Selasa, 01 Maret 2016

Syarah Hadits Arba’in Nawawiyyah, Hadits ke-3

Hadits no. 3






عن أبي عـبد الرحمن عبد الله بن عـمر بـن الخطاب رضي الله عـنهما ، قـال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسـلم يقـول : بـني الإسـلام على خـمـس : شـهـادة أن لا إلـه إلا الله وأن محمد رسول الله ، وإقامة الصلاة ، وإيـتـاء الـزكـاة ، وحـج البيت ، وصـوم رمضان
Dari Abu Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda: “Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan”.
Ini adalah hadits Muttafaqun ‘alaih. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 8, Kitab Iman, Bab Islam dibangun di atas lima perkara. Muslim no. 16, Kitab Iman, Bab Penjelasan rukun-rukun Islam.
Syarah Hadits :
Maksud hadits ini adalah pemaknaan dan penggambaran Islam dengan bangunan dan tiang-tiangnya yang terdiri dari kelima hal tersebut. Bangunan tidak akan kuat tanpa tiang-tiangnya dan ajaran Islam adalah penyempurna bangunan dimana jika salah satu dari ajaran Islam itu hilang, maka kekuatan bangunan berkurang namun tetap bisa berdiri dan tidak ambruk, hanya saja tidak sempurna. Berbeda jika tiang-tiangnya tersebut ambruk, maka Islam akan ambruk pula tanpa diragukan lagi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa beriman kepada Allah dan RasulNya masuk ke dalam cakupan Islam dengan persaksian dua kalimat syahadat.
Mengenai shalat, disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sungguh, batas yang memisahkan seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [HR Muslim no. 82].
Al-Imam Al-Marwazi meriwayatkan hadits dari sahabat Buraidah Al-Aslami -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian diantara kami dengan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka ia kafir.” Hadits ini diriwayatkan Al-Marwazi dalam kitabnya Ta’zhimu Qadrish Shalah no. 793. 
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab -radhiyallahu ‘anhu- berkata setelah beliau ditikam oleh Abu Lu’lu’ah :
نَعَمْ وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
“Benar. Tidak ada bagian dalam Islam bagi siapa saja yang meninggalkan shalat.” Atsar Umar ini diriwayatkan oleh Imam Malik 1/38-39.
‘Abdullah bin Syaqiq berkata, “Para sahabat Rasulullah tidak melihat salah satu amal perbuatan yang jika ditinggalkan maka merupakan kekafiran selain daripada shalat.” Ayyub As-Sikhtiyani berkata, “Meninggalkan shalat adalah kafir tanpa ada perdebatan di dalamnya.” Yang berpendapat seperti ini adalah sejumlah ulama diantaranya ‘Abdullah bin Al-Mubarak, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, bahkan Ishaq mengatakan pendapat ini adalah ijma’ ulama. Al-Marwazi berkata, “Ini merupakan pendapat jumhur ulama ahli hadits.”
Ahmad dan Ishaq berhujjah tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat dengan kekafiran iblis karena ia meninggalkan sujud kepada Nabi Adam Alaihissalam yang telah diperintah Allah atasnya. Tentu saja meninggalkan sujud kepada Allah adalah lebih besar lagi dosanya. Imam Ahmad menyebutkan hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda :
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ يَا وَيْلَهُ أُمِرَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَعَصَيْتُ فَلِي النَّارُ
“Jika anak Adam membaca ayat sajdah kemudian sujud, setan akan menjauh sambil menangis dan berkata : Sungguh malang aku, manusia diperintahkan untuk bersujud maka iapun bersujud, adapun aku diperintahkan untuk sujud tetapi aku membangkang sehingga aku dimasukkan ke neraka.” [HR Ahmad 2/443, dishahihkan oleh Ibnu Hibban no. 2759 dan Ibnu Khuzaimah no. 549].
Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang tidak berzakat, maka shalatnya tidak diterima.” Maksud dari perkataan beliau -radhiyallahu ‘anhu- ini adalah bukan berarti shalatnya tidak sah dan wajib diulangi, akan tetapi shalatnya tidak mendapat ridha’ dan pelakunya tidak dipuji, tidak dibanggakan Allah Ta’ala di hadapan para malaikat dan penduduk langit.
Ada sebagian orang-orang yang mempunyai pemahaman yang menyelisihi, berkata, “Jika salah satu atau empat ajaran Islam selain dua kalimah syahadat hilang, maka itu tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.” Sebagian dari mereka berdalil bahwa Jibril Alaihissalam bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam tentang syari’at-syari’at Islam, bukan Islam itu sendiri. Pendapat seperti ini ditentang para imam seperti Abu Zur’ah Ar-Razi, Muslim, Al-Uqaili dan lain-lain.
Para imam mengumpamakan iman seperti pohon yang mempunyai akar, cabang dan ranting. Nama pohon mencakup itu semua dan jika salah satu dari cabang atau ranting ada yang hilang, nama pohon tetap tidak akan hilang atau tidak berubah hanya saja pohon tersebut dikatakan sebagai pohon yang kurang sempurna. Allah Ta’ala membuat perumpamaan seperti ini dalam firmanNya :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” [QS Ibrahim : 24-25]
Maksud “kalimat” dalam firman Allah ini adalah kalimat tauhid, akarnya adalah kalimat tauhid yang eksis di hati, dan buahnya adalah amal-amal shalih yang tumbuh dan berkembang dari tauhid.
Sahabat ‘Abdullah bin Umar meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda :
إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ
“Sesungguhnya diantara pohon, ada sebuah pohon yang tidak jatuh daunnya. Dan itu adalah perumpamaan bagi seorang muslim.”
Ibnu Umar berkata, “Aku berpikir dalam hati bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Tetapi aku malu mengungkapkannya.” Kemudian Ibnu Umar melanjutkan :
ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
“Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, pohon apakah itu?” Beliau bersabda, “Pohon kurma.” [HR Bukhari no. 59, Kitab Ilmu]
Abul ‘Abbas Al-Qurthubi berkata, “Lima hal diatas adalah asas agama Islam dan landasan tegaknya Islam. Lima hal tersebut diatas disebut secara khusus tanpa menyebutkan Jihad (padahal Jihad adalah membela agama dan mengalahkan penentang-penentang yang kafir) Karena kelima hal tersebut merupakan kewajiban yang abadi, sedangkan jihad merupakan salah satu fardhu kifayah, sehingga pada saat tertentu bisa menjadi tidak wajib.”
Ibnu Rajab berkata, “Jihad berada di tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun ia bukan salah satu tiang dan rukun agama karena dua sebab. Pertama, Jihad adalah fardhu kifayah menurut jumhur ulama, berbeda dengan kelima rukun di atas yang merupakan fardhu ‘ain. Kedua, Jihad tidak berlangsung hingga akhir zaman, karena jika ‘Isa ‘Alaihissalam telah turun dan ketika itu tidak ada lagi agama selain Islam, maka dengan sendirinya perang berhenti dan tidak lagi membutuhkan Jihad. Ini berbeda dengan kelima rukun Islam yang tetap diwajibkan hingga datang keputusan dan pengadilan Allah (hari kiamat).”
Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Pada beberapa riwayat disebutkan haji lebih dahulu dari puasa Ramadhan. Nampaknya hal ini adalah keraguan dari perawi. Allahu a’lam. Syaikh Muhyidin Abu Zakariya An-Nawawi dalam mensyarah hadits ini berkata, “Demikian dalam riwayat ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekedar tartib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa disebutkan lebih dahulu daripada haji.” Oleh karena itu, Ibnu Umar ketika mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya lalu ia mendahulukan menyebut puasa daripada haji. Ia berkata : “Begitulah yang aku dengar dari Rasulullah.”
Allahu Ta’ala a’lamu bishawab.
Sumber :
– Syarah Arba’in An-Nawawiyah li Ibni Daqiq Al-‘Id
– Jami’ul ‘Ulum wal Hikam li Ibni Rajab Al-Hanbali


Tidak ada komentar:

Posting Komentar