Senin, 25 Desember 2017

Ucapan Shodaqollahull Adzim untuk penutup tilawah Qurán, Sunnah, apa Bidáh?

 Kita sering mendengar setiap kali qori’ membacakan Al Qur’an lantas ditutup dengan ‘shodaqallahul ‘azhim’ (Maha benar Allah dengan segala firman-Nya). Apakah bentuk ucapan seperti ini setelah selesai membaca Al Qur’an itu masyru’ atau terdapat tuntunan dalam Islam?


Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah pernah menjelaskan dalam fatwanya sebagai berikut:
Banyak orang yang membiasakan mengucapkan ‘shodaqollahul ‘azhim’ ketika selesai membaca Al Qur’an Al Karim, padahal sebenarnya amalan ini tidak ada dasarnya (amalan yang diada-adakan yang sering dikenal dalam islam dengan istilah Bid'ah). Tidak boleh membiasakan bacaan ini, bahkan kalau ditimbang-timbang dengan aturan syari’at amalan ini termasuk amalan tanpa tuntunan jika diyakini oleh yang membacanya bahwa aamalan tersebut sunnah. Sehingga sepantasnya amalan itu tidak diteruskan (ditinggalkan). Janganlah dibiasakan karena tidak ada dalil yang mendukungnya. Sedangkan ayat yang menyebutkan,
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ
Ucapkanlah: shodaqallahu[1] bukanlah dimaksudkan untuk hal ini. Ayat tersebut adalah perintah Allah untuk menjelaskan mengenai kebenaran kitab Allah yaitu taurat dan lainnya. Allah pun membenarkan isi Al Qur’an Al ‘Azhim kepada hamba-Nya. Namun sekali lagi, ayat tersebut bukan dalil untuk menyatakan disunnahkannya mengucapkan bacaan tadi setelah membaca Al Qur’an atau setelah membaca beberap ayat atau membaca surat. Karena tidak pendukung pula maksud tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Satu hal lagi yang menguatkan, tatkala Ibnu Mas’ud membacakan awal-awal surat An Nisa’ di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai pada firman Allah,

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”[2] Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Cukup, cukup.” Ibnu Mas’ud ketika itu menoleh dan melihat nabi sedang menangis karena beliau mengingat kedudukan mulia untuknya di hari kiamat yang disebutkan dalam ayat ini, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (wahai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).
 Dan tidak ada satu nukilan dari para ulama -sejauh yang kami ketahui- yang menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud selesai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ‘cukup’, lalu beliau mengucapkan ‘shodaqollahul ‘azhim’.
Intinya, menutup membaca Al Qur’an dengan ucapan ‘shodaqollahul ‘azhim’ tidak ada dasarnya dalam Islam. Namun jika dilakukan kadang-kadang saja karena ada faktor yang menuntut, maka tidaklah mengapa. (Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/215)

Padahal yang ada tuntunan setelah selesai membaca Al Qur’an adalah mengucapkan, “Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik” (Maha suci Engkau, ya Allah sambil memuji-Mu. Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)

Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- duduk di suatu tempat atau membaca Al Qur’an ataupun melaksanakan shalat kecuali beliau akhiri dengan membaca beberapa kalimat”. Aku pun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, tidaklah Anda duduk di suatu tempat, membaca Al Qur’an ataupun mengerjakan shalat melainkan Anda akhiri dengan beberapa kalimat?” Jawaban beliau,
نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْراً خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرّاً كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ [اللَّهُمَّ] وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Betul, barang siapa yang mengucapkan kebaikan maka dengan kalimat tersebut amal tadi akan dipatri dengan kebaikan. Barang siapa yang mengucapkan kejelekan maka kalimat tersebut berfungsi untuk menghapus dosa. Itulah ucapan Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. ” (HR. An Nasai dalam Al Kubro. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Al Jami’ Ash Shahih mimma Laisa fii Ash Shahihain 2: 12 mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang shahih”)
Semoga ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu kita lestarikan dan rutinkan, sedangkan yang tidak ada dasarnya dari beliau itulah yang dijauhi dan ditinggalkan. Sekali lagi, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu waliyyut taufiq.


@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 1 Dzulqo’dah 1433 H
www.rumaysho.com



[1] QS. Ali Imran: 95.
[2] QS. An Nisa’: 41.

Diambil dari artikel rumaysho.com dengan judul asli Ucapan Shodaqollahul Ädzim dengan sedikit tambahan oleh pemosting blogg ini.

Jumat, 22 Desember 2017

Adab Kepada Allah Ta'ala


Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

  Sesungguhnya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Kemana saja seorang hamba mengarahkan pandangannya, dia akan melihat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dihadapannya. Kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah diperoleh hamba-Nya semenjak dia berupa setetes air mani yang bercampur dengan sel telur yang bergantung di dalam rahim ibunya. Kemudian selalu mengiringinya sampai ajal menjemputnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]
Bahkan jika manusia hendak menghitung nikmat-Nya, maka dia tidak akan mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nahl/16:18]

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hak yang menjadi kewajiban para hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut harus diutamakan daripada hak-hak sesama makhluk. Diantara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla dan menjadi kewajiban para hamba yaitu memiliki adab yang baik kepada Allah Azza wa Jalla . Maka wajib bagi seorang hamba memiliki adab-adab sebagai berikut:

1. Iman Dan Tidak Kufur..
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya dan kepada perkara-perkara yang wajib diimani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:136]
Maka sepantasnya seorang hamba beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meyakini kebenaran firman-Nya dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Sungguh tidak beradab ketika ada seorang hamba yang ingkar dan menentang-Nya. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang yang ingkar kepada-Nya dengan celaan yang keras, sebagaimana firman-Nya:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? [al-Baqarah/2: 28]
Termasuk beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah meyakini keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan mengimani nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Demikian juga termasuk syarat iman adalah menjauhi syirik, karena syirik itu menghapuskan amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az-Zumar/39:65]

2. Syukur Dan Tidak Kufur Nikmat.
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambanya sangat banyak, oleh karena itu kewajiban seorang hamba untuk mensyukurinya adalah dengan mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , memuji-Nya dengan lidah, dan mempergunakan nikmat-nikmat tersebut untuk keridhaan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. [al-Baqarah/2:152]
Sungguh tidak beradab, perbuatan mengingkari kenikmatan dan keutaman dari Rabb pemberi kebaikan.

3. Mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Tidak Melupakan-Nya.
Manusia hendaklah selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melupakan-Nya. Karena kewajiban hamba adalah mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kecintaan yang paling tinggi. Seseorang yang mencintai sesuatu, dia akan selalu mengingat dan menyebutnya serta tidak melupakannya. Orang yang melupakan Allah Azza wa Jalla , Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan melupakannya; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membiarkannya dalam kesusahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. [al-Hasyr/59:19]

4. Taat Dan Tidak Bermaksiat
Yaitu selalu berusaha mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (ulama dam umarâ’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ’ / 4:59]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hambanya agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara mutlak, yaitu dengan tanpa meninjau apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan terhadap Al-Qur’an. Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, baik apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam Al-Qur’an atau tidak ada di dalamnya. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitâb dan yang semisalnya bersamanya”. [I’lâmul Muwaqqi’în 2/46, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H /2002 H]

Oleh karena itulah seorang mukmin akan selalu tunduk terhadap keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dari urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb / 33: 36]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum, mencakup semua perkara, yaitu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan (yang menyelisihi ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya)”. [Tafsîr Ibnu Katsîr, Surat al-Ahzâb /33:36]
Sungguh tidak beradab, jika ada seorang hamba yang lemah berani menentang Penguasanya Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa dengan perbuatan maksiat dan kezhaliman.

5. Tidak Mendahului Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Hujurât /49:1]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Maksudnya : ‘Janganlah kamu berkata sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, janganlah kamu memerintah sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah, janganlah kamu berfatwa sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfatwa, janganlah kamu memutuskan perkara sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya.” [I’lâmul Muwaqqi’în, 2/49), penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, Th: 1422 H /2002 H]

6. Takut Terhadap Siksa-Nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. [al-Mâidah/5: 44]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Takut itu ada beberapa macam: Pertama : Takut karena ibadah, merendahkan diri, pengagungan, dan ketundukan. Inilah yang dinamakan khauf sirr. Ini tidak pantas kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Barangsiapa menyekutukan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan takut ini-pen) dia adalah orang yang melakukan syirik akbar. Contoh : Orang yang takut kepada patung, orang yang telah mati, atau orang-orang yang mereka sangka sebagai wali dan mereka yakini bisa mendatangkan manfaat dan bahaya bagi mereka, sebagaimana dilakukan oleh sebagian penyembah kubur, dia takut kepada penghuni kubur melebihi takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala “. [al-Qaulul Mufîd, 2/166; penerbit: Dârul ‘ Âshimah]

7. Malu Kepada-Nya
Seorang muslim akan selalu menyadari bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengawasan-Nya itu meliputi segala sesuatu, termasuk semua keadaannya. Oleh karena itu hatinya penuh dengan rasa hormat dan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dia malu berbuat maksiat dan menyelisihi keridhaan-Nya. Karena bukanlah merupakan adab, ketika seorang hamba menampakkan perbuatan maksiatnya kepada tuannya atau membalas kebaikannya dengan keburukan-keburukan, padahal tuannya selalu mengawasinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan para sahabatnya agar benar-benar merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana dalam hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd, dia berkata: “Rasulullah n bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar merasa malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala !” Kami menjawab: “Wahai Rasulullah, al-hamdulillah kami malu ( kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala )” Beliau bersabda: “Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang dikumpulkannya, menjaga perut dan apa yang dikandungnya, serta mengingat kematian dan kebinasaan. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan ini, maka dia telah malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya [HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh Al-Albâni menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîh at-Targhîb, 3/6, no. 2638, penerbit. Maktabah al-Ma’ârif]
Disebutkan dalam kitab Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi pada penjelasan hadits ini: “Maksudnya adalah menjaga kepala dari penggunaannya untuk selain ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , yaitu engkau tidak sujud kepada selain-Nya, tidak shalat karena riya’, engkau tidak menundukkan kepala untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan engkau tidak mengangkatnya karena sombong. Dan menjaga apa yang dikumpulkan oleh kepala maksudnya adalah menjaga lidah, mata serta telinga dari perkara yang tidak halal.
Menjaga perut maksudnya menjaganya dari makanan yang haram, dan menjaga apa yang berhubungan dengannya maksudnya yaitu kemaluan, kedua kaki, kedua tangan, dan hati. Karena semua anggota badan ini berhubungan dengan rongga perut. Adapun cara menjaganya adalah dengan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat, tetapi digunakan dalam keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengingat kematian dan kebinasaan, maksudnya yaitu engkau mengingat keadaanmu dalam kubur yang sudah menjadi tulang dalam kehidupanmu. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Karena keduanya tidak akan berkumpul dalam bentuk yang sempurna, walaupun bagi orang-orang yang kuat, sebagaimana dikatakan oleh al-Qâri. Adapun al-Munâwi mengatakan: “Karena keduanya seperti dua madu, jika salah satunya dijadikan ridha, yang lain dijadikan marah”

8. Bertaubat Kepada-Nya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa di antara sifat manusia adalah banyak berbuat dosa dan kesalahan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang-orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat. [HR. Tirmidzi, no. 2499; Ibnu Mâjah; Ahmad; ad-Dârimi. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Oleh karena itu sepantasnya seorang manusia agar selalu memperbanyak taubat dan tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendorong orang-orang musyrik yang bergelimang dengan dosa-dosa untuk bertaubat kepada-Nya dengan firman-Nya:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [az-Zumar/39:53]

9. Husnuzhan (Berbaik Sangka) Kepada-Nya.
Termasuk adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berbaik sangka kepada-Nya. Karena merupakan adab dan prasangka yang buruk, ketika seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengawasinya dan tidak akan membalasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu, namun kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka kamu menjadi termasuk orang-orang yang merugi. [Fushshilat/41: 22-23]
Demikian juga termasuk buruk sangka, ketika seorang hamba melakukan ketaqwaan dan ketaatan, lalu dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan membalas amal baiknya.
Inilah sedikit tulisan mengenai sebagian adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita dalam kebaikan. Amin.

RUJUKAN:
1. Minhâjul Muslim, Syaikh Abû Bakar Jâbir al-Jazâiri
2. I’lâmul Muwaqqi’ în, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H / 2002 H
3. Tafsîr Ibnu Katsîr, penerbit: Dârul Jail, Beirut, tanpa tahun.
4. al-Qaulul Mufîd, karya Syaikh al-‘Utsaimin, penerbit: Dârul ‘Ashimah.
5. Shahîh At-Targhîb, karya Syaikh al-Albâni, penerbit Maktabah Al-Ma’ârif.
6. Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi, dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]. Diambil dari Al-Manhaj Or Id dengan judul asli Adab Kepada Allah Azza Wa Jalla.

Jumat, 01 Desember 2017

Adab Seorang Muslim Tentang Niat


Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah Azza wa Jalla sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla karena nifak dan riyâ’nya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu. [HR. Muslim, no. 228]

Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
Dari Abu Sa’îd, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al-Masîhud Dajjâl. Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kamu sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada terhadap Al-Masîhud Dajjâl?” Maka kami menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat pandangan orang lain”. [Hadits Hasan Riwayat Ibnu Mâjah, no; 4204]

Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu banyak sekali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini di dalam hadits-hadits beliau. Antara lain, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhâri, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu]
Sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla akan melihat hati manusia, apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. [HR. Muslim, no. 2564]

Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [al-Bayyinah/98:5]

NIAT DALAM KEBAIKAN
Di antara rahmat dan anugerah Allah Azza wa Jalla adalah bahwa Dia menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat kebaikan, sedangkan keinginan berbuat keburukan belum ditulis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini di dalam hadits sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja.[HR. Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131]

NIAT DALAM KEBURUKAN
Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allah Azza wa Jalla . Namun, jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya: ”Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”. [HR. Bukhâri, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakrah]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا
Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri. [HR. Ibnu Mâjah, no. 2410; Syaikh al-Albâni berkata: “Hasan Shahîh”]

PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT
Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dari Abu Kabsyah al-Anmâri Radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[1]

Syaikh Salim al-Hilâli hafizhahullâh berkata menjelaskan di antara fiqih dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum karena keinginan yang tetap/kuat (di dalam hatinya-pen) walaupun dia tidak mampu melaksanakannya. Karena walaupun dia tidak mampu melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan”.[2]

NIAT BAIK TIDAK MERUBAH KEMAKSIATAN MENJADI KETAATAN
Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah Azza wa Jalla . Demikian juga seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik.
Karena semata-mata niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang bershadaqah dengan uang curian atau korupsi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat). [HR. Muslim, no. 224]

Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah, dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau shadaqah, namun jika tidak memenuhi syarat-syarat di dalam agama, maka niat yang baik itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.
Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini -yang aku lihat kamu lakukan-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbîr, tahlîl, dan tasbîh dengannya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Ini lah para sahabat Nabi kamu masih banyak. Ini lah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah Azza wa Jalla yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla , wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kepada kami:
أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
“Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân itu tidak melewati tenggorokan mereka”.
Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian beliau meninggalkan mereka.[3]

Marilah kita perhatikan jawaban beliau di atas: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Yaitu banyak orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak melewati jalan yang harus dilalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang dia niatkan.
Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.
Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga Allah Azza wa Jalla selalu memberikan pertolongan kepada kita untuk meraih keridhaan-Nya. Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

RUJUKAN:

1. Shahîh Bukhâri
2. Shahîh Muslim
3. Kitab-kitab Sunan
4. Minhâjul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim al-Hilâli
6. Ilmu Ushûl Bida’, karya Syaikh ‘Ali al-Halâbi
7. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits Shahîh Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Mâjah, no: 4228; dan lainnya. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni di dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah, no: 3406. Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253
[2]. Bahjatun Nâzhirin Syarah Riyadhus Shâlihin 1/608, syarah hadits no: 557
[3]. Hadits Shahîh Riwayat Dârimi di dalam Sunan, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasîth, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushul Bida’, hlm. 92

Diakses dari Al-Manhaj.or.id

Mari Kita Mengenal Kitab Sunan


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Kata ’Sunan’ [arab: السُنَن]  adalah bentuk jamak dari kata sunah [arab: السُنّة], yang secara bahasa berarti jalan dan kebiasaan. Sedangkan secara istilah, sunah menurut mayoritas ulama adalah sinonim dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mencakup ucapan, perbuatan, persetujuan, dan sifat-sifat beliau.

Macam-macam Kitab Hadis
Dilihat dari sistematikan penulisan, ada beberapa macam kitab hadis yang ditulis para ulama. Diantaranya,
  1. Kitab al-Jami’ [arab: الجامع], yaitu kitab hadis yang disusun menurut bab tertentu dan memuat berbagai macam, meliputi aqidah, ahkam, adab, tafsir, tarikh, siroh, manaqib (Fadhilah orang soleh), Raqaiq (hadis yang melembutkan hati), dst. Diantara kitab jami’ yang terkenal adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Jami’ Abdurrazaq, dan yang lainnya. (Ushul at-Takhrij, hlm. 110)
  2. Kitab al-Musnad [arab: المسند], yaitu kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah dengan mengacu kepada nama sahabat. Dimulai dari nama sahabat yang diwali huruf [أَ] hingga huruf [يَ]. Misalnya, dimulai dari hadis dari sahabat Abu Bakar. Maka dikumpulkan hadis-hadis dari Abu Bakar tanpa memandang pembahasan dan tema hadis.
Kitab musnad yang terkenal adalah Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Kitab ini memuat kurang lebih 40.000 hadis. Jika dibuang pengulangan, sekitar 30.000 hadis. Kemudian kitab musnad lainnya: Musnad at-Thayalisi, musnad al-Humaidi, dst. (Ushul at-Takhrij, hlm. 40)
  1. Kitab sunan, adalah kiab hadis yang disusun berdasarkan bab fikih, mulai masalah thaharah, shalat, zakat, dst. dan hanya berisi hadis marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan hanya ada beberapa atsar sahabat.
  2. Kitab Mushanaf, kitab hadis yang disusun berdasarkan bab fikih, mulai masalah thaharah, shalat, zakat, dst. dan berisi hadis marfu’ (hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), mauquf (keterangan sahabat), dan maqthu’ (keterangan tabi’in). Diantara kitab mushannaf yang terkenal adalah Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, dan Mushannaf Abdurrazaq. (Ushul at-Takhrij, hlm. 134).
Kitab Sunan
Dari definisi beberapa kitab hadis di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa satu kitab kumpulan hadis tergolong kitab sunan, jika terpenuhi 3 syarat,
  1. Hanya berisi hadis marfu’ (hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan sangat sedikit selain sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Hadis-hadis tersebut terkait bab hukum fikih
  3. Susunannya mengikuti sistematika buku fikih. (ar-Risalah al-Mustathrafah, hlm. 32)

Mengenal 4 Kitab Sunan
Pertama, Sunan Nasa’i
Imam an-Nasai, nama aslinya Ahmad bin Syuaib an-Nasai. Nasa’ adalah nama kota kelahiran beliau, satu daerah di wilayah Khurasan. Beliau wafat tahun 303 H di Ramlah Palestina di usia 88 tahun.
Imam an-Nasai menulis kitab as-Sunan al-Kubro, mencakup hadis-hadis yang shahih, dan hadis bermasalah. Kemudian beliau ringkas dalam kitab as-Sunan as-Sughro, yang beliau beri nama ‘al-Mujtaba’ [arab: المجتبى]. Untuk kitab kedua ini, beliau hanya mengumpulkan hadis-hadis yang beliau anggap shahih. Kitab inilah yang kemudian sering dikenal dengan sunan an-Nasai.
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
و”المجتبى” أقل السنن حديثاً ضعيفاً، ورجلاً مجروحاً ودرجته بعد “الصحيحين”، فهو – من حيث الرجال – مقدم على “سنن أبي داود والترمذي”؛ لشدة تحري مؤلفه في الرجال، قال الحافظ ابن حجر رحمه الله: كم من رجل أخرج له أبو داود والترمذي تجنب النسائي إخراج حديثه، بل تجنب إخراج حديث جماعة في “الصحيحين”. اهـ.
Kitab al-Mujtaba adalah kitab sunan yang paling sedikit jumlah hadis dhaifnya dan paling sedikit perawi yang majruh (dinilai lemah). Derajatnya di bawah shahih Bukhari dan Muslim. Sehingga sunan ini, dilihat dari perawi-perawinya, lebih unggul dibandingkan sunan Abu Daud, dan Turmudzi. Karena penulis sangat ketat dalam memilih perawi hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
‘Ada banyak perawi yang dicantumkan dalam kitab Abu Daud dan Turmudzi, namun dihindari oleh an-Nasai dalam menyebutkan hadis. Bahkan beliau menghindari beberapa perawi yang ada di kitab shahih Bukhari dan Muslim.’ (Mustholah Hadis, hlm. 51).

Kedua, Sunan Abu Daud
Imam Abu Daud, nama lengkapnya Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq as-Sijistani. Beliau termasuk muridnya Imam Ahmad bin Hambal. Para ulama banyak memuji beliau dengan kekuatan hafalan dan pemahamannya yang mendalam. Beliau meninggal di Bashrah pada 275 H, di usia 73 tahun.
Kitab sunan Abu Daud memuat 4800 hadis, yang aslinya adalah pilihan dari 500.000 hadis. Beliau berusaha untuk memilih hadis-hadis yang shahih, meskipun di sana ada beberapa hadis yang dhaif.
Ibnu Mandah mengatakan,
وكان أبو داود يخرج الإسناد الضعيف إذا لم يجد في الباب غيره؛ لأنه أقوى عنده من رأي الرجال. اهـ.
Abu Daud mencantumkan hadis yang sanadnya dhaif, jika dalam bab tersebut, beliau tidak menjumpai hadis lain. Karena hadis dhaif lebih kuat menurut beliau, dari pada pendapat manusia. (Dinukil dari Mustholah Hadis, hlm. 52).

Ketiga, Sunan at-Turmudzi
Imam at-Turmudzi, nama lengkap beliau: Abu Isa, Muhammad bin Isa as-Sulami at-Turmudzi. Lahir di kota Turmudz tahun 209 H. Beliau termasuk murid Imam Bukhari.
Kata Turmudzi [الترمذي] ada dua cara baca, bisa dibaca Tirmidzi, dan bisa dibaca Turmudzi. Beliau wafat tahun 279 H, di usia 70 tahun.
Sunan at-Turmudzi juga disebut oleh sebagian ulama dengan Jami’ at-Turmudzi [arab: جامع الترمذي]. Dikenal dengan kitab Jami’, karena dalam sunan Turmudzi tidak hanya mengupas bab fikih, namun juga bab lainnya, seperti sirah, adab, tafsir, aqidah, fitnah akhir zaman dan yang lainnya. Hanya saja, mengingat di bagian awal beliau susun mengikuti kajian fikih, dna itu lebih dominan, banyak ulama lebih mengenalnya sebagai kitab sunan.
Dalam kitab sunannya, Turmudzi mencantumkan hadis shahih, hasan dan dhaif, dengan penjelasan derajat  masing-masing hadis, berikut keterangan sisi dhaifnya.
Beliau juga menjelaskan pendapat para ulama sebagai keterangan tambahan untuk hadis yang beliau bawakan.
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan,
اعلم أن الترمذي خرج في كتابه الصحيح والحسن والغريب. والغرائب التي خرجها فيها بعض المنكر، ولا سيما في كتاب الفضائل، ولكنه يبيِّن ذلك غالباً، ولا أعلم أنه خرج عن متهم بالكذب، متفق على اتهامه بإسناد منفرد، نعم قد يخرج عن سيئ الحفظ، ومن غلب على حديثه الوهن، ويبيِّن ذلك غالباً، ولا يسكت عنه
Ketahuilah bahwa Turmudzi menyebutkan dalam kitabnya hadis shahih, hasan, dan gharib. Hadis gharib yang beliau sebutkan, sebagiannya ada yang munkar, terutama untuk bab tentang fadhilah amal. Hanya saja, umumnya beliau jelaskan sisi lemahnya. Dan saya tidak menjumpai, beliau menyebutkan hadis dari perawi yang tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib), yang disepakati pelanggarannya, dan dia sendirian. Benar bahwa beliau terkadang menyebutkan hadis dari perawi yang buruk hafalannya, atau perawi yang umumnya hadisnya lemah. Dan umumnya beliau jelaskan hal itu, dan tidak didiamkan. (Dinukil dari Mustholah Hadis, Ibnu Utsaimin, hlm. 53).

Keempat, Sunan Ibnu Majah
Ibnu Majah, nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah, Muhammad bin Yazid bin Abdillah bin Majah al-Qazwaini. Nama Majah adalah kakek buyut beliau. Beliau dilahirkan di Qazwain (bagian Iraq) tahun 209 H dan meninggal tahun 273 H, di usia 64 tahun.
Beliau mengumpulkan hadis dalam kitab sunannya mencapai 4341 hadis.
Dalam urutan kitab sunan, sunan Ibnu Majah berada di urutan paling akhir. Dibandingkan yang lain, sunan Ibnu Majah paling banyak memuat hadis dhaif.
قال الذهبي: فيه مناكير وقليل من الموضوعات. اهـ، وقال السيوطي: إنه تفرد بإخراج الحديث عن رجال متهمين بالكذب، وسرقة الأحاديث، وبعض تلك الأحاديث، لا تعرف إلا من جهتهم.
Adz-Dzahabi memberikan komentar tentang sunan Ibnu Majah,
“Di sana ada beberapa hadis munkar dan sedikit hadis palsu.”
As-Suyuthi mengatakan,
“Ibnu Majah sendirian meriwayatkan hadis dari perawi yang dituduh berdusta, pencuri hadis, dan sebagian hadisnya, tidak dikenal kecuali dari jalur perawi bermasalah.” (Dinukil dari Mustholah Hadis, Ibnu Utsaimin, hlm. 54).
Catatan:
Enam kitab hadis rujukan pokok (al-Ummahat as-Sitta)
  1. Shahih Bukhari
  2. Shahih Muslim
  3. Sunan Nasai
  4. Sunan Abu Daud
  5. Sunan Turmudzi
  6. Sunan Ibnu Majah /  Muwatha’ Imam Malik
Di urutan keenam ulama berbeda pendapat, antara Sunan Ibnu Majah dengan Muwatha’ Imam Malik.
Sebagian ulama yang memposisikan Muwatha’ Imam Malik di urutan keenam itu. Diantaranya adalah Ahmad bin Razin as-Sarqasthi (w. 535 H) dalam kitabnya at-Tajrid fi al-Jam’i baina as-Shihhah, dan Abus Sa’adat Ibnul Atsir (w. 606 H). (Taujih an-Nadzar, Thahir al-Jazairi, hlm. 153).

Demikian,

Allahu a’lam
Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)