Minggu, 27 November 2016

PENGERTIAN HAKIM, MAHKUM BIH DAN MAHKUM ALAIH



MAKALAH
PENGERTIAN HAKIM, MAHKUM BIH DAN MAHKUM ALAIH
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
USHUL FIQH
DOSEN : Nuraini Saiku, M.Pd.I


Oleh:
ULYALAFI KHUSNA
YUSUUF ARIFIN
PAI B / III
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
November2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LatarBelakang
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bih, mahkum fih dan mahkum alaih. Adapun istilah mahkum fih penyusun makalah tidak membahasnya di makalah ini karena penyusun lebih menekankan pada tugas dosen yakni pengertian al-hakim, mahkum bih dan mahkum alaih saja. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih. Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.
Konsep dasar tentang; al-hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih penuh perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam hukum islam. Sebagai mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua umat islam dalam kehidupan sehari-hari.

B.       RumusanMasalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Al-Hakim dalam Ushul Fiqh ?
2.      Apa yang dimaksud dengan Mahkum Bih ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Mahkum ‘Alaih ?

C.      TujuanPenulisan
1.      Agar bisa memahami makna Al-Hakim dalam ilmu Ushul Fiqh.
2.      Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum Bih beserta penjabarannya.
3.      Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum ‘Alaih beserta penjabarannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian Hakim (Al-Hakim)
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan.Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi.Dari segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di pengadilan.[[1]]
Adapun menurut terminologi ushul fiqh maka makna dan cakupanya jauh lebih luas, kata hakim menunjuk kepada pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah). Sebagaimana Firman Allah ta’ala, pada surah al-An’am ayat ke-57, “Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang berhak mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya.Dalam konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi nyata).Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan hukum.Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah Subhanahu Wata’ala, tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’ (pembuat syariat), harus pula ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,  bukankarena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).[[2]]
Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil pengertian bahwa hakim adalah;
1.   Pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan hukum dan yang membuat sumber hukum.
2.   Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.[[3]]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa Al-Hakim adalah Allah Subhanahu Wata’ala.Dialah pembuat hukum dan menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua mukallaf. Dan dari pemahaman seperti ini pulalah, para ahli ushul bersepakat untuk membuat sebuah teori bahwa “Tidak ada hukum kecuali yang bersumber dari Allah, sedangkan dasar munculnya teori tersebut adalah firman Allah ta’ala pada ayat-ayat-Nya yang mulia, yaitu;
a)            Al-An’am:57
Menetapkan hukum itu hanyalah Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.


b)            Al- Maidah;49,44 dan 45
-          Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.
-          Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
-          Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

B.         Pengertian Mahkum Bih
Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy.Sebagian ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum. Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib, sunnah, makruh,atau haram,atau mubah adalah perbuatan mukallaf.
1.      Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bih).
Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah sebagai berikut;
a)  Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b)  Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan shalat.Karena itulah rasulullah SAWkemudian memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.
c)Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah SWT adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah;286.[[4]]
2.      Macam-Macam MahkumBih
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’[[5]] yang terdiri   atas :
a)   Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait hukum syara’.
b)   Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishas.
c)    Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
d)    Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.[[6]]

C.        Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak melaksanakan hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[[7]]
1.      Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia mampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka di anggap tidak bisa memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
رُفِعَ الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib).[[8]]
2.    Syarat-syarat Taklif
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a)      Orang itu telah mampu memahami khithab syar’i (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar’i. dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
b)      Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak melaksanakan hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa di pertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak di bebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap hilang.[[9]]

3.   Ahliyah
a)  Pengertian Ahliyah
Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang di katakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
Secara terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
صِفَةٌ يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain. Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak sekaligus.
b)   Pembagian Ahliyah
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah al-ada’.
1)  Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
2)  Ahliyah al-wujud
Adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan , ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
3)  Ahliyah al-wujud an-naqishah
Yaitu ketika seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
4)  Ahliyah al-wujud al-kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.[[10]]


4.   Pengertian Awaridl Ahliyah
Yang dimaksud awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitumgkan oleh syara’).
Awaridl ahliyah tersebut dapat pula dibagi kepada dua bagian:
1)      Awaridl al-samawiyah, maksudnya halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan lupa.
2)     Awaridl al-mukhtasabah, maksudna halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.[[11]]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di pengadilan. Kata hakim menunjuk kepada pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah). Selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’ (pembuat syariat), harus pula ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,  bukan karena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Kesimpulannya adalah Allah ta’ala sebagai pembuat syari’at dan Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai penjelas bagi kita untuk mengetahui syariat itu sendiri.
2.      Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy. Sebagian ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum.
3.      Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum.



DAFTAR PUSTAKA
·            Dahlan, Abd.Rahman ,Ushul Fiqh (Jakarta:AMZAH,2010).
·            Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah Jombang,2008.
·            Faizah , Dzurrotun Ainin, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi , http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-dan-mahkum.html ,Selasa, 29 April 2014.
·            Syafe’i ,Rachmad,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010).
·            Umam, Khairul, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000).
·            Haroen,Nasroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999).
·            Karim, A.Syafi’I, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997).



[1] . Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta:AMZAH,2010), hal. 87-88.
[2]. Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah Jombang,2008), hal. 166-167. Dengan sedikit tambahan dan pengurangan dari penyusun makalah ini.
[3] . Dzurrotun Ainin Faizah, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi , http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-dan-mahkum.html ,Selasa, 29 April 2014.
[4] . Dahlan,Op-Cit, hal. 93-94.
[5] . Rachmad Syafe’i,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010)hal,331.
[6] . Ibid hal,332
[7] . Khairul umam, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000), hlm 327.
[8] . Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999), hlm 305.
[9] . A. Syafi’I Karim, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997), hlm 134.
[10] . Haroen, Op-cit, hlm 308.
[11] . Karim, Op-cit, hlm 136.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar