisa mengetahuinya karena mudallis biasanya menggunakan lafazh yang tidak mengisyaratkan secara pasti bahwa ia mendengar, seperti misalnya lafazh ‘an’anah (‘an = dari). Jenis ‘illat ini hanya bisa diketahui oleh para ulama hadits yang mengenal para perawi dengan baik termasuk mengenal kebiasaan-kebiasaan mereka ketika meriwayatkan suatu hadits dari syaikhnya.
Tadlis terbagi menjadi dua jenis :
a.     Tadliis Al-Isnaad, yaitu seorang perawi yang berkata bahwa ia meriwayatkan dari orang yang semasa dengannya namun perawi tersebut tidak pernah bertemu dengan orang itu, atau mereka pernah bertemu namun hadits yang ia riwayatkan itu tidak didengarnya dari orang tersebut melainkan dari orang lain. Biasanya perawi yang melakukan tadlis jenis ini menggunakan lafazh yang mengisyaratkan dugaan mendengar langsung, misalnya, “Qaala Fulaan (Fulan berkata)”, “‘An Fulaan (dari Fulan)”. Seandainya perawi mudallis mengatakan “haddatsani fulaan (telah menceritakan kepadaku fulan),” pada riwayat yang ia tidak mendengarnya langsung, maka ini artinya ia telah berdusta dan ia bukan lagi termasuk perawi mudallis namun jatuh kepada derajat kadzdzab dan haditsnya jelas tertolak.
Termasuk dalam jenis tadlis sanad ini adalah tadlis taswiyah, yaitu seorang perawi yang menggugurkan syaikhnya atau syaikh dari syaikhnya, bisa karena kedha’ifan syaikhnya tersebut, atau karena ia mendengarnya dari seorang yang masih kecil, dan buruknya adalah perawi mudallis ini menyamaratakan sanadnya seakan-akan ia bertemu langsung dengan para syaikh yang tsiqah. Para ulama mengecam jenis tadlis ini sebagai jenis tadlis terburuk, bahkan Syu’bah bin Al-Hajjaaj berkata, “Andaikan aku berzina maka itu lebih kusukai dibandingkan aku berbuat tadlis.” Perkataan beliau ini menunjukkan tercelanya tadlis walaupun tidak bisa dikatakan mereka telah berdusta. Diantara para perawi yang kerapkali melakukan tadlis ini adalah Al-Waliid bin Muslim dan Baqiyyah bin Al-Waliid.
b.    Tadliis Asy-Syuyuukh, yaitu perawi yang menyamarkan nama syaikhnya dengan hanya menyebutkan nama kuniyahnya, laqabnya atau nisbatnya atau memberi sifat yang tidak dikenal. Tadlis ini lebih ringan dibanding jenis tadlis pertama karena perawi tidak menggugurkan syaikhnya melainkan ia hanya menyamarkan sehingga tidak diketahui orang, namun pada asalnya tetap tercela karena ini menyulitkan pengecekan keshahihan hadits dikarenakan tersembunyinya jati diri syaikhnya. Dan tingkat celanya akan menjadi buruk apabila diketahui bahwa syaikhnya tersebut ternyata dha’if.Para ulama telah mengklasifikan perawi-perawi mudallis ini ke dalam berbagai tingkatan mulai dari yang jarang melakukan tadlis hingga ke yang berat. Contoh kitab yang membahas ini adalah kitab karya Al-Haafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar, yaitu Thabaqaatul Mudallisiin atau nama lainnya Ta’riifu Ahlut Taqdiis. Dalam kitabnya ini, beliau rahimahullah menyusun thabaqah para mudallis mulai dari thabaqah pertama yaitu perawi yang sangat jarang melakukan tadlis hingga thabaqah kelima yaitu perawi yang memang dha’if sehingga bila ia melakukan tadlis atau menyatakan dengan jelas penyimakannya, riwayatnya tetap tertolak. Silahkan untuk merujuk ke kitab tersebut untuk keterangan lengkapnya.
5. Hadits Mudhtharib
Definisinya adalah hadits yang diriwayatkan dengan perbedaan pada sanad atau matannya (atau bisa kedua-duanya) yang tidak memungkinkan untuk ditarik tarjih sebagian atas sebagian yang lain. Jika dalam suatu kasus hadits tersebut bisa dilakukan tarjih, maka namanya bukan lagi mudhtharib namun namanya menjadi rajiih (untuk hadits yang ditarjih) dan marjuuh (untuk hadits yang tertolaknya).
6. Hadits Maqluub
Definisinya adalah hadits yang mengalami pemutarbalikkan pada matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya, atau bisa juga terputar baliknya suatu sanad untuk matan yang lain. Contoh hadits maqluub yang terbalik pada matannya adalah pada hadits, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tiada naungan kecuali naunganNya…,” hingga pada matan, “…Dan seseorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kirinya.” Redaksi matan inilah yang disusun terbalik karena seharusnya, “…Sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”
7. Hadits Syaadz,
Definisinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbuul namun iamenyendiri (tafarrud) atau menyelesihi (mukhalafah) riwayat perawi yang lebih tsiqah darinya. Contoh hadits syaadz adalah, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh dan rambutnya dicukur, dan dilumuri dengan darah,” perawi pada hadits ini yaitu Hammaam bin Yahyaa (ia tsiqah), menyelisihi perawi-perawi tsiqah lain yang meriwayatkan dari Qataadah dengan lafazh “yusamma (diberi nama),” dan Hammaam menyendiri didalam meriwayatkan lafazh “yudamma (dilumuri darah).” Demikianlah yang dijelaskan Al-Imam Abu Daawud dalam sunannya. Hadits syaadz jika bisa ditarjih maka hadits yang rajih disebut mahfuuzh dan yang marjuuh itulah disebut syaadz.
8. Hadits Munkar
Definisinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang mana ia berbeda dengan perawi-perawi yang tsiqah. Kriterianya sama dengan hadits syaadz yaitu adanya tafarrud dan atau mukhalafah dari perawi-perawi yang tsiqah, hanya saja bedanya jika hadits syaadz berasal dari perawi yang juga tsiqah, hadits munkar berasal dari perawi yang dha’if. Hadits munkar jika ia diselisihi oleh hadits dari perawi tsiqah, maka hadits dari perawi tsiqah inilah yang diambil dan ia disebut hadits ma’ruuf, adapun yang marjuuh maka itulah yang disebut munkar.
9. Hadits Matruuk
Disebut matruuk yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang berstatus “muttaham bil kadzib” (tertuduh berdusta), bisa karena ia diketahui sering berdusta baik ketika sedang meriwayatkan hadits Nabi maupun dalam kehidupan sehari-harinya, terlihat kefasikannya melalui perbuatan atau kata-katanya, atau karena para ulama sepakat meninggalkan hadits-haditsnya (matruukul hadiits). Hadits jenis ini termasuk ke dalam golongan hadits dha’iif jiddan (lemah sekali) dan ia merupakan tingkat hadits dha’if terendah, dan harus pula kita perhatikan bahwa hadits yang dikategorikan jenis ini tidak bisa dijadikan hujjah baik untuk fadhilah amal ataupun menjadi penguat.
10. Hadits Mu’allal
 Hadits yang secara zhahir terlihat shahih baik dari sisi sanad maupun matannya, namun setelah diteliti melalui penelitian yang seksama, ternyata ia mempunyai cacat tersembunyi yang menjatuhkan keshahihan hadits tersebut menjadi dha’if. Hadits jenis ini dikatakan mempunyai ‘illat, atau secara ilmu musthalah disebut hadits Mu’allal. Pada intinya jenis hadits-hadits yang telah kami sebutkan diatas termasuk dalam kategori mu’allal karena tidaklah ‘illat hadits itu muncul melainkan dikarenakan adanya irsal, inqitha’, tadliis, maqluub, idhtiraab, syaadz dan lain-lain.Ilmu ‘Ilal hadits termasuk dalam cabang ilmu hadits yang paling rumit dan paling tinggi ma’rifahnya dikarenakan tidak sembarangan orang bisa mengetahui cacat tersembunyi dari suatu hadits melainkan ia haruslah dari kalangan ulama kritikus yang haafizh lagi mutqin, mempunyai ma’rifah yang tinggi terhadap para perawi hadits, cermat dalam meneliti dan mengetahui sanad-sanad juga matan-matan hadits. Diantara para ulama yang menguasai bidang ini adalah Syu’bah bin Al-Hajjaaj, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, ‘Aliy bin Al-Madiiniy, Al-Bukhaariy, Abu Daawud As-Sijistaaniy, An-Nasaa’iy, Abu Haatim dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy, Abul Hasan Ad-Daaruquthniy dan lain-lain –rahimahumullah-. Mereka telah menyusun kitab-kitab ‘ilalul hadiits yang khusus menghimpun hadits-hadits mu’allah didalamnya, ataupun kitab-kitab tersebut disusun oleh para murid mereka yang kadang juga terhimpun dalam kitab-kitab su’aalaat yaitu kitab yang berisi kumpulan tanya jawab mereka dengan para muridnya tersebut mengenai status perawi, sanad hadits, taariikh perawi dan sebagainya.

BAB III
        PENUTUP
KESIMPULAN
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang berbagai kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits. Misalnya hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya yang tentu peninjauan inti tersebut adalah bagaimana derajat hadist itu sendiri.
Pembagian hadits dari segi kualitas sanad dapat dibagi menjadi tiga yaitu: shahih, hasan dan dha’if. hadits shahih adalah hadits yang sanadnya muttashil (bersambung) melalui periwayatan para perawi yang ‘adil, dhabth dan mutqin di setiap thabaqahnya hingga berakhir ke ujung sanadnya, terbebas dari berbagai penyakit seperti syaadz (keganjilan) ataupun mu’allal (mempunyai cacat atau ‘illat).
Hadist Hasan adalah hadits yang sanadnya muttashil melalui periwayatan para perawi ‘adil namun lebih rendah dari sisi dhabth atau mutqin, dan terbebas dari segala macam syaadz atau ‘illat.
Hadist dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hasan. Hdis dhaif dibagi menjadi beberapa yaitu; hadist mursal, hadist muqathi’, hadist mu’dhal, hadist mudallas, hadist mudhtharib, hadist maqlub, hadsit syaadz, hadist munkar, hadist matruuk, dan hadist mu’allal.

DAFTAR PUSTAKA
 Ahmad,Abu. Ringkasan Daurah Musthalahul Hadits (bagian 2), December 8, 2013  oleh Al-Ustadz Abu Yahyaa Badrussalam, Lc -hafizhahullah- di masjid Al-Barkah, Cileungsi, pada hari Ahad, 27 Muharram 1435 H .https://muhandisun.wordpress.com/2013/12/08/ringkasan-daurah-musthalahul-hadits-bagian-2/
Muhammad Abduh Tuasikal, Apakah Hadits Mursal Bisa Dijadikan Hujjah? ,https://rumaysho.com/1088-apakah-hadits-mursal-bisa-dijadikan-hujjah.htmlJun 18, 2010.

[2] . Abu Ahmad ,Ringkasan Daurah Musthalahul Hadits (bagian 2), December 8, 2013oleh Al-Ustadz Abu Yahyaa Badrussalam, Lc -hafizhahullah- di masjid Al-Barkah, Cileungsi, pada hari Ahad, 27 Muharram 1435 H, dengan beberapa penambahan dari kami yang tidak mengubah esensi tema.https://muhandisun.wordpress.com/2013/12/08/ringkasan-daurah-musthalahul-hadits-bagian-2/
[4] . Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, berkata “Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”http://www.zulfanafdhilla.com/2013/10/pengertian-hadits-munqathi.html , Jan29,2016.
[5] . Hadits mursal masuk dalam pembahasan hadits-hadits yang terputus sanadnya.Secara istilah, hadits mursal berarti hadits yang di akhir sanad, yaitu di atas tabi’in terputus. Muhammad Abduh Tuasikal, Apakah Hadits Mursal Bisa Dijadikan Hujjah?,https://rumaysho.com/1088-apakah-hadits-mursal-bisa-dijadikan-hujjah.htmlJun 18, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar