Selasa, 01 Maret 2016

Syarah Hadits Arba’in Nawawiyyah, Hadits ke-5

Hadits no. 5
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul Mukminin, Ummu ‘Abdillaah, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak.”
(Al-Bukhaariy dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697, dan dalam Khalqu Af’alil ‘Ibad no. 56; Muslim no. 1718, keduanya dari jalan Al-Qasim bin Muhammad dari bibinya, ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-
Syarah Hadits
Hadits ini adalah salah satu prinsip agung dari prinsip-prinsip Islam dan merupakan parameter amal perbuatan yang terlihat, sebagaimana hadits “Sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung niat” adalah parameter dari perbuatan yang tidak terlihat. Sebagaimana seluruh amal perbuatan yang tidak dimaksudkan untuk mencari ridha Allah Ta’ala maka pelakunya tidak akan mendapatkan pahala, maka demikian pula halnya segala amal perbuatan yang tidak ada dasar perintahnya dari Allah dan RasulNya juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan RasulNya, maka ia bukanlah termasuk perkara agama sedikitpun.
Tekstual hadits diatas menunjukkan bahwa seluruh amal perbuatan baru yang tidak termasuk urusan Allah dan RasulNya adalah tertolak, sedangkan kontekstualnya menunjukkan bahwa semua amal perbuatan yang sesuai dengan urusan Allah dan RasulNya itu tidak tertolak. Yang dimaksud dengan kata urusan pada hadits diatas adalah agama dan syari’at Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, seperti yang dimaksudkan dalam hadits beliau riwayat yang lain, “Barangsiapa yang menciptakan hal-hal baru dalam urusan kita yang tidak berasal darinya, ia tertolak.”
Sabda beliau, “Yang tidak termasuk urusan kami,” adalah isyarat bahwa seluruh amal perbuatan manusia harus berjalan di bawah hukum-hukum syari’at dan hukum-hukum syari’at dengan perintah dan larangannya menjadi penguasa atasnya. Jadi, barangsiapa yang amal perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syari’at dan singkron dengannya, amal perbuatan tersebut diterima. Dan kebalikannya, barangsiapa yang amal perbuatannya keluar dari hukum-hukum syari’at, maka tertolak.
Amal perbuatan terbagi ke dalam 2 bagian :
1. Ibadah
2. Muamalah
Adapun ibadah, jika salah satu dari ibadah keluar total dari hukum Allah dan RasulNya, ibadah tersebut ditolak dari pelakunya dan pelakunya masuk dalam ancaman firman Allah Ta’ala :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. [QS Asy-Syuura : 21]
Barangsiapa bertaqarrub kepada Allah dengan amal perbuatan yang tidak dijadikan Allah dan RasulNya sebagai taqarrub kepada Allah, amal perbuatan tersebut batil dan tertolak. Amal perbuatan tersebut mirip dengan kondisi orang-orang yang shalat disamping Baitullah dalam bentuk siulan dan tepuk tangan. Orang tersebut seperti orang yang bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan mendengar hiburan, dansa atau membuka tutup kepala di selain ihram, dan bid’ah-bid’ah lain yang sama sekali tidak disyari’atkan Allah dan RasulNya.
Nabi Shallallahu alaihi wasallam pernah melihat seseorang berdiri di bawah terik matahari kemudian beliau bertanya ihwal orang tersebut. Dikatakan kepada beliau bahwa orang tersebut bernadzar untuk berdiri, tidak berteduh dan ia berpuasa. Kemudian beliau Shallallahu alaihi wasallam memerintahkan orang tersebut untuk duduk, berteduh dan meneruskan puasanya. [HR Al-Bukhaariy no. 6704; Abu Daud no. 3300].
Adapun orang yang mengerjakan amal perbuatan yang pada asalnya disyari’atkan dan merupakan taqarrub, kemudian dimasukkan kepadanya sesuatu yang tidak disyari’atkan, ia juga bertentangan dengan syari’at dan kadar penentangannya sesuai dengan apa yang tidak ia kerjakan di dalamnya atau sesuai dengan pemasukan sesuatu yang tidak berasal darinya ke dalamnya. Namun apakah amal perbuatannya pada asalnya tertolak atau tidak? Amal perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan diterima atau ditolak secara mutlak namun harus dikaji terlebih dulu. Jika orang tersebut tidak mengerjakan bagian-bagian amal perbuatan yang mengharuskan batalnya amal perbuatan tersebut seperti orang yang tidak bersuci untuk shalat padahal ia mampu atau seperti orang yang tidak thuma’ninah dalam ruku’ atau sujud, maka amal perbuatan orang tersebut tertolak dan ia harus mengulang shalatnya jika shalat fardhu. Namun jika yang tidak dikerjakan orang tersebut tidak mengharuskan batalnya amal perbuatan seperti orang yang tidak ikut shalat berjama’ah di masjid pada shalat fardhu, maka amal perbuatannya tidak bisa dikatakan tertolak melainkan hanya berkurang.
Jika seseorang menambahkan sesuatu yang tidak disyari’atkan kepada sesuatu yang disyari’atkan, penambahan tersebut tertolak. Artinya, penambahan tersebut bukan merupakan taqarrub dan pelakunya tidak diberi pahala karenanya. Terkadang amal perbuatan menjadi batal sejak awal dengan penambahan tersebut seperti orang yang menambahkan satu raka’at dalam shalatnya dengan sengaja dan bukan dikarenakan lupa. Terkadang penambahan tersebut tidak menyebabkan amal perbuatan menjadi tertolak sejak awal seperti orang yang berwudhu empat-empat (padahal seharusnya maksimal tiga) atau berpuasa wishal. Para ulama berbeda pendapat apakah amal perbuatan tersebut tertolak ataukah tidak. Sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa amal tersebut tidak tertolak pada asalnya (ibadah yang merupakan pensyari’atannya) hingga adanya unsur penambahan tersebut (inilah yang ditolak).
Adapun untuk muamalah seperti jual-beli, pembatalan jual-beli dan lain sebagainya, jika di dalamnya terdapat perubahan hukum-hukum syar’i, misalnya mengganti hukuman zina dengan hukuman uang dan lain-lain, maka itu tertolak pada asalnya dan kepemilikan harta tidak berpindah dengan cara seperti itu karena tidak dikenal dalam hukum Islam. Ada seorang yang berkata kepada Nabi, “Anakku menjadi buruh pada fulan, kemudian ia berzina dengan istrinya dan aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan budak,” Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seratus ekor kambing dan budak tertolak darimu, sedangkan anakmu wajib untuk dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.” [HR Al-Bukhaariy no. 2695; Muslim no. 1697].
Allahu Ta’ala a’lamu bishawab.
Semoga bermanfaat.
Sumber :
– Syarah Arba’in An-Nawawiyah li Ibni Daqiq Al-‘Id
– Jami’ul ‘Ulum wal Hikam li Ibni Rajab Al-Hanbali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar