Selasa, 31 Mei 2016

Di Mana Allah ??

Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu; dia berkata, ”Aku mempunyai seorang budak perempuan yang menggembalakan kambingku di antara gunung Uhud dan Al-Jawaniyah. Suatu hari aku mengawasinya; tiba-tiba seekor serigala menerkam kambing yang dia gembalakan. Sebagai manusia biasa, tentu saja aku merasa kecewa sebagaimana orang lain kecewa. Aku pun memukul dan menampar budakku itu. Kemudian aku menemui Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menegurku. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa aku harus memerdekaannya?’ Beliau berkata, ‘Bawa dia kemari.’
Kemudian beliau bertanya kepadanya, ‘Di mana Allah?’
Budak itu menjawab, ‘Di langit.’
Beliau berkata, ‘Siapakah aku?’
Dia menjawab, ‘Engkau adalah Rasulullah.’
Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Sesungguhnya dia seorang mukminah.’” (HR.Muslim dan Abu Dawud)
Faedah hadits
  1. Ketika para sahabat mendapat permasalahan sekecil apa pun, mereka mengembalikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengetahui hukumnya.
  2. Berhukum kepada Allah dan Rasulullah adalah bentuk pengamalan firman Allah Ta’ala, yang artinya, ”Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ : 65)
  3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak setuju dengan tindakan sahabat tersebut yang memukul budak perempuannya, dan beliau menganggap tindakan pemukulan tersebut sebagai persoalan yang besar.
  4. Memerdekaan budak hanya khusus bagi budak yang mukmin, bukan budak kafir, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji budak tersebut. Ketika mengetahui keimanannya, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Andai saja budak tersebut masih kafir, pasti beliau tidak memerintahkan untuk dimerdekakan.
  5. Wajibnya menanyakan masalah tauhid, di antaranya adalah tentang ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya. Mengetahui hal tersebut adalah wajib.
  6. Disyariatkan untuk bertanya ”di manakah Allah?”. Ini adalah sunnah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  7. Disyariatkan menjawab ”Allah ada di langit” (yakni di atas langit). Ini sesuai dengan ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap jawaban seorang budak perempuan tersebut. Jawaban tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran, yang artinya, ”Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersamamu?” (QS. Al-Mulk : 6)
  8. Sahnya keimanan itu tergantung persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang membawa risalah.
  9. Bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah beserta Dzat-Nya ada di setiap tempat. Yang benar, Allah itu beserta kita dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.
  10. Permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – agar menghadirkan budak perempuan tersebut untuk diuji – merupakan dalil bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara gaib, yaitu tentang keimanaan budak wanita tersebut. Ini juga sebagai bantahan terhadap kaum sufi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mengetahui perkara gaib.

Disalin dari buku Nasehat-Nasehat Nabawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerjemah: Ustadz Abul Hasan (pengajar di Mahad Jamilurrahman, Yogyakarta), penerbit: Maktabah Al-Hanif.
Dengan sedikit pengeditan oleh Redaksi Muslimah.Or.Id
Artikel www.muslimah.or.id
https://muslimah.or.id/5443-di-mana-allah.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar